Seorang ibu, 70 tahun, dalam keadaan sehat ingin menjual sebidang tanah yang sejak dibeli sudah bersertifikat ATAS NAMANYA SENDIRI. Suaminya sudah meninggal dunia lama setelah pembelian tanah tersebut. Apakah diperlukan persetujuan dari anaknya? Bila diperlukan, dalam bentuk apa dan siapa yang harus mempersiapkannya? Terima kasih.
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
ULASAN LENGKAP
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul sama yang dibuat oleh Letezia Tobing, S.H., M.Kn. dan pernah dipublikasikan padaRabu, 09 Januari 2013.
Apabila tanah tersebut merupakan harta bawaan si ibu, maka si ibu berhak untuk menjual tanah itu tanpa persetujuan anak-anaknya karena tanah tersebut tidak termasuk ke dalam harta bersama yang setengahnya harus dibagikan kepada ahli waris pada saat suaminya meninggal.
Namun, apabila tanah tersebut merupakan harta bersama, maka pada saat suaminya meninggal dunia, anak-anak dari perkawinan tersebut memiliki hak atas bagian ayahnya dalam harta bersama (sebagai ahli waris penerima warisan dari ayahnya). Sehingga pemilik tanah adalah si ibu dan para ahli waris. Dalam hal ini, maka perlu disertakan juga surat keterangan mewaris (bagi WNI) atau akta keterangan hak mewaris (bagi WNI keturunan Tionghoa) atau Fatwa Waris (bagi WNI yang beragama Islam) untuk membuktikan siapa saja yang berhak sebagai pemilik atas tanah tersebut dan yang harus memberikan persetujuan untuk menjual tanah tersebut, serta persetujuan para ahli waris atas penjualan tanah warisan tersebut, dalam bentuk seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan.
Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.
Penjelasan lebih lanjut dapat disimak dalam ulasan di bawah ini.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Dalam hal ini Anda tidak menyebutkan apa agama dari si ibu dan suaminya. Kami asumsikan bahwa si ibu dan suaminya bukan beragama Islam sehingga tunduk pada ketentuan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata(“KUHPer”). Dalam hal ini, Anda juga tidak menyebutkan apakah tanah tersebut merupakan harta bawaan si ibu (diperoleh sebelum menikah dengan almarhum suaminya) atau tanah tersebut diperoleh dalam perkawinan dengan almarhum suaminya. Perlu Anda ketahui bahwa sertifikat tanah atas nama si ibu, tidak langsung menjadikan tanah tersebut milik si ibu sendiri.
Bila Tanah Tersebut Merupakan Harta Bawaan
Apabila tanah tersebut merupakan harta bawaan si ibu, maka si ibu berhak untuk menjual tanah itu tanpa persetujuan anak-anaknya karena tanah tersebut tidak termasuk ke dalam harta bersama yang setengahnya harus dibagikan kepada ahli waris pada saat suaminya meninggal. Mengenai harta bersama dan harta bawaan dapat dilihat dalam Pasal 35 dan Pasal 36 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan. Penjelasan lebih lanjut mengenai harta benda dalam perkawinan dapat Anda simak Apakah Utang Isteri Juga Merupakan Utang Suami?.
Bila Tanah Tersebut Merupakan Harta Bersama
Akan tetapi, apabila tanah tersebut merupakan harta bersama, maka pada saat suaminya meninggal dunia, anak-anak dari perkawinan tersebut memiliki hak atas bagian ayahnya dalam harta bersama (sebagai warisan dari ayahnya).[1]
Pada dasarnya dalam jual beli tanah, pada saat melakukan pendaftaran perubahan kepemilikan tanah karena jual beli, diperlukan dokumen-dokumen berikut:[2]
a.surat permohonan pendaftaran peralihan hak yang ditandatangani oleh penerima hak atau kuasanya;
b.surat kuasa tertulis dari penerima hak apabila yang mengajukan permohonan pendaftaran peralihan hak bukan penerima hak;
c.akta tentang perbuatan hukum pemindahan hak yang bersangkutan yang dibuat oleh Pejabat Pembuat Akta Tanah (“PPAT”) yang pada waktu pembuatan akta masih menjabat dan yang daerah kerjanya meliputi letak tanah yang bersangkutan (dalam hal ini akta jual beli):
d.bukti identitas pihak yang mengalihkan hak;
e.bukti identitas penerima hak;
f.sertipikat hak atas tanah atau Hak Milik Atas Satuan Rumah Susun yang dialihkan;
g.izin pemindahan hak (dalam hal pemindahan hak atas tanah atau hak milik atas rumah susun yang di dalam sertipikatnya dicantumkan tanda yang menyatakan bahwa hak tersebut hanya boleh dipindah tangankan apabila telah diperoleh izin dari instansi yang berwenang atau pemindahan hak pakai atas tanah negara)[3];
Jika dalam hal ini pemilik tanah adalah si ibu dan para ahli waris, maka perlu disertakan juga surat keterangan mewaris (bagi WNI penduduk asli) atau akta keterangan hak mewaris (bagi WNI keturunan Tionghoa) atau Fatwa Waris (bagi WNI yang beragama Islam)[4] untuk membuktikan siapa saja yang berhak sebagai pemilik atas tanah tersebut dan yang harus memberikan persetujuan untuk menjual tanah tersebut, serta persetujuan para ahli waris atas penjualan tanah warisan tersebut.
Irma Devita Purnamasari, S.H., M.Kn., dalam artikel Pemilikan Tanah Secara Warisan (2) yang dimuat di laman irmadevita.com, sebagaimana kami sarikan, mengatakan bahwa jika sebagian dari tanah adalah harta bersama, maka jika ingin dilakukan penjualan atau misalnya tanah tersebut akan dijadikan sebagai agunan di bank, maka seluruh ahli waris yang lain harus hadir untuk memberikan persetujuan. Dalam hal salah seorang ahli waris tidak bisa hadir di hadapan PPAT (karena berada di luar kota), maka ahli waris tersebut dapat membuat Surat Persetujuan di bawah tangan yang dilegalisir notaris setempat atau dibuat Surat persetujuan dalam bentuk akta notaris.