KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hakim Ad Hoc adalah Pejabat Negara

Share
copy-paste Share Icon
Profesi Hukum

Hakim Ad Hoc adalah Pejabat Negara

Hakim Ad Hoc adalah Pejabat Negara
Bilal Dewansyah, S.H., M.H.Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad
Pusat Studi Kebijakan Negara (PSKN) FH Unpad
Bacaan 10 Menit
Hakim Ad Hoc adalah Pejabat Negara

PERTANYAAN

Pada Pasal 11 Undang-Undang Nomor 43 Tahun 1999 tidak secara jelas status hakim ad hoc sebagai Pejabat Negara, sehingga dibuat Peraturan Menteri Sekretaris Negara yakni Nomor: 6 Tahun 2007 dan diganti oleh Peraturan Menteri Sekretaris Negara Nomor 7 Tahun 2012 yang menyatakan bahwa Hakim Ad Hoc termasuk kategori Pejabat Negara Lainnya. Kemudian pada UU ASN yang baru disahkan, pada Pasal 122 bahwa Pejabat Negara yang dimaksud, poin e: ...... hakim pada semua badan peradilan kecuali hakim ad hoc. Pertanyaannya, apakah dengan adanya statemen UU ASN pasal 122 poin e tersebut status Hakim Ad Hoc sebagai Pejabat Negara Lainnya dianggap tidak berlaku?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Berdasarkan Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU Kekuasaan Kehakiman”), Hakim Ad Hoc adalah:

     

    “hakim yang bersifat sementara yang memiliki keahlian dan pengalaman di bidang tertentu untuk memeriksa, mengadili, dan memutus suatu perkara yang pengangkatannya diatur dalam undang-undang.”

     

    Hakim Ad Hoc sendiri diangkat pada pengadilan khusus, yang merupakan pengadilan dalam salah satu lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung, baik dalam lingkungan peradilan umum, peradilan agama, peradilan militer, dan peradilan tata usaha negara. Misalnya Hakim Ad Hoc pada Pengadilan HAM, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, Pengadilan Perikanan, atau Pengadilan Niaga.

    KLINIK TERKAIT

    Apakah KY Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi?

    Apakah KY Berwenang Mengawasi Hakim Konstitusi?
     

    Untuk menjawab apakah Hakim Ad Hoc merupakan pejabat negara atau bukan, perlu ditelusuri terlebih dahulu hakekat kekuasaan kehakiman dan lembaga kekuasaan kehakiman.

     

    Dalam doktrin, kekuasaan kehakiman adalah kekuasaan untuk mengadili, yang meliputi wewenang memeriksa, memutus, membuat ketetapan yustisial (Bagir Manan: 2009). Kekuasaan kehakiman dilaksanakan badan peradilan/badan yudisial (judiciary) yang merupakan alat kelengkapan negara karena bertindak dan memutus untuk dan atas nama negara.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
     

    Di UUD 1945, kekuasaan kehakiman dilaksanakan oleh Mahkamah Agung dan badan peradilan di bawahnya, serta Mahkamah Konstitusi (vide Pasal 24 ayat (2)). Dalam hal ini, Mahkamah Agung termasuk juga badan peradilan di bawahnya serta Mahkamah Konstitusi adalah badan yudisial yang merupakan alat kelengkapan negara, sehingga menjalankan fungsi ketatanegaraan (bertindak untuk dan atas nama negara). Konsekuensinya, hakim pada seluruh jenis dan tingkatan badan yudisial,berkedudukan sebagai “pejabat negara”. Dalam hukum positif, kedudukan hakim sebagai “pejabat negara” ditegaskan dalam UU Kekuasaan Kehakiman sebagai berikut:

     

    Hakim adalah hakim pada Mahkamah Agung dan hakim pada badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan hakim pada pengadilan khusus yang berada dalam lingkungan peradilan tersebut” (Pasal 1 angka 5).

     

    Hakim dan hakim konstitusi adalah pejabat negara yang melakukan kekuasaan kehakiman yang diatur dalam undang-undang” (Pasal 19).

     

    Hakim Ad Hoc merupakan hakim pada Mahkamah Agung (pada pengadilan khusus dalam lingkungan peradilan yang berada di bawah Mahkamah Agung). Berdasarkan ketentuan UU Kekuasaan Kehakiman, Hakim Ad Hoc juga berkedudukan sebagai “pejabat negara”.

     

    Perbedaan Hakim Ad Hoc dengan hakim umumnya, terutama dalam hal masa tugasnya yang sementara/dibatasi untuk waktu tertentu, di samping harus memiliki keahlian dan pengalaman tertentu di bidangnya.

     

    Pengadilan khusus yang menjadi tempat pelaksanaan tugas Hakim Ad Hoc sendiri tidak selalu bersifat Ad Hoc (sementara).Sebagian besar adalah pengadilan khusus yang bersifat tetap. Pengadilan khusus yang bersifat Ad Hoc, yaitu Pengadilan Ad Hoc HAM yang dibentuk untuk menyelesaikan perkara pelanggaran HAM berat, sebelum diundangkannya Undang-Undang Nomor 26 Tahun 2000 tentang Pengadilan HAM. Dengan kata lain, Pengadilan Ad Hoc HAM dibentuk untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat yang terjadi di masa lalu dalam kerangka transitional justice (keadilan transisional).

     

    Pengadilan khusus lainnya bersifat permanen, termasuk Pengadilan HAM untuk menyelesaikan pelanggaran HAM berat setelah Undang-Undang No. 26 Tahun 2000 berlaku. Artinya, apabila terjadi dugaan pelanggaran HAM berat, penyelesaiannya dilakukan oleh Pengadilan HAM yang berada pada lingkungan peradilan umum di bawah Mahkamah Agung. Selain Pengadilan HAM, pengadilan khusus lainnya yang bersifat permanen, misalnya Pengadilan Niaga, Pengadilan Perikanan, Pengadilan Tindak Pidana Korupsi.

     

    Hakim pada pengadilan-pengadilan khusus tersebut, tidak selalu Hakim Ad Hoc, namun juga hakim pada umumnya sesuai lingkungan peradilannya. Dalam suatu perkara yang diadili dalam pengadilan khusus, majelis hakim yang bertugas terdiri dari hakim pada umumnya (hakim pada Mahkamah Agung) dan Hakim Ad Hoc. Dalam Pengadilan HAM, baik Ad Hoc maupun permanen, misalnya, majelis hakim berjumlah 5 (lima) orang, terdiri atas 2 (dua) orang hakim pada Pengadilan HAM yang bersangkutan dan 3 (tiga) orang hakim ad hoc (Pasal 27 ayat (2) UU No. 26 Tahun 2000).

     

    Demikian pula, misalnya dalam majelis hakim dalam Pengadilan Tindak Pidana Korupsi, berjumlah ganjil sekurang-kurangnya 3 (tiga) orang hakim dan sebanyakbanyaknya 5 (lima) orang hakim, terdiri dari Hakim Karier dan Hakim ad hoc (vide Pasal 26 ayat (1) Undang-Undang Nomor 46 Tahun 2009 tentang Pengadilan Tindak Pidana Korupsi).

     

    Dengan demikian, kedudukan Hakim Ad Hoc pada umumnya bertugas pada pengadilan khusus yang bersifat permanen. Sama halnya dengan pengadilan pada berbagai lingkungan peradilan di bawah Mahkamah Agung lainnya, pengadilan khusus menjalankan fungsi kekuasaan kehakiman, untuk memeriksa, mengadili dan memutus perkara–perkara khusus sesuai peraturan perundang-undangan. Oleh karena itu, Hakim Ad Hoc, sama halnya dengan hakim pada umumnya menjalankan fungsi ketatanegaraan (kekuasan kehakiman), sehingga sangat tepat dikategorikan sebagai pejabat negara.

     

    Pengaturan dalam Pasal 122 huruf e Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara (UU ASN), yang mengecualikan Hakim Ad Hoc sebagai pejabat negara, menurut hemat saya adalah tidak tepat.

     

    Selain tidak tepat, karena kedudukan Hakim Ad Hoc yang menjalankan salah satu fungsi ketatanegaraan sehingga merupakan pejabat negara, pengaturan mengenai pejabat negara dalam UU ASN tidak sesuai dengan materi muatan (materi yang seharusnya) yang diatur undang-undang tersebut. Dalam UU ASN, diatur pengertian sebagai berikut:

     

    “Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disingkat ASN adalah profesi bagi pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang bekerja pada instansi pemerintah” (Pasal 1 angka 1).

     

    “Pegawai Aparatur Sipil Negara yang selanjutnya disebut Pegawai ASN adalah pegawai negeri sipil dan pegawai pemerintah dengan perjanjian kerja yang diangkat oleh pejabat pembina kepegawaian dan diserahi tugas dalam suatu jabatan pemerintahan atau diserahi tugas negara lainnya dan digaji berdasarkan peraturan perundang-undangan (Pasal 1 angka 2)

     

    Berdasarkan kedua pengertian di atas, UU ASN semestinya hanya mengatur tentang tata kelola Aparatur Sipil Negara (ASN), yang dalam konteks kategori kepegawaian, hanya mengatur mengenai PNS dan “pegawai pemerintah” (pegawai di bawah lingkungan kekuasaan eksekutif, baik pusat maupun daerah).

     

    Sementara itu, istilah “pejabat negara” lebih luas dibandingkan pegawai di lingkungan pemerintahan, karena mencakup pejabat pada lingkungan kekuasaan lainnya, seperti legislatif, yudisial dan kekuasaan derivative lainnya yang dijalankan oleh lembaga-lembaga negara pendukung (auxiliary state bodies/ agencies).

     

    Pengaturan tentang “pejabat negara” dalam UU ASN hanya dapat dilakukan dalam hal, pengaturan Pegawai ASN yang menjadi “pejabat negara” (vide judul BAB X UU ASN). Namun demikian, Pasal 122 merupakan ketentuan yang berlebihan, karena mengatur materi di luar ASN. Pengaturan mengenai “pejabat negara”, termasuk Hakim Ad Hoc, seharusnya tunduk pada UUD 1945 dan undang-undang yang mengatur kekuasaan lembaga negara, dalam hal ini, untuk Hakim Ad Hoc, mengacu pada Undang-Undang No. 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman.

     

    Mengenai isu keberlakuan Pasal 122 huruf e UU ASN, secara normatif tetap sah (valid)  dan berlaku, karena dibentuk oleh pejabat/lembaga yang berwenang (DPR dan Presiden) sesuai dengan tata cara pembentukan Undang-Undang dalam Pasal 5 ayat (1) dan Pasal 20 UUD 1945. Namun demikian, implikasinya menjadi tidak harmonis dengan Undang-Undang No. 48 Tahun 2009, dan bertentangan dengan UUD 1945, khususnya Pasal 24 yang mengatur mengenai kekuasaan kehakiman.

     

    Dengan posisi tersebut, Pasal 122 huruf e UU ASN “dapat dibatalkan” (voidable/ verneitigbaar). Artinya, apabila terdapat permohonan pengujian ketentuan tersebut kepada Mahkamah Konstitusi (MK) dan permohonan tersebut dikabulkan, maka ketentuan tersebut batal (bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak memiliki kekuatan hukum mengikat), sehingga tidak berlaku. Apabila tidak ada permohonan pengujian atau permohonan pengujiannya ditolak atau tidak dapat diterima oleh MK, maka ketentuan tersebut tetap berlaku, dengan segala implikasi hukum yang menyertainya.

     
     
    Dasar hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman
    2. Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2014 tentang Aparatur Sipil Negara
     

        

    Tags

    uu asn

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!