Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Suami Kepergok Istri Selingkuh di Gunung, Ini Jerat Hukumnya

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Suami Kepergok Istri Selingkuh di Gunung, Ini Jerat Hukumnya

Suami Kepergok Istri Selingkuh di Gunung, Ini Jerat Hukumnya
Renata Christha Auli, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Suami Kepergok Istri Selingkuh di Gunung, Ini Jerat Hukumnya

PERTANYAAN

Belakangan ini viral kasus istri pergoki suami selingkuh di Gunung Papandayan dengan perempuan lain. Menurut berita yang beredar, ada dugaan suami melakukan hubungan badan dengan perempuan tersebut.

Pertanyaan saya:

  1. Bagaimana hukum perbuatan zina dalam KUHP? Apakah kasus perselingkuhan bisa dipenjara? Jika bisa, berapa lama hukuman kasus perselingkuhan?
  2. Bagaimana aturan hukum gugat cerai karena suami selingkuh dalam UU Perkawinan dan KHI?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perselingkuhan yang dilakukan dengan persetubuhan dapat dikenakan pasal perzinaan (overspel) yang diatur dalam Pasal 284 KUHP. Sedangkan dalam UU 1/2023 tentang KUHP baru yang mulai berlaku 3 tahun terhitung sejak tanggal diundangkan, tindak pidana perzinaan diatur dalam Pasal 411. Selain itu, perbuatan suami yang berbuat zina sehingga menyebabkan suami-istri tidak akan dapat hidup rukun adalah salah satu alasan untuk melakukan perceraian, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan penjelasannya.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Pelanggaran Pasal 284 yang ditulis oleh Si Pokrol dan dipublikasikan pada 23 Juni 2008.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    Pengertian Perzinaan

    Pengertian perbuatan zina menurut R. Sugandhi dalam bukunya KUHP dan Penjelasannya adalah persetubuhan yang dilakukan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan istri atau suaminya (hal. 300). Adapun menurut P.A.F. Lamintang dalam bukunya Dasar-dasar Hukum Pidana Indonesia, menjelaskan suatu perbuatan baru dapat dikatakan sebagai “persetubuhan”, apabila anggota kelamin pria telah memasuki lubang anggota kemaluan wanita, sehingga akhirnya mengeluarkan mani (hal. 301).

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Dengan demikian, dapat disimpulkan bahwa perzinaan atau persetubuhan adalah peraduan antara anggota ataupun alat kelamin laki-laki dengan perempuan yang mana alat kelamin laki-laki harus memasuki alat kelamin perempuan. Apabila alat kelamin laki-laki tidak memasuki alat kelamin perempuan, maka tidak dapat dikatakan sebagai persetubuhan.[1]

    Tindak Pidana Perzinaan dalam KUHP

    Menjawab pertanyaan Anda yang pertama, istilah “perselingkuhan” pada dasarnya tidak dikenal dalam hukum pidana Indonesia, melainkan yang digunakan adalah istilah perzinaan (overspel). Tindak pidana perzinaan diatur dalam Pasal 284 KUHP lama yang saat artikel ini diterbitkan masih berlaku dan Pasal 411 UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun setelah diundangkan,[2] yaitu tahun 2026 sebagai berikut.

    KUHPUU 1/2023

    Pasal 284

    1. Diancam dengan pidana penjara paling lama 9 bulan:

    1. a. seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,

    b. seorang wanita yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27
    BW berlaku baginya,

    2. a. seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut
    bersalah telah kawin

    b. seorang wanita yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya

     

    1. Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
    2. Terhadap pengaduan ini tidak berlaku pasal 72, 73, dan 75.
    3. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan dalam sidang pengadilan belum dimulai.
    4. Jika bagi suami-istri berlaku pasal 27 BW, pengaduan tidak diindahkan selama perkawinan belum diputuskan karena perceraian atau sebelum putusan yang menyatakan pisah meja dan tempat tidur menjadi tetap.

    Pasal 411

    1. Setiap Orang yang melakukan persetubuhan dengan orang yang bukan suami atau istrinya, dipidana karena perzinaan, dengan pidana penjara paling lama 1 tahun atau pidana denda paling banyak kategori II, yaitu Rp10 juta.[3]

    2. Terhadap Tindak Pidana sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilakukan penuntutan kecuali atas pengaduan

    a. suami atau istri bagi orang yang terikat perkawinan.

     

    b. Orang Tua atau anaknya bagi orang yang tidak terikat perkawinan.

     

    3. Terhadap pengaduan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak berlaku ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 25, Pasal 26, dan Pasal 30.

    4. Pengaduan dapat ditarik kembali selama pemeriksaan di sidang pengadilan belum dimulai.

     

    Adapun unsur-unsur Pasal 284 KUHP yaitu:[4]

    1. Salah satu pihak baik laki-laki atau perempuan harus telah terikat perkawinan secara sah (dalam ikatan perkawinan sah) sebagaimana diatur di dalam UU Perkawinan dan perubahannya;
    2. Harus ada persetubuhan, yaitu masuknya kelamin laki-laki ke kelamin wanita atas dasar suka sama suka atau suka rela. Dengan demikian, persetubuhan atas dasar suka sama suka harus benar-benar terjadi (tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak);[5]
    3. Harus ada pengaduan dari suami/istri yang tercemar sebagai korban atau pihak yang dirugikan.

    Unsur-unsur selengkapnya dapat Anda baca pada artikel Bunyi Pasal 284 KUHP tentang Perzinaan.

    Kemudian, perlu diketahui bahwa pasal perzinaan merupakan delik aduan absolut, sehingga pelaku tidak dapat dituntut jika tidak adanya pengaduan dari suami/istri yang menjadi korban/dirugikan.[6] R. Soesilo juga menambahkan bahwa pengaduan ini tidak boleh dibelah. Misalnya, apabila laki-laki (A) mengadukan bahwa istrinya (B) telah berzina dengan laki-laki lain (C), maka (B) sebagai yang melakukan perzinaan dan C sebagai yang turut melakukan perzinaan, kedua-duanya harus dituntut.[7] Adapun menurut UU 1/2023, delik perzinaan yang termuat dalam Pasal 411 UU 1/2023 memperluas ketentuan subjek yang berhak mengadukan delik perzinaan yaitu istri, suami, orang tua, maupun anak yang dirugikan.[8]

    Baca juga: Kepergok Selingkuh, Bisakah Dipidana?

    Alasan Perceraian dalam UU Perkawinan

    Menjawab pertanyaan Anda yang kedua, pada dasarnya, perbuatan suami yang berbuat zina sehingga menyebabkan suami-istri tidak akan dapat hidup rukun merupakan salah satu alasan untuk melakukan perceraian, sebagaimana diatur dalam Pasal 39 ayat (2) UU Perkawinan dan penjelasannya sebagai berikut:

    1. Salah satu pihak berbuat zina atau menjadi pemabuk, pemadat, penjudi dan lain sebagainya yang sukar disembuhkan;
    2. Salah satu pihak meninggalkan yang lain selama 2 tahun berturut-turut tanpa izin pihak yang lain dan tanpa alasan yang sah atau karena hal lain di luar kemauannya;
    3. Salah satu pihak mendapat hukuman penjara 5 tahun atau hukuman yang lebih berat setelah perkawinan berlangsung;
    4. Salah satu pihak melakukan kekejaman atau penganiayaan berat yang membahayakan terhadap pihak yang lain;
    5. Salah satu pihak mendapat cacat badan atau penyakit yang mengakibatkan tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai suami/istri;
    6. Antara suami dan istri terus menerus terjadi perselisihan dan pertengkaran dan tidak ada harapan akan hidup rukun lagi dalam rumah-tangga.

    Selain alasan-alasan di atas, pasangan suami istri yang beragama Islam dapat menjadikan dua alasan tambahan sebagai alasan bercerai sebagaimana diatur dalam Pasal 116 KHI, yaitu: 

    1. Suami melanggar taklik talak.
    2. Peralihan agama atau murtad yang menyebabkan terjadinya ketidakrukunan dalam rumah tangga.

    Baca juga: Pidana Selingkuh Tanpa Bersetubuh bagi Pasangan, Adakah?

    Mengenai proses gugatan cerai, pertama-tama dilihat terlebih dahulu tentang gugatan cerai menurut KHI. Menurut KHI, gugatan cerai adalah gugatan yang diajukan oleh istri sebagaimana yang terdapat dalam Pasal 132 ayat (1) KHI yang berbunyi:

    Gugatan perceraian diajukan oleh istri atau kuasanya pada Pengadilan Agama, yang daerah hukumnya mewilayahi tempat tinggal penggugat kecuali istri meninggalkan tempat kediaman tanpa izin suami.

    Melaporkan Suami Selingkuh ke Polisi

    Sebagaimana dijelaskan dalam artikel Sesama Rekan Kerja Kepergok Selingkuh, Bolehkah Dipecat?, pihak istri dapat mengumpulkan bukti-bukti yang cukup yang membuktikan bahwa pihak suami telah melakukan perselingkuhan dalam bentuk perzinaan dengan perempuan lain.

    Namun, perlu kami sampaikan bahwa hukum pidana adalah ultimum remedium atau upaya terakhir penegakan hukum, apabila segala upaya seperti perdamaian telah ditempuh.[9] Artinya perkara diutamakan untuk diselesaikan melalui jalur kekeluargaan terlebih dahulu.

    Adapun jika akan melaporkan kepada polisi, apa saja bukti perselingkuhan yang bisa digunakan? Menurut Pasal 184 ayat (1) KUHAP, setidak-tidaknya terdapat alat bukti yang sah, yaitu:

    1. keterangan saksi;
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    Referensi

    1. M. Aunul Hakim. Analisis Pasal 284 KUHP Tentang Tindak Pidana Zina. Jurnal el-Harakah, Vol. 8, No. 3, September-Desember 2006;
    2. Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017;
    3. Miftahul Jannah Matondang (et.al). Delik Zina dalam Perspektif Hukum Islam, KUHP, dan RKUHP. Landraad: Jurnal Syariah dan Hukum Bisnis, Vol. 1, No. 2, 2022;
    4. P.A.F. Lamintang. Dasar-Dasar Hukum Pidana Indonesia. Bandung: Citra Aditya Bakti, 2013;
    5. Putu Ari Sujaneka dan A.A. Ngurah Wirasila. Analisis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan dalam Perspektif KUHP. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol. 4, No. 1, 2016;
    6. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
    7. R. Sugandhi. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) dan Penjelasannya. Surabaya: Usaha Nasional, 1980;
    8. Umi Rozah dan Erlyn Indarti. Delik Zina: Unsur Substansial dan Penyelesaiannya Dalam Masyarakat Adat Madura. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jild 48, No.4, Oktober 2019.

    [1] M. Aunul Hakim. Analisis Pasal 284 KUHP Tentang Tindak Pidana Zina. Jurnal el-Harakah, Vol. 8, No. 3, September-Desember 2006, hal. 306

    [2] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [3] Pasal 79 ayat (1) huruf b UU 1/2023

    [4] Umi Rozah dan Erlyn Indarti. Delik Zina: Unsur Substansial dan Penyelesaiannya Dalam Masyarakat Adat Madura. Jurnal Masalah-Masalah Hukum, Jild 48, No.4, Oktober 2019, hal. 370-371

    [5] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991, hal. 209

    [6] Putu Ari Sujaneka dan A.A. Ngurah Wirasila. Analisis Mengenai Pertanggungjawaban Pidana Pelaku Perzinahan dalam Perspektif KUHP. Jurnal Ilmu Hukum Kertha Semaya, Vol. 4, No. 1, 2016, hal. 03

    [7] R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991, hal. 209

    [8] Miftahul Jannah Matondang (et.al). Delik Zina dalam Perspektif Hukum Islam, KUHP, dan RKUHP. Landraad: Jurnal Syariah dan Hukum Bisnis, Vol. 1, No. 2, 2022, hal. 136

    [9] Mas Putra Zenno Januarsyah. Penerapan Prinsip Ultimum Remedium dalam Tindak Pidana Korupsi. Jurnal Yudisial, Vol. 10, No. 3, 2017, hal. 257

    Tags

    perzinaan
    perkawinan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Balik Nama Sertifikat Tanah karena Jual Beli

    24 Jun 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!