Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dampak Perkawinan Inses Terhadap Status Istri dan Anak

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Dampak Perkawinan Inses Terhadap Status Istri dan Anak

Dampak Perkawinan Inses Terhadap Status Istri dan Anak
Karimatul Ummah, S.H.,M.HumPSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
PSHI Fakultas Hukum Universitas Islam Indonesia
Bacaan 10 Menit
Dampak Perkawinan Inses Terhadap Status Istri dan Anak

PERTANYAAN

Saya ingin menanyakan mengenai kasus inses dalam hukum perdata baik Islam atau pun dari KUH Perdata. Masalahnya, jika inses telah terjadi, bagaimana status wanita (istri) tersebut dan lebih jauhnya mengenai anak hasil hubungan tersebut. Bagaimana perwaliannya dan bagaimana dengan warisannya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perkawinan inses merupakan perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung atau dekat yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama.
     
    Menurut hukum yang berlaku di Indonesia, perkawinan yang demikian harus dibatalkan. Namun demikian, bagaimana hukumnya apabila dari perkawinan tersebut telah dilahirkan anak? Bagaimana status anak tersebut dan bagaimana keterkaitannya dengan perwalian dan kewarisannya?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Istilah ‘Inses’
    Dalam Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, ‘inses’ adalah hubungan seksual atau perkawinan antara dua orang yang bersaudara kandung yang dianggap melanggar adat, hukum, atau agama.
     
    Dengan demikian, yang dimaksud dengan perkawinan inses adalah pekawinan yang dilakukan oleh pria dan wanita di mana keduanya memiliki hubungan sedarah sebagaimana yang dimaksud di atas.
     
    Keberlakuan KUH Perdata
    Terkait pertanyaan Anda, patut diperhatikan bahwa peraturan mengenai perkawinan di Indonesia telah berlaku secara unifikasi, artinya hanya ada satu undang-undang yang berlaku, yakni Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”) serta aturan pelaksanaannya.
     
    Hal ini sebagaimana telah ditegaskan dalam ketentuan penutup Pasal 66 UU Perkawinan:
     
    Untuk perkawinan dan segala sesuatu yang berhubungan dengan perkawinan berdasarkan atas Undang-undang ini, maka dengan berlakunya Undang-undang ini ketentuan-ketentuan yang diatur dalam Kitab Undang-undang Hukum Perdata (Burgerlijk Wetboek), Ordonansi Perkawinan Indonesia Kristen (Huwelijks Ordonantie Christen Indonesiers S.1933 No. 74), Peraturan Perkawinan Campuran (Regeling op de gemengde Huwelijken S. 1898 No. 158), dan peraturanperaturan lain yang mengatur tentang perkawinan sejauh telah diatur dalam Undang-undang ini, dinyatakan tidak berlaku.
     
    Dengan demikian, untuk menjawab pertanyaan Anda, kami merujuk pada UU Perkawinan dan peraturan pelaksanaannya serta peraturan yang berlaku bagi umat Islam.
     
    Hukumnya Perkawinan Sedarah atau Inses
    Hukum perkawinan di Indonesia melarang perkawinan inses, sebagaimana diatur dalam Pasal 8 UU Perkawinan, bahwa perkawinan dilarang antara dua orang yang:
    1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
    2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya;
    3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu/bapak tiri;
    4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
    5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
    6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
     
    Bagi umat Islam, larangan perkawinan sedarah juga dapat ditemui dalam Pasal 70 huruf d Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”) yang menyatakan bahwa perkawinan batal apabila  perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah, semenda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU Perkawinan, yaitu :
    1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah atau ke atas.
    2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyimpang yaitu antara saudara, antara seseorang dengan saudara orang tua dan antara seseorang dengan saudara neneknya.
    3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri, menantu dan ibu atau ayah tiri.
    4. berhubungan  sesusuan,  yaitu  orang  tua  sesusuan,  anak sesusuan dan bibi atau paman sesusuan.
    Terhadap perkawinan inses tersebut, maka perkawinan dapat dinyatakan batal dan pada Pasal 28 ayat (1) UU Perkawinan dinyatakan bahwa batalnya suatu perkawinan dimulai setelah keputusan pengadilan mempunyai kekuatan hukum yang tetap dan berlaku sejak saat berlangsungnya perkawinan.
     
    Dalam Pasal 37 Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 1975 tentang Pelaksanaan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“PP Perkawinan”), ditegaskan bahwa batalnya suatu perkawinan hanya dapat diputuskan oleh pengadilan.
     
    Pengadilan yang berwenang untuk membatalkan perkawinan adalah pengadilan yang daerah kekuasaannya meliputi tempat berlangsungnya perkawinan atau di tempat tinggal suami istri, tempat tinggal suami atau tempat tinggal istri.[1]
     
    Yang dapat mengajukan pembatalan perkawinan yaitu:[2]
    1. Para keluarga dalam garis keturunan lurus ke atas dari suami atau istri;
    2. Suami atau istri;
    3. Pejabat yang berwenang hanya selama perkawinan belum diputuskan;
    4. Pejabat yang ditunjuk dan setiap orang yang mempunyai kepentingan hukum secara langsung terhadap perkawinan tersebut, tetapi hanya setelah perkawinan itu putus.
     
    Tata cara atau prosedur pengajuan pembatalan perkawinan, diatur dalam Pasal 38 PP Perkawinan yang menegaskan hal-hal berikut:
    1. Tata cara pengajuan permohonan pembatalan perkawinan dilakukan sesuai dengan tata cara pengajuan perceraian.
    2. Hal-hal yang berhubungan dengan panggilan, pemeriksaan pembatalan perkawinan dan putusan pengadilan dilakukan sesuai dengan tata cara tersebut dalam Pasal 20 – Pasal 36 PP Perkawinan.
     
    Baca juga: Status dan Hak Anak Akibat Pembatalan Perkawinan Orang Tuanya
     
    Status dan Kedudukan Anak Hasil Perkawinan Inses
    Apabila dari perkawinan yang batal tersebut terdapat anak yang dilahirkan, maka anak tersebut tetap dinyatakan sebagai anak yang sah, sebab putusnya perkawinan karena pembatalan tersebut tidak berlaku terhadap anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut sebagaimana ditegaskan dalam Pasal 28 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa kebatalan tidak berlaku surut terhadap:
    1. Anak-anak yang dilahirkan dari perkawinan tersebut;
    2. Suami atau istri yang bertindak dengan iktikad baik, kecuali terhadap harta bersama, bila pembatalan perkawinan didasarkan atas adanya perkawinan lain yang lebih dahulu;
    3. Orang-orang ketiga lainnya sepanjang mereka memperoleh hak-hak dengan iktikad baik sebelum keputusan tentang pembatalan mempunyai kekuatan hukum tetap.
     
    Menjawab pertanyaan Anda, maka:
    1. Terkait dengan status mantan istri, dengan dibatalkannya perkawinan tersebut, maka perkawinan menjadi putus dan istri berstatus janda. Adapun mengenai hak mantan istri akibat putusnya perkawinan ini, pengadilan dapat mewajibkan kepada mantan suami untuk memberikan biaya penghidupan dan/atau menentukan sesuatu kewajiban bagi mantan istri;
    2. Terkait dengan hak perwalian anak, maka anak memiliki hubungan nasab dengan ayah kandungnya tersebut, dalam hal ini ketika anak akan menikah, maka ayah kandung tersebut tetap berhak sebagai wali nikahnya, sebagaimana ditegaskan Pasal 21 ayat (1) KHI sebagai golongan pertama wali nasab dari kelompok kerabat laki-laki garis lurus ke atas anak tersebut.
     
    Halangan untuk menjadi wali nikah terjadi apabila wali nikah yang paling berhak tidak memenuhi syarat sebagai wali nikah atau oleh karena wali nikah itu menderita tuna wicara, tuna rungu atau sudah udzur, maka hak menjadi wali bergeser kepada wali nikah yang lain menurut derajat berikutnya.[3]
     
    Dengan demikian, jelas bahwa ayah kandung memiliki hak sebagai wali nasab jika anak yang dilahirkan dari perkawinan inses tersebut akan menikah.
     
    Begitu pula terkait dengan hak kewarisannya sebagaimana ditegaskan pada Pasal 171 huruf c KHI bahwa ahli waris adalah orang yang pada saat meninggal dunia mempunyai hubungan darah atau hubungan perkawinan dengan pewaris, beragama Islam dan tidak terhalang karena hukum untuk menjadi ahli waris.
     
    Hal tersebut dimaksudkan untuk memberikan perlindungan hukum kepada anak yang telah dilahirkan dalam suatu perkawinan. Perlindungan anak dimaknai sebagai segala kegiatan untuk menjamin dan melindungi anak dan hak-haknya agar dapat hidup, tumbuh, berkembang, dan berpartisipasi secara optimal sesuai dengan harkat dan martabat kemanusiaan, serta mendapat perlindungan dari kekerasan dan diskriminasi.[4]
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Referensi:
    Kamus Besar Bahasa Indonesia Daring Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan, diakses pada 14 September 2020, pukul 10.13 WIB.
     

    [1] Pasal 25 UU Perkawinan
    [2] Pasal 23 UU Perkawinan
    [3] Pasal 22 KHI
    [4] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak

    Tags

    keluarga dan perkawinan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Agar Terhindar dari Jebakan Saham Gorengan

    15 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!