KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perkawinan di Luar Negeri

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Perkawinan di Luar Negeri

Perkawinan di Luar Negeri
Si PokrolSi Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Perkawinan di Luar Negeri

PERTANYAAN

Ini tentang perceraian dalam hukum Islam. Jika perkawinan dilaksanakan di Luar Negeri, suami istri balik ke Indonesia dan akta perkawinan masih produk luar belum didaftarkan di Indonesia setelah lewat 1 tahun. Apakah sanksinya bila tdk didaftarkan di Indonesia (terlambat). Apakah bisa diajukan perceraian dg menggunakan bukti akta perkawinan produk luar tersebut? Jika harus didaftarkan ke intansi mana ? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Berdasarkan Kompilasi Hukum Islam, suatu ikatan perkawinan bisa putus karena kematian, perceraian, atau atas putusan pengadilan. Terkait yang Anda tanyakan, kita memang harus merujuk pada Pasal 56 ayat (1) UU No. 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Pasal ini menyatakan bahwa Perkawinan yang dilangsungkan di luar Indonesia adalah sah apabila:

    ·         Perkawinan dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan;

    ·         Bagi WNI tidak melanggar ketentuan UU Perkawinan.

     

    Berikutnya disebutkan bahwa dalam waktu satu tahun setelah suami isteri itu kembali ke wilayah Indonesia, surat bukti perkawinan mereka harus didaftarkan ke kantor pencatatan perkawinan tempat tinggal mereka.

     

    Sayang, tidak ada penjelasan lebih lanjut mengenai ketentuan Pasal 56 tersebut. Untuk memahami lebih lanjut persoalan ini, ada baiknya kita lihat pendapat para pakar. Prof. Zulfa Djoko Basuki, pakar hukum perdata internasional, mengaitkan perkawinan di luar negeri ini dengan Pasal 16 AB (Algemene Bepalingen van wetgeving), yang menyebutkan: bagi warga negara Indonesia dimanapun ia berada akan tunduk pada hukum Indonesia.

     

    Untuk sahnya suatu perkawinan, diperlukan dua syarat, yaitu syarat formal dan syarat material. Syarat formal diatur dalam pasal 18 AB, yakni ‘tunduk pada hukum dimana perkawinan itu dilangsungkan' (lex loci celebrationis). Jika di negara dimana perkawinan dilangsungkan berlaku perkawinan sipil, maka perkawinan harus dilakukan secara sipil. Untuk syarat materiil, misalnya mengenai batas usia menikah, berlaku hukum nasional (dalam hal ini Indonesia). Menurut Prof. Zulfa, kedua syarat harus dipenuhi oleh WNI yang menikah di luar negeri.

     

    Syarat formal dalam Pasal 56 UU Perkawinan tadi dirumuskan dalam frase bilamana dilakukan menurut hukum yang berlaku di negara dimana perkawinan itu dilangsungkan. Sedangkan syarat formalnya dirumuskan dalam frase tidak melanggar ketentuan Undang-Undang ini.

     

    UU Perkawinan sudah mensyaratkan bahwa perkawinan yang dilaksanakan di luar negeri tetap harus memenuhi syarat-syarat yang ditentukan UU Perkawinan. Jadi, sangat mungkin perkawinan sah secara formal di negara tempat perkawinan dilangsungkan, tetapi tidak sah menurut hukum Indonesia (lihat pasal 2 UU Perkawinan). Menurut Prof. Zulfa, bila syarat materiil tersebut dilanggar, maka perkawinan tersebut dapat dibatalkan. Ini adalah resiko yang mungkin dihadapi pasangan yang menikah di luar negeri, dan tidak mendaftarkannya sesuai batas waktu yang ditentukan UU Perkawinan.

     

    Lalu, dimanakah perkawinan itu didaftarkan? Pasal 56 ayat 2 UU Perkawinan hanya menyebut didaftarkan di Kantor Pencatatan Perkawinan tempat tinggal mereka. Apakah maksudnya catatan sipil? Menurut Prof. Zulfa, Kantor Catatan Sipil hanya menerima pelaporan perkawinan yang dilangsungkan di luar negeri,. SK Gubernur DKI Jakarta No. 15 Tahun 1999 juga menyebutkan setelah kembali ke Indonesia, setiap perkawinan ...(yang dilangsungkan di luar negeri)... dilaporkan pada Kantor Catatan Sipil.

     

    Bahwa di dalam Surat Pelaporan Perkawinan itu ditulis dengan tegas bahwa Surat Pelaporan Perkawinan bukan merupakan Akta Perkawinan.

     

    Kita juga perlu melihat aturan lain yang relevan, yakni Undang-Undang No. 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan. Undang-Undang ini menempatkan pencatatan peristiwa kependudukan –seperti perkawinan—sebagai hak. Berdasarkan Undang-Undang ini, perkawinan WNI yang dilangsungkan di luar negeri wajib dicatatkan pada instansi yang berwenang di negara setempat dan dilaporkan pada Perwakilan RI. Jika di negara tersebut tidak dikenal pencatatan perkawinan bagi orang asing, maka pencatatan dilakukan Perwakilan RI. Oleh Perwakilan RI, perkawinan itu dicatatkan dalam Register Akta Perkawinan, lalu terbitlah Kutipan Akta Perkawinan. Nah, kalau pasangan tadi sudah kembali ke Indonesia, mereka kudu melapor ke instansi pelaksana di tempat tinggalnya di Indonesia paling lambat 30 hari setelah tiba di Indonesia.

     

    Untuk memahami lebih lanjut tata cara pencatatan perkawinan tadi, kami sarankan Anda membaca Peraturan Presiden No. 25 Tahun 2008.

     

    Mudah-mudahan jawaban kami bermanfaat. (Mys)

     

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Ingin Rujuk, Begini Cara Cabut Gugatan Cerai di Pengadilan

    1 Sep 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!