Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul
Hukumnya Jika Karyawati Diwajibkan Resign Karena Hamil yang dibuat oleh
Adi Condro Bawono dan Diana Kusumasari dan dipublikasikan pertama kali pada Kamis, 9 Februari 2012.
Ketentuan mengenai pemutusan hubungan kerja dalam undang-undang ini meliputi pemutusan hubungan kerja yang terjadi di badan usaha yang berbadan hukum atau tidak, milik orang perseorangan, milik persekutuan atau milik badan hukum, baik milik swasta maupun milik negara, maupun usaha-usaha sosial dan usaha-usaha lain yang mempunyai pengurus dan mempekerjakan orang lain dengan membayar upah atau imbalan dalam bentuk lain.
Dengan demikian, maka ketentuan ketenagakerjaan, khususnya terkait pemutusan hubungan kerja (“PHK”) sebagaimana diatur dalam UU Ketenagakerjaan yang beberapa ketentuannya telah diubah, dihapus, atau dimuat pengaturan baru oleh
Undang-Undang Nomor 11 tahun 2020 tentang Cipta Kerja (“UU Cipta Kerja”) berlaku bagi pemberi kerja dan pekerja sebagaimana disebutkan di atas.
Bolehkah Perusahaan Mewajibkan Karyawan Resign karena Hamil?
Menjawab pertanyaan Anda, pada prinsipnya, perusahaan tidak dapat mewajibkan Anda untuk mengundurkan diri atau resign karena Anda hamil.
Hal ini didasarkan pada Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (1) huruf e UU Ketenagakerjaan yang menyatakan bahwa pengusaha dilarang melakukan PHK dengan alasan pekerja hamil, melahirkan, gugur kandungan, atau menyusui bayinya.
PHK yang dilakukan atas alasan di atas batal demi hukum dan pengusaha wajib mempekerjakan kembali pekerja yang bersangkutan.
[1]Selain itu, perusahaan tidak dapat memaksa Anda untuk mengundurkan diri, karena pada dasarnya pengunduran diri haruslah didasarkan pada kemauan pekerja. Hal ini sesuai dengan Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (1) huruf i yang menyatakan:
(1) Pemutusan hubungan kerja dapat terjadi karena alasan:
i. pekerja/buruh mengundurkan diri atas kemauan sendiri dan harus memenuhi syarat:
mengajukan permohonan pengunduran diri secara tertulis selambat-lambatnya 30 (tiga puluh) hari sebelum tanggal mulai pengunduran diri:
tidak terikat dalam ikatan dinas; dan
tetap melaksanakan kewajibannya sampai tanggal mulai pengunduran diri.
Lebih lanjut, meskipun pada prinsipnya perusahaan boleh mengatur alasan-alasan PHK lainnya selain yang telah diatur dalam pasal yang kami sebutkan di atas di dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan (“PP”), atau perjanjian kerja bersama (“PKB”),
[2] namun substansinya tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan.
[3]
Dengan demikian, menurut hemat kami, perusahaan tidak boleh memberlakukan aturan yang mewajibkan karyawan mengundurkan diri karena hamil dikarenakan hal tersebut bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang berlaku,
Perlindungan dan Hak Pekerja yang Hamil
Menjawab pertanyaan kedua, dikarenakan PHK dengan alasan pekerja hamil batal demi hukum, maka pekerja yang hamil tidak boleh di-PHK sehingga tidak berlaku ketentuan mengenai pesangon dan hak-hak lainnya terkait PHK. Adapun secara hukum, pekerja yang hamil berhak atas perlindungan dan hak-hak di antaranya sebagai berikut:
Pekerja perempuan hamil yang menurut keterangan dokter berbahaya bagi kesehatan dan keselamatan kandungannya maupun dirinya dilarang dipekerjakan antara pukul 23.00 sampai dengan pukul 07.00.
[4] Apabila dilanggar, pengusaha dikenakan sanksi pidana kurungan minimal 1 bulan dan maksimal 12 bulan dan/atau denda minimal Rp10 juta dan maksimal Rp100 juta.
[5]Berhak memperoleh istirahat selama 1,5 bulan sebelum saatnya melahirkan anak dan 1,5 bulan sesudah melahirkan menurut perhitungan dokter kandungan atau bidan,
[6] dan bagi yang mengalami keguguran kandungan berhak memperoleh istirahat 1,5 bulan atau sesuai dengan surat keterangan dokter kandungan atau bidan.
[7] Pekerja perempuan yang menggunakan waktu hak istirahat tersebut tetap berhak mendapat upah penuh.
[8]
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
[1] Pasal 81 angka 40 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 153 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[2] Pasal 81 angka 42 UU Cipta Kerja yang memuat baru Pasal 154A ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 54 ayat (2)
jo. Pasal 111 ayat (2)
jo. Pasal 124 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 76 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 81 angka 65 UU Cipta Kerja yang mengubah Pasal 187 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[6] Pasal 82 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 82 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[8] Pasal 84 UU Ketenagakerjaan