Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?

Share
copy-paste Share Icon
Hak Asasi Manusia

Apakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?

  Apakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?
Advent Kristanto Nababan, S.H. Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron
Bacaan 10 Menit
  Apakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?

PERTANYAAN

Teman saya menganut ateisme. Apakah hal ini diperbolehkan di Indonesia? Apabila boleh, apakah dia boleh menyebarkan kepercayaannya itu? Lalu bagaimana dengan agnostisisme? Mohon pencerahannya. Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Ateisme diartikan sebagai paham tidak mempercayai adanya Tuhan. Sedangkan agnostisisme berarti tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan percaya bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diperoleh.

    Meskipun paham ateisme bertentangan dengan Sila Pertama Pancasila, namun dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tidak ada ketentuan yang secara tegas dan eksplisit mengatur larangan untuk menganut paham ateisme ataupun agnostisisme. Akan tetapi menyebarkannya berpotensi dijerat pidana.

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Menjadi Ateis di Indonesia? yang dibuat oleh Adi Condro Bawono dan Diana Kusumasari, dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 28 Februari 2012.

    Artikel ini dibuat berdasarkan KUHP lama dan UU 1/2023 tentang KUHP yang diundangkan pada tanggal 2 Januari 2023.

    KLINIK TERKAIT

    Nikah Beda Agama, Dapatkah Camer Minta Mahar Fantastis?

    Nikah Beda Agama, Dapatkah Camer Minta Mahar Fantastis?

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Pengertian Ateis dan Ateisme

    Menurut Helmy Hidayahtulloh dalam buku Ateisme dan Teisme Modern (hal. 63) pengertian ateisme adalah sebagai berikut:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Kata “ateisme” dapat dipahami dari kata-kata penyusunnya. Imbuhan “a” berarti “tanpa” atau “kurang” dan “teisme” berasal dari istilah Yunani “theos” yang berarti Tuhan. Apabila “teisme” berarti kepercayaan kepada Tuhan”, maka pemahaman yang paling umum dari istilah “ateisme” adalahketidakyakinan pada Tuhan. Oleh sebab itu “ateis” merupakan individu yang tidak percaya pada Tuhan.

    Lebih lanjut menurut Nurcholish Majid, pada dasarnya ateisme adalah paham yang mengingkari adanya Tuhan. Bagi kaum ateis, yang ada ialah alam kebendaan dan kehidupan pun terbatas hanya dalam kehidupan duniawi ini saja. Kehidupan ruhani serta alam setelah kematian adalah khayal manusia yang tidak terbukti kebenarannya, karena itu mereka tolak.[1]

    Adapun dalam KBBI, pengertian ateisme adalah paham yang tidak mengakui adanya Tuhan. Dengan demikian, dapat dipahami bahwa secara sederhana ateisme diartikan sebagai paham tidak mempercayai adanya Tuhan.

    Sedangkan orang yang tidak percaya akan adanya Tuhan, disebut dengan ateis.

    Apakah Boleh Menjadi Ateis di Indonesia?

    Pancasila sebagai ideologi negara sekaligus dasar filosofis negara Indonesia,[2] sila pertama menyebutkan Ketuhanan Yang Maha Esa, yang mengandung makna adanya keyakinan terhadap Tuhan, yang menciptakan alam semesta beserta isinya.

    Hal ini juga ditegaskan Yudi Latif dalam buku Negara Paripurna yang menyatakan bahwa kuatnya saham keagamaan dalam fondasi kebangsaan Indonesia membuat arus besar pendiri bangsa tidak membayangkan ruang publik hampa Tuhan. Sejak dekade 1920-an, ketika Indonesia mulai dibayangkan sebagai komunitas politik bersama, mengatasi komunitas kultural dari ragam etnis dan agama, ide kebangsaan tidak terlepas dari Ketuhanan (hal. 67).

    Lebih lanjut, prinsip Ketuhanan Yang Maha Esa ini juga tertuang dalam Pasal 29 ayat (1) UUD 1945 yang berbunyi:

    Negara berdasar atas Ketuhanan Yang Maha Esa.

    Berdasarkan hal tersebut, maka unsur ateisme bertentangan dengan sila Ketuhanan Yang Maha Esa.[3]

    Akan tetapi, sepanjang penelusuran kami tidak ada peraturan perundang-undangan yang secara tegas dan eksplisit melarang ataupun memberikan sanksi bagi seorang ateis.

    Artinya, secara hukum, tidak ada peraturan perundang-undangan yang tegas melarang seseorang menganut paham ateisme. Konsekuensi hukum dari seseorang yang menganut paham ateisme adalah tidak dapat menikmati hak-hak yang pada umumnya bisa dinikmati mereka yang menganut agama tertentu di Indonesia.

    Misalnya kesulitan mengurus perkawinan, karena menurut ketentuan Pasal 1 ayat (1) UU Perkawinan mengatur bahwa perkawinan sahapabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya. Selain itu, juga akan kesulitan mengurus dokumen-dokumen kependudukan seperti KTP yang mengharuskan adanya pencantuman agama atau kepercayaan.[4]

    Berbeda halnya halnya dengan ateis yang “hanya” menganut paham ateisme, penyebar paham ateisme di Indonesia dapat dikenakan sanksi pidana. Hal ini diatur di dalam KUHP lama yang masih berlaku pada saat artikel ini diterbitkan dan UU 1/2023 tentang KUHP baru yang berlaku 3 tahun sejak tanggal diundangkan[5] yaitu tahun 2026 sebagai berikut.

    Pasal 156a KUHP

    Pasal 302 UU 1/2023

    Dipidana dengan pidana penjara selama-lamanya 5 tahun barang siapa dengan sengaja di muka umum mengeluarkan perasaan atau melakukan perbuatan:

    1. yang pada pokoknya bersifat permusuhan, penyalahgunaan atau penodaan terhadap suatu agama yang dianut di Indonesia;
    2. dengan maksud agar supaya orang tidak menganut agama apapun juga, yang bersendikan Ketuhanan Yang Maha Esa.
    1. Setiap orang yang di muka umum menghasut agar seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak kategori III yaitu Rp50 juta.[6]
    2. Setiap orang yang dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seseorang menjadi tidak beragama atau berkepercayaan atau berpindah agama atau kepercayaan yang dianut di Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling lama 4 tahun atau pidana denda paling banyak kategori IV yaitu Rp200 juta.[7]

    Berdasarkan Pasal 156a KUHP di atas dapat dipahami bahwa seorang ateisme dilarang menyebarkan paham ateisme. Sementara jika seseorang menyebarkan ateisme dengan cara menghasut atau menggunakan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa orang lain menjadi ateis dapat dipidana berdasarkan Pasal 302 UU 1/2023

    Apakah di Indonesia Boleh Agnostik?

    Menurut Kamarusdiana dalam buku Filsafat Hukum (hal. 153) agnostisisme didefinisikan sebagai berikut:

    Agnostisisme adalah suatu pandangan filosofis bahwa suatu nilai kebenaran dari suatu klaim tertentu umumnya yang berkaitan dengan theology, metafisika, keberadaan Tuhan, dewa dan sebagainya adalah tidak dapat diketahui dengan akal pikiran manusia yang terbatas, karena pengetahuan yang terbatas dan membawa keterbatasan dari segi ilmu pengetahuan.

    Lebih lanjut Helmy Hidayatulloh (hal. 77) menjelaskan bahwa agnostisisme berarti tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan dan percaya bahwa pengetahuan tentang Tuhan tidak dapat diperoleh. Adapun penganut agnostisisme ini disebut dengan agnostik.

    Sementara, menurut KBBI, agnostisisme adalah paham yang mempertahankan pendirian bahwa manusia itu kekurangan informasi atau kemampuan rasional untuk membuat pertimbangan tentang kebenaran tertinggi. Agnostisisme juga diartikan sebagai keyakinan bahwa manusia tidak memiliki pengetahuan tentang Tuhan.

    Lebih lanjut, menurut KBBI, agnostik adalah orang yang berpandangan bahwa kebenaran tertinggi (misalnya Tuhan) tidak dapat diketahui dan mungkin tidak akan dapat diketahui.

    Agnostik juga dapat diartikan sebagai orang yang berpendapat bahwa beberapa aspek supranatural selamanya tertutup bagi pengetahuan manusia.[8]

    Berdasarkan pendapat di atas, dapat dipahami bahwa agnostisisme suatu pandangan bahwa ada atau tidaknya Tuhan adalah suatu yang tidak diketahui atau tidak dapat diketahui. Sementara ateisme merupakan paham yang tidak mempercayai adanya Tuhan.

    Lantas, apakah di Indonesia boleh agnostik? Mengacu pada ulasan di atas dapat dipahami bahwa terhadap paham agnostisisme maupun ateisme tidak secara tegas dilarang ataupun ditentukan sanksi dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia.

    Akan tetapi, patut diperhatikan Pasal 156a KUHP yang melarang seorang ateis ataupun agnostik menyebarkan pahamnya dengan tujuan agar orang lain tidak menganut suatu agama apapun. Terlebih jika penyebarannya dilakukan dengan cara menghasut atau dengan ancaman kekerasan atau ancaman kekerasan, Pasal 302 UU 1/2023 melarang hal tersebut.

    Baca juga: Kebebasan Memeluk Agama dan Kepercayaan sebagai Hak Asasi Manusia

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia 1945;
    2. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
    3. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
    4. Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukan;
    5. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan dan diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
    6. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016.

    Referensi:

    1. Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020;
    2. Kamarusdiana. Filsafat Hukum. Jakarta: UIN Jakarta Press, 2018;
    3. Yudi Latif. Negara Paripurna: Historisitas, Rasionalitas, dan Aktualitas. Jakarta: PT. Gramedia Pustaka Utama, 2012;
    4. Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 14.20 WIB;
    5. Ateisme, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 14.51 WIB;
    6. Ateis, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.01 WIB;
    7. Agnostisisme, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.51 WIB;
    8. Agnostik, yang diakses pada Rabu, 23 Agustus 2023, pukul 15.30 WIB.

    [1] Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020, hal. 167

    [2] Penjelasan Pasal 2 alinea ke-2 Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan

    [3]Buku Ajar Mata Kuliah Wajib Umum Pendidikan Pancasila. Direktorat Jenderal Pembelajaran dan Kemahasiswaan Kementerian Riset, Teknologi dan Pendidikan Tinggi, 2016, hal. 125

    [4] Pasal 64 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2006 tentang Administrasi Kependudukanjo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 97/PUU-XIV/2016

    [5] Pasal 624 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2023 tentang Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“UU 1/2023”)

    [6] Pasal 79 ayat (1) huruf c UU 1/2023

    [7] Pasal 79 ayat (1) huruf d UU 1/2023

    [8] Helmy Hidayatulloh. Ateisme dan Teisme Modern: Studi Kritis terhadap Bertrand Russell dan Nurcholish Madjid. Tangerang Selatan: Pustakapedia, 2020, hal. 78

    Tags

    pancasila
    kuhp

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!