Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi

Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi
Adi Condro Bawono, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hambatan Pembuktian Delik Gratifikasi

PERTANYAAN

Bagaimanakah penerapan asas pembuktian gratifikasi tersebut? Apakah ada undang-undang yang terbaru mengenai korupsi setelah UU No. 20 tahun 2001 dan bagaimana penjelasannya mengenai gratifikasi tersebut? Hambatan apa saja untuk dapat membuktikan kasus tersebut? Apakah ada kaitannya dengan asas pembuktian terbalik?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    1.      Pada saat ini gratifikasi diatur dalam UU No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan UU No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU Pemberantasan Tipikor”) serta diatur pula dalam Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi.

     

    Definisi gratifikasi menurut Penjelasan Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor adalah pemberian dalam arti luas, yakni meliputi pemberian uang, barang, rabat (discount), komisi, pinjaman tanpa bunga, tiket perjalanan, fasilitas penginapan, perjalanan wisata, pengobatan cuma-cuma, dan fasilitas lainnya. Gratifikasi tersebut baik yang diterima di dalam negeri maupun di luar negeri dan yang dilakukan dengan menggunakan sarana elektronik atau tanpa sarana elektronik.

    KLINIK TERKAIT

    Penggelapan dalam Jabatan, Ranah Pidana atau Perdata?

    Penggelapan dalam Jabatan, Ranah Pidana atau Perdata?

     

    Menurut Buku Saku Memahami Gratifikasi yang diterbitkan Komisi Pemberantasan Korupsi (hal. 3-4), pengertian gratifikasi mempunyai makna yang netral, artinya tidak terdapat makna tercela atau negatif dari arti kata gratifi­kasi tersebut. Lalu, tidak semua gratifikasi itu bertentangan dengan hukum, melainkan hanya gratifikasi yang memenuhi kriteria dalam unsur Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor saja. Sehingga untuk mengetahui kapan gratifikasi menjadi kejahatan korupsi, perlu dilihat rumusan Pasal 12B ayat (1) UU Pemberantasan Tipikor yang menyatakan:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Setiap gratifikasi kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dianggap pemberian suap, apabila berhubungan dengan jabatannya dan yang berlawanan dengan kewajiban atau tugasnya, dengan ketentuan sebagai berikut:....”

     

    Jika dilihat dari rumusan di atas, maka dapat ditarik kesimpulan bahwa suatu gratifikasi atau pemberian hadiah berubah menjadi suatu yang perbuatan pidana suap pada saat Penyelenggara Negara atau Pegawai Negeri menerima suatu gratifikasi atau pemberian hadiah dari pi­hak manapun sepanjang pemberian tersebut diberikan berhubungan dengan jabatan ataupun pekerjaannya. Penjelasan lebih lanjut mengenai perbedaan antara suap dengan gratifikasi dapat disimak dalam artikel Perbedaan Antara Suap dengan Gratifikasi

     

    2.      Mengenai asas pembuktian yang digunakan, pengaturan Pasal 12B UU Pemberantasan Tipikor menentukan bila nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut bukan merupakan suap dilakukan oleh penerima gratifikasi. Sedangkan, apabila nilai gratifikasinya kurang dari Rp10 juta, pembuktian bahwa gratifikasi tersebut suap dilakukan oleh penuntut umum. Artinya, asas pembuktian terbalik hanya diterapkan terhadap kasus suap yang nilai gratifikasinya di atas Rp10 juta atau lebih.

     

    3.      Salah satu hambatan dalam membuktikan apakah suatu gratifikasi merupakan suap atau tidak, adalah adanya kesulitan dalam menentukan apakah pemberian gratifikasi tersebut berhubungan dengan suatu jabatan atau pekerjaan. Contohnya, sebagaimana dijelaskan artikel Parsel Lebaran Antara Kepentingan Penguasa, Pengusaha, dan Pemberantasan Korupsi, pemberian parsel (gratifikasi) pada saat Lebaran, Natal atau Tahun Baru di kalangan pejabat sudah menjadi tradisi yang berlangsung puluhan tahun. Pada praktiknya, akan sulit untuk memilah mana pemberian parsel yang dilakukan dengan dengan niat silaturahim, dan pemberian parsel mana yang diiringi harapan naik jabatan atau dapat proyek.

     

    Selain itu, menurut Buku Saku Memahami Gratifikasi (hal. 1), implementasi penegakan peraturan gratifikasi ini tidak sedikit meng­hadapi kendala karena banyak masyarakat Indonesia masih menganggap bahwa memberi hadiah (baca: gratifikasi) merupakan hal yang lumrah. Secara sosiologis, hadiah adalah sesuatu yang bukan saja lumrah tetapi juga berperan sangat penting dalam merekat ‘kohesi sosial’ dalam suatu masyarakat maupun antar-masyarakat bahkan antar-bangsa.

     

    Jadi menurut hemat kami, memang masih terdapat hambatan-hambatan dalam dalam penegakan peraturan gratifikasi ini. Namun, hal ini bukanlah disebabkan oleh dianutnya asas pembuktian terbalik. Penerapan asas pembuktian terbalik justru kami nilai membantu mempermudah proses pembuktian, karena penuntut umum tidak lagi harus membuktikan bahwa gratifikasi tersebut merupakan suap.

     

    Sekian jawaban dari kami, semoga membantu.

     

    Dasar hukum:

    1.      Undang-Undang No. 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Undang-Undang No. 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi

    2.      Undang-Undang No. 30 Tahun 2002 tentang Komisi Pemberantasan Korupsi 

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Dasar Hukum Poligami di Indonesia dan Prosedurnya

    1 Nov 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!