Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Siapa yang Berwenang Mencabut Undang-Undang?

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Siapa yang Berwenang Mencabut Undang-Undang?

Siapa yang Berwenang Mencabut Undang-Undang?
Aditya Wahyu Saputro, S.H.Indonesian Center for Legislative Drafting
Indonesian Center for Legislative Drafting
Bacaan 10 Menit
Siapa yang Berwenang Mencabut Undang-Undang?

PERTANYAAN

Apakah undang-undang bisa dicabut? Jika bisa, siapa yang bisa mencabut undang-undang? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Singkatnya jika ditanya apakah undang-undang bisa dicabut? Jawabnya, bisa. Lalu, pada kewenangan siapa yang bisa mencabut undang-undang? Kewenangan pencabutan undang-undang ada pada kewenangan pembentukan undang-undang yaitu Dewan Perwakilan Rakyat (DPR) bersama dengan Presiden.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Aturan Pencabutan dan Tidak Berlakunya Undang-undang yang dibuat oleh M. Naufal Fileindi, S.H. dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 29 Mei 2012.

     

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

     

    Pencabutan Undang-Undang

    Menjawab pertanyaan Anda, apakah undang-undang bisa dicabut? Bisa, undang-undang dapat dicabut karena dua sebab, yaitu karena dicabut sendiri oleh suatu undang-undang atau karena putusan Mahkamah Konstitusi (“MK”). Berikut kami jelaskan terlebih dahulu pencabutan undang-undang karena dicabut sendiri oleh undang-undang.

    Kewenangan pembentukan undang-undang ada pada Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) bersama dengan Presiden. Dalam hal-hal tertentu seperti otonomi daerah, Dewan Perwakilan Daerah (DPD) ikut dalam proses pembahasan undang-undang, tetapi tidak memberikan persetujuan. DPR dan Presiden masing-masing berhak mengajukan, membahas, mengubah, menyetujui, dan/atau menolak suatu rancangan undang-undang.[1] DPR dan Presiden merupakan pembentuk undang-undang (law making power).

    Selanjutnya, menjawab pertanyaan tentang siapa yang bisa mencabut undang-undang? Pada dasarnya kewenangan membentuk undang-undang secara otomatis juga melekat kewenangan mencabut undang-undang yang dibentuknya itu. Setiap undang-undang mempunyai norma hukum yang bersifat terus menerus (dauerhaftig). Maksudnya, selama belum diubah, dicabut, atau diganti, norma atau ketentuan di dalam undang-undang akan terus berlaku.[2]

    Pencabutan adalah proses untuk menjadikan suatu peraturan perundang-undangan, dalam hal ini undang-undang, tidak memiliki daya laku dan daya guna lagi sehingga tidak lagi mempunyai kekuatan mengikat secara hukum.

    Baca juga: Tata Cara Pencabutan Undang-Undang

    Oleh karenanya, pencabutan harus dilakukan dengan peraturan perundang-undangan yang setara atau lebih tinggi.[3] Dalam konteks pencabutan undang-undang harus dicabut dengan undang-undang juga. Dengan demikian, DPR bersama Presiden merupakan lembaga negara yang berwenang mencabut undang-undang.

    Apa akibat hukum jika undang-undang dicabut? Undang-undang yang dicabut itu tidak lagi mempunyai daya laku dan daya guna alias tidak berlaku lagi. Dengan kata lain, pencabutan mengakhiri keberlakuan (validity) dari suatu undang-undang dan menjadikannya tidak berlaku.

     

    ‘Pembatalan’ Undang-Undang oleh MK

    Selanjutnya, putusan MK dapat menyatakan suatu undang-undang ‘dicabut’ atau ‘dibatalkan’. Namun pencabutan ini berbeda dengan kewenangan yang diberikan kepada DPR bersama Presiden melalui pembentukan undang-undang.

    Menurut Pasal 24C ayat (1) UUD 1945, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945 guna menilai kesesuaiannya dengan UUD 1945. Jika MK memutuskan undang-undang telah bertentangan dengan UUD 1945, undang-undang secara keseluruhan atau bagian tertentu dinyatakan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat.

    Dalam situasi tersebut, undang-undang atau bagian undang-undang yang bersangkutan hanya memiliki daya laku saja tetapi tidak memiliki daya guna.[4] Masih memiliki daya laku karena belum dicabut oleh undang-undang. Tidak memiliki daya guna karena undang-undang itu tidak boleh dipatuhi karena dinyatakan bertentangan dengan UUD 1945 (inkonstitusional).

    Pencabutan terhadap ketentuan yang dinyatakan inkonstitusional tidak wajib dilakukan, tetapi mungkin saja terdapat perubahan (penyesuaian) terhadapnya. Misalnya dalam Putusan MK No. 85/PUU-XI/2013  menyatakan bahwa UU 7/2004 bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat. Dalam putusan juga dinyatakan untuk memberlakukan kembali UU 11/1974 (hal. 146).

    Setelah itu, diterbitkan UU 17/2019 yang tidak menyatakan pencabutan UU 7/2004, melainkan mencabut dan menyatakan tidak berlaku UU 11/1974.[5] Dengan demikian, pembatalan atau pernyataan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat atas suatu undang-undang berdasarkan putusan MK tidak wajib dan tidak selalu diikuti dengan pencabutan dengan undang-undang.

    Jadi, dapat dipahami bahwa kewenangan pencabutan undang-undang ada pada kewenangan pembentuk undang-undang yaitu DPR dan Presiden. Lain halnya dalam kegentingan yang memaksa, menurut Pasal 22 ayat (1) UUD 1945, Presiden dapat mencabut undang-undang melalui Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang (“Perppu”). Sehingga, suatu Perppu dapat saja mencabut undang-undang.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
    2. Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 15 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2022 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan;
    3. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja.

    Putusan:

    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 85/PUU-XI/2013.

    Referensi:

    Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Ed. Revisi. Yogyakarta: PT Kanisius, 2020.


    [1] Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 ayat (1) Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945

    [2] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Ed. Revisi. Yogyakarta: PT Kanisius, 2020, hal. 31

    [3] Lampiran Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-undangan, hal. 66

    [4] Maria Farida Indrati. Ilmu Perundang-Undangan I: Jenis, Fungsi, dan Materi Muatan, Ed. Revisi. Yogyakarta: PT Kanisius, 2020, hal. 19

    [5] Pasal 76 huruf a Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2019 tentang Sumber Daya Air

    Tags

    dpr
    mahkamah konstitusi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Perhatikan Ini Sebelum Tanda Tangan Kontrak Kerja

    20 Mar 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!