Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah MK Berwenang Uji UU Ratifikasi Perjanjian Internasional?

Share
copy-paste Share Icon
Ilmu Hukum

Apakah MK Berwenang Uji UU Ratifikasi Perjanjian Internasional?

Apakah MK Berwenang Uji UU Ratifikasi Perjanjian Internasional?
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apakah MK Berwenang Uji UU Ratifikasi Perjanjian Internasional?

PERTANYAAN

Apakah perjanjian internasional yang sudah diratifikasi dapat diuji di Mahkamah Konstitusi jika dalam pelaksanaannya ditemukan bahwa perjanjian tersebut bertentangan dengan UUD 1945?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Dalam Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional, ratifikasi adalah salah satu cara pengesahan perjanjian internasional. Pengesahan perjanjian internasional dapat dilakukan melalui undang-undang atau keputusan presiden.
     
    Oleh karena berbentuk undang-undang, secara normatif dan formil, undang-undang ratifikasi atau pengesahan perjanjian internasional dapat diuji atau di-judicial review oleh Mahkamah Konstitusi.
     
    Namun, undang-undang pengesahan ini berbeda secara materiil dengan undang-undang pada umumnya, sehingga Hamdan Zoelva dan Maria Farida Indrati berpendapat bahwa Mahkamah Konstitusi tidak dapat melakukan pengujian terhadap undang-undang pengesahan perjanjian internasional.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Ratifikasi Perjanjian Internasional
    Ratifikasi adalah salah satu cara pengesahan, yaitu perbuatan hukum untuk mengikatkan diri pada suatu perjanjian Internasional.[1]
     
    Pengesahan perjanjian internasional oleh pemerintah hanya dilakukan sepanjang dipersyaratkan oleh perjanjian internasional tersebut dan dilakukan dengan undang-undang atau keputusan presiden.[2]
     
    Pasal 10 UU 24/2000 menerangkan bahwa pengesahan perjanjian internasional dilakukan dengan undang-undang apabila berkenaan dengan:
    1. masalah politik, perdamaian, pertahanan, dan keamanan negara;
    2. perubahan wilayah atau penetapan batas wilayah negara Republik Indonesia;
    3. kedaulatan atau hak berdaulat negara;
    4. hak asasi manusia dan lingkungan hidup;
    5. pembentukan kaidah hukum baru;
    6. pinjaman dan/atau hibah luar negeri.
     
    Ketentuan pasal di atas telah diputus oleh Mahkamah Konstitusi melalui Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 13/PUU-XVI/2018 bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat secara bersyarat sepanjang ditafsirkan bahwa hanya jenis-jenis perjanjian internasional sebagaimana disebutkan pada Pasal 10 huruf a sampai dengan huruf f UU 24/2000 itulah yang mempersyaratkan persetujuan Dewan Perwakilan Rakyat, sehingga hanya jenis-jenis perjanjian tersebut yang pengesahannya dilakukan dengan undang-undang (hal. 266).
     
    Maka, perjanjian internasional selain dari jenis perjanjian internasional yang diterangkan dalam Pasal 10 UU 24/2000 pun dapat disahkan melalui undang-undang.
     
    Wewenang Mahkamah Konstitusi (MK) Menguji Undang-Undang
    Pasal 24C ayat (1) UUD 1945 menguraikan bahwa MK berwenang mengadili pada tingkat pertama dan terakhir yang putusannya bersifat final untuk:
    1. menguji undang-undang terhadap UUD 1945;
    2. memutus sengketa kewenangan lembaga negara yang kewenangannya diberikan oleh UUD 1945;
    3. memutus pembubaran partai politik; dan
    4. memutus perselisihan tentang hasil pemilihan umum.
     
    Pada dasarnya, MK berwenang menguji undang-undang terhadap UUD 1945, namun apakah termasuk pula undang-undang ratifikasi perjanjian internasional?
     
    Dalam artikel MK Tak Berwenang Uji UU Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional yang kami akses dari laman Direktorat Jenderal Peraturan Perundang-undangan Kementerian Hukum dan HAM, MK tidak berwenang menguji hukum internasional yang disahkan menjadi undang-undang, meski salah satu wewenang MK menguji hukum di bawah UUD 1945.
     
    Hal tersebut disampaikan pakar hukum tata negara Universitas Gajah Mada, Fajrul Falaakh.
     
    Contoh Pengujian Undang-Undang Pengesahan
    Jika kita menyimak Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011, MK menilai bahwa MK berwenang untuk mengadili permohonan uji Undang-Undang Nomor 38 Tahun 2008 tentang Pengesahan Charter of the Association of Southeast Asian Nations (Piagam Perhimpunan Bangsa-Bangsa Asia Tenggara) (“UU 38/2008”), yang merupakan undang-undang pengesahan Charter of ASEAN, sebuah perjanjian internasional (hal. 181 & 194).
     
    Dalam amar putusannya, MK menyatakan menolak permohonan para pemohon untuk seluruhnya (hal. 197).
     
    Yang patut diperhatikan adalah dissenting opinion dari Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva dan Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati.
     
    Menurut Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva, memang benar secara formil, pengesahan tersebut berbentuk undang-undang, namun secara materiil, bukan. Undang-undang demikian hanya salah satu bentuk atau model pengikatan diri Indonesia dalam suatu perjanjian internasional (hal. 200).
     
    Terdapat perbedaan mendasar antara undang-undang secara umum dengan undang-undang pengesahan (hal. 201):
    1. Tidak seperti undang-undang pada umumnya yang terbuka untuk dibahas dan direvisi, rancangan undang-undang ratifikasi hanya mengadopsi norma yang telah disepakati dalam sebuah perjanjian internasional yang tidak ada peluang untuk direvisi, kecuali perjanjian internasional itu sendiri memberi kemungkinan untuk itu;
    2. Materi muatan undang-undang pada umumnya langsung berlaku bagi setiap orang yang ada di Indonesia, sedangkan perjanjian internasional hanya mengikat negara yang membuat atau negara pihak perjanjian internasional;
    3. Pelaksanaan dari hak dan kewajiban yang ditentukan dalam perjanjian internasional tidak serta merta berlaku bagi setiap warga negara sebagaimana halnya ketentuan undang-undang pada umumnya, tetapi harus diimplementasikan lebih lanjut dalam undang-undang atau bentuk kebijakan lainya.
     
    Hakim Konstitusi Hamdan Zoelva pada akhirnya menegaskan bahwa UU 38/2008 tidak dapat dijadikan objek pengujian undang-undang yang menjadi wewenang MK (hal. 202).
     
    Hakim Konstitusi Maria Farida Indrati kemudian mengutarakan dalam dissenting opinion bahwa secara perundang-undangan, undang-undang pengesahan letaknya berbeda dengan undang-undang pada umumnya (hal. 202).
     
    Hal ini dikarenakan, secara format atau bentuk luar keduanya mempunyai perbedaan yang sangat mendasar terutama dalam pembahasan dan penulisan batang tubuh. Undang-undang pada umumnya memiliki banyak norma yang dapat dikelompokkan. Sementara, dalam undang-undang pengesahan, hanya terdapat dua pasal, pasal pertama mengenai pengesahan dan pasal kedua mengenai saat mulai berlakunya undang-undang (hal. 203).
     
    Dalam pembentukan undang-undang pun terdapat pembahasan menyeluruh terhadap rancangan undang-undang, sementara dalam undang-undang pengesahan, Dewan Perwakilan Rakyat dan presiden fokus pada pengesahannya, karena tidak dapat mengubah substansi (hal. 203).
     
    Selain itu, norma undang-undang pun substansinya secara langsung ditujukan kepada setiap orang, sementara undang-undang pengesahan, substansinya ditujukan kepada pihak yang membuatnya saja (hal. 204).
     
    Secara normatif, berdasarkan UUD 1945, MK memang berwenang menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional, akan tetapi jika permohonan pengujian tersebut terhadap substansi dalam undang-undang pengesahan perjanjian internasional, hal tersebut tak mungkin dapat terjadi, karena tidak terdapat materi muatan dalam ayat, pasal, dan/atau bagian undang-undang tersebut yang dapat dipertentangan dengan UUD 1945 (hal. 204)
     
    Kesimpulan
    Secara normatif, UUD 1945 memang memberikan kewenangan terhadap MK untuk menguji undang-undang, sehingga pengesahan perjanjian internasional dalam bentuk undang-undang pun menjadi cakupan kewenangan itu.
     
    Namun, sebagaimana diterangkan oleh para hakim konstitusi dalam dissenting opinion mereka, status ‘undang-undang’ dari undang-undang pengesahan hanyalah secara formil, sementara secara materiil, undang-undang pengesahan tidak bisa disamakan dengan undang-undang pada umumnya, sehingga MK tidak dapat menguji undang-undang pengesahan perjanjian internasional.
     
    Nurhidayatuloh dalam Jurnal Konstitusi berjudul Dilema Pengujian Undang-Undang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Ketatanegaraan RI, menyimpulkan bahwa secara hukum, undang-undang pengesahan, karena berbentuk undang-undang, juga tunduk pada Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan dan perubahannya (hal. 132).
     
    Konsekuensinya, undang-undang pengesahan juga tunduk pada hierarki peraturan perundang-undangan bahwa bahwa peraturan perundang-undangan yang lebih rendah tidak boleh bertentangan dengan peraturan perundang-undangan yang lebih tinggi (hal. 132).
     
    Namun, meski MK dapat melakukan judicial review terhadap suatu undang-undang ratifikasi bukan berarti secara otomatis hal ini juga mengubah perjanjian internasionalnya. MK hanya mengubah pemberlakuan perjanjian internasional tersebut khusus di Indonesia, sedangkan statuta asli perjanjian internasional tersebut masih tetap sama (hal 132).
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;
     
    Putusan:
    1. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 33/PUU-IX/2011;
     
    Referensi:
    1. MK Tak Berwenang Uji UU Hasil Ratifikasi Perjanjian Internasional, diakses pada 30 Juli 2020, pukul 16.48 WIB;
    2. Nurhidayatuloh. Dilema Pengujian Undang-Undang Ratifikasi oleh Mahkamah Konstitusi dalam Konteks Ketatanegaraan RI. Jurnal Konstitusi, Volume 9, Nomor 1, Maret 2012.
     

    [1] Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2000 tentang Perjanjian Internasional (“UU 24/2000”)
    [2] Pasal 9 UU 24/2000

    Tags

    ketua mk
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Upload Terjemahan Novel Agar Tak Langgar Hak Cipta

    20 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!