Ulasan Lengkap
Intisari:
Frasa ‘cukup jelas’ dalam Penjelasan pasal demi pasal suatu Undang-Undang adalah sesuatu yang lazim. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan, misalnya, memuat lebih dari 250 item frasa ‘cukup jelas’. Hal yang sama bisa ditemukan di Undang-Undang lain.
Bagian Penjelasan suatu Undang-Undang merupakan tafsir resmi pembentuk Undang-Undang atas norma tertentu dalam batang tubuh. Oleh karena itu, penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.
Jika pembentuk Undang-Undang menuliskan frasa ‘cukup jelas’ dalam Penjelasan pasal demi pasal, itu bermakna pembentuk Undang-Undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh tidak perlu diperjelas lagi karena sudah jelas. Jika terjadi perbedaan tafsir terhadap suatu rumusan norma, maka kita dapat melihat pada dokumen-dokumen pembahasan, naskah akademik, atau sistematika Undang-Undang dimaksud. Jika perbedaan pendapat itu sampai pada sengketa yang dibawa ke pengadilan, maka tugas hakimlah yang menemukan hukumnya (rechtsvinding).
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ada banyak frasa ‘cukup jelas’ pada bagian Penjelasan pasal demi pasal dalam setiap peraturan perundang-undangan. Jadi, tidak hanya pada Undang-Undang yang Anda sebutkan. Dalam Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan terdapat lebih dari 250 frasa ‘cukup jelas’ pada bagian Penjelasan pasal demi pasal.
Bagian Penjelasan Pasal dalam Peraturan Perundang-Undangan
Bagian ‘Penjelasan’ dalam peraturan perundang-undangan sebenarnya berfungsi antara lain untuk menjelaskan segala sesuatu yang dipandang masih memerlukan penjelasan. Bagian Penjelasan merupakan ‘interpretasi resmi’ (autentik) dari pembentuk peraturan perundang-undangan yang dapat membantu untuk mengetahui maksud atau latar belakang pembentukan peraturan perundang-undangan tersebut.[1]
Oleh karena Penjelasan berfungsi sebagai tafsir resmi pembentuk peraturan perundang-undangan atas norma tertentu dalam batang tubuh, maka Penjelasan hanya memuat uraian terhadap kata, frasa, kalimat, atau padanan kata/istilah asing dalam norma yang dapat disertai dengan contoh. Penjelasan sebagai sarana untuk memperjelas norma dalam batang tubuh tidak boleh mengakibatkan terjadinya ketidakjelasan dari norma yang dimaksud.[2]
Menurut Maria Farida dalam bukunya Ilmu Perundang-Undangan 2, Proses dan Teknik Pembentukannya, walaupun di dalam suatu peraturan perundang-undangan dimungkinkan adanya suatu Penjelasan, tetapi seyogianya para pembentuk peraturan perundang-undangan selalu mengusahakan pembentukan yang sebaik-baiknya dan sejelas-jelasnya, sehingga tidak menimbulkan keragu-raguan dari para pemakai peraturan perundang-undangan bersangkutan.[3]
Pandangan Maria Farida itu juga sejalan dengan asas kejelasan rumusan dalam pembentukan peraturan perundang-undangan. Asas ini mengandung arti bahwa setiap peraturan perundang-undangan harus memenuhi persyaratan teknis penyusunan peraturan perundang-undangan, sistematika, pilihan kata atau istilah, serta bahasa hukum yang jelas dan mudah dimengerti sehingga tidak menimbulkan berbagai macam interpretasi dalam pelaksanaannya.[4] Ketaatan pada asas ini menjadi syarat untuk pembentukan peraturan perundang-undangan yang baik (beginselen van behoorlijke wetgeving). Salah satu prinsip peraturan perundang-undangan yang baik adalah terminologi dan sistematika yang jelas (het beginsel van duidelijke terminologie en duidelijke systematiek).[5]
Frasa ‘Cukup Jelas’
Frasa ‘cukup jelas’ seperti yang Anda tanyakan dituliskan karena para pembentuk peraturan perundang-undangan menganggap rumusan pasalnya sudah cukup jelas, atau ‘tidak memerlukan penjelasan’ lagi.[6]
Meskipun pembentuk peraturan perundang-undangan menyebutkan ‘cukup jelas’ atas suatu rumusan batang tubuh, bukan berarti tak ada peluang perbedaan penafsiran. Ketidakjelasan rumusan peraturan perundang-undangan justru dipercaya sebagai salah satu faktor yang mempengaruhi penegakan hukum. Soerjono Soekanto mengatakan:[7]
Persoalan lain yang mungkin timbul di dalam Undang-Undang adalah ketidakjelasan di dalam kata-kata yang dipergunakan di dalam perumusan pasal-pasal tertentu. Kemungkinan hal itu disebabkan karena penggunaan kata-kata yang artinya dapat ditafsirkan secara luas sekali, atau karena soal terjemahan dari bahasa asing (Belanda) yang kurang tepat.
Cara Mengartikan Frasa ‘Cukup Jelas’
Lantas, seperti pertanyaan Anda, bagaimana mengartikan frasa ‘cukup jelas’? Jika peraturan perundang-undangan tidak lengkap atau tidak jelas, dan frasa ‘cukup jelas’ justru ditafsirkan berbeda oleh masyarakat, peraturan itu tetap harus dilaksanakan. Jika perbedaan pendapat itu sampai pada sengketa yang dibawa ke pengadilan, maka tugas hakimlah yang menemukan hukumnya. Di sinilah letak pentingnya penemuan hukum (rechtsvinding). Pada tahap penemuan hukum inilah muncul interpretasi-interpretasi.
Mengartikan frasa ‘cukup jelas’ bisa dilakukan dengan melihat batang tubuh pasal tersebut, lalu melakukan interpretasi terhadap maksud pembentuk peraturan perundang-undangan. Yang bisa dilakukan antara lain melihat kembali bahan-bahan pembahasan peraturan dimaksud (memorie van toelichting), melihat kamus (interpretasi bahasa), maupun melihat naskah akademik. Selengkapnya tentang naskah akademik dapat Anda baca dalam artikel Dimana Mendapatkan Naskah Akademik Suatu Undang-Undang.
Anda juga dapat menghubungkan isi batang tubuh dan penjelasan yang memiliki frasa ‘cukup jelas’ itu dengan pasal atau peraturan perundang-undangan lain (interpretasi sistematis). Selanjutnya, kami sarankan Anda membaca bahan-bahan mengenai interpretasi hukum yang banyak dikaji dalam referensi ilmu hukum.
Sebagai kesimpulan dapat kami sampaikan bahwa frasa ‘cukup jelas’ mengandung makna bahwa pembentuk Undang-Undang menganggap rumusan norma dalam batang tubuh suatu pasal sudah jelas dan tidak perlu diperjelas lagi.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan.
Referensi:
1. Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan 2: Proses dan Teknik Pembentukannya. Yogyakarta: Kanisius, 2007.
2. Soerjono Soekanto. Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014.
3. Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010.
[1]Maria Farida Indrati S. Ilmu Perundang-Undangan 2, Proses dan Teknik Pembentukannya. (Yogyakarta: Kanisius, 2007), hal. 144
[2]Lampiran II Huruf E angka 176 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”)
[3]Maria Farida, hal. 146
[4]Pasal 5 huruf f UU 12/2011 dan penjelasannya
[5]Yuliandri. Asas-Asas Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan yang Baik, Gagasan Pembentukan Undang-Undang Berkelanjutan. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2010), hal. 114
[6]Maria Farida., hal. 145
[7]Soerjono Soekanto, Faktor-Faktor yang Mempengaruhi Penegakan Hukum. (Jakarta: RajaGrafindo Persada, 2014), hal. 16-17
Apabila Anda menggunakan Private Browsing dalam Firefox, "Tracking Protection" akan muncul pemberitahuan Adblock. Anda dapat menonaktifkan dengan klik “shield icon” pada address bar Anda.
Terima kasih atas dukungan Anda untuk membantu kami menjadikan hukum untuk semua