Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Aturan PHK Pekerja yang Mabuk di Tempat Kerja

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Aturan PHK Pekerja yang Mabuk di Tempat Kerja

Aturan PHK Pekerja yang Mabuk di Tempat Kerja
Diana Kusumasari, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Aturan PHK Pekerja yang Mabuk di Tempat Kerja

PERTANYAAN

Seorang yang di-PHK karena berada dalam pengaruh alkohol sebagaimana yang diatur dalam salah satu pasal PKB, apakah harus memperoleh keputusan hakim pidana sebagaimana Kep MK No. 012/PUU-I/2003?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Memang berdasarkan Pasal 158 ayat (1) huruf c UU No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), pekerja yang mabuk atau meminum minuman keras yang memabukkan di lingkungan kerja dapat diputus hubungan kerjanya.

    KLINIK TERKAIT

    Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat?

    Tidur di Tempat Kerja Saat Puasa, Bisakah Dipecat?

    Namun, pasal tersebut kemudian telah dibatalkan oleh Mahkamah Konstitusi melalui putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003. Dalam putusan MK tersebut, yang kemudian dijelaskan dalam Surat Edaran Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005 (“SE Menakertrans”),untuk pengusaha dapatmelakukan Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)karena pekerja melakukan kesalahan berat, harus ada putusan hakim pidana yang berkekuatan hukum tetap.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Sehingga, proses PHK tersebut tidak menyalahi proses hukum yang benar (due process of law) karena setiap pekerja yang belum memperoleh putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap dianggap tidak bersalah berdasarkan asas praduga tidak bersalah (presumption of innocence). Jadi, seharusnya tidak ada PHK karena kesalahan berat tanpa putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap.

    Namun, memang PHK karena kesalahan berat tanpa adanya putusan pengadilan pidana maupun penetapan PHI ini masih terjadi dalam praktik. Mengenai pengaturan dalam PKB yang Anda sebutkan pula, pengajar hukum perburuhan Universitas Trisakti, Yogo Pamungkas dalam artikel PHK Karena Kesalahan Berat Masih Jadi Perdebatan berpendapat bahwa kesalahan berat sebagai alasan PHK, masih sering menimbulkan perdebatan dalam praktik. Yogo mengetahui bahwa Mahkamah Konstitusi memang telah membatalkan Pasal 158 UU Ketenagakerjaan. Namun masalah akan muncul ketika isi Pasal 158 dituangkan kedalam PKB. Dan hal ini masih debatable (diperdebatkan) di kalangan hakim ketika pengusaha memindahkan kaedah heteronom ke otonom.

    Akan tetapi, UU Ketenagakerjaan sudah menentukan bahwa isi suatu peraturan perusahaan maupun perjanjian kerja bersama tak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Artinya, jika UU Ketenagakerjaan saja sudah ‘menghapuskan’ kesalahan berat sebagai alasan PHK, maka seyogianya peraturan otonom (dalam hal ini PKB) tak boleh mengaturnya.

    Dengan demikian, pada dasarnya, pihak perusahaan harus melakukan proses PHK sesuai prosedur yang diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan UU No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial, baik ada maupun tidak ada putusan pidana yang berkekuatan hukum tetap, yaitu:

    a.      Mengadakan perundingan bipartit (antara pekerja dan pengusaha) secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Jadi, cobalah untuk membuka perundingan dengan pihak pengusaha yang mempekerjakan anda mengenai masalah ini.

    b.      Apabila dalam waktu 30 hari setelah perundingan dimulai tidak tercapai kesepakatan, upaya selanjutnya adalah perundingan tripartit, yaitu dengan melibatkan Dinas Ketenagakerjaan dan Transmigrasi setempat. Pada tahap ini, Anda perlu mengajukan bukti-bukti bahwa perundingan bipartit telah dilaksanakan, namun gagal mencapai kesepakatan. Nantinya, pegawai Dinas Ketenagakerjaan itu akan menawarkan pekerja dan pengusaha untuk memilih proses mediasi atau konsiliasi. Jika proses mediasi atau konsiliasi itu membuahkan kesepakatan, maka kesepakatan itu dituangkan dalam sebuah perjanjian bersama. Perjanjian itu harus didaftarkan ke Pengadilan Hubungan Industrial (“PHI”). Apabila di kemudian hari ada pihak yang melanggar perjanjian bersama, maka pihak yang merasa dirugikan bisa langsung memohonkan eksekusi ke PHI.

    c.      Apabila perundingan tripartit tetap tidak menghasilkan kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan perselisihan ini kepada Pengadilan Hubungan Industrial. Bila nanti ada pihak yang merasa tak puas dengan putusan PHI bisa langsung mengajukan kasasi ke Mahkamah Agung.

    Simakjugaartikel Diancam Di-PHK Karena Mengajukan Kuitansi Berganda

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar hukum:

    1.      Undang-Undang No. 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;

    2.      Undang-Undang No. 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

    3.      Surat Edaran Menakertrans No. SE-13/MEN/SJ-HK/I/2005 tertanggal 7 Januari 2005.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi No. 012/PUU-I/2003

    Tags


    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!