Bagaimana prosedur PT PMA bukan bank (sebut saja PT PMA A) untuk mendapatkan pembiayaan dari luar negeri? Apa syarat PT PMA A tersebut sebelum menerima pembiayaan dari luar negeri? Bagaimana dasar hukumnya? Adakah sanksi jika syarat tidak dipenuhi PT PMA A?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Pada prinsipnya, PT PMA dapat menerima pembiayaan dari kreditur luar negeri dengan terlebih dahulu melakukan aksi korporasi. Kemudian PT PMA juga harus melaksanakan kewajiban-kewajiban yang berhubungan dengan aktivitas Lalu Lintas Devisa (“LLD”) dan Utang Luar Negeri (“ULN”), serta menerapkan prinsip kehati-kehatian dalam pengelolaan ULN korporasi non-bank.
Apa bunyi dasar hukum selengkapnya?
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami terlebih dahulu definisi dari Penanaman Modal Asing (“PMA”), yakni kegiatan menanam modal untuk melakukan usaha di wilayah negara Republik Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing baik yang menggunakan modal asing sepenuhnya maupun yang berpatungan dengan pemodal dalam negeri.[1] Selanjutnya, penanam modal asing adalah perseorangan Warga Negara Asing (“WNA”), badan usaha asing, dan/atau pemerintah asing yang melakukan penanaman modal di wilayah negara Republik Indonesia.[2] Berdasarkan definisi tersebut, maka PT PMA A merupakan Perseroan Terbatas (“PT”) yang melakukan kegiatan menanam modal untuk kegiatan usaha di wilayah Indonesia yang dilakukan oleh penanam modal asing baik sendiri maupun bersama-sama dengan pemodal dalam negeri.
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Dasar Hukum Utang Luar Negeri
Kemudian, berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa PT PMA A akan menerima pembiayaan dari kreditur luar negeri melalui Perjanjian Pembiayaan atau Financing Agreement. Oleh karena itu, kami akan menjelaskan definisi Utang Luar Negeri (“ULN”), yaitu utang penduduk kepada bukan penduduk dalam valuta asing dan/atau Rupiah, termasuk di dalamnya pembiayaan berdasarkan prinsip syariah.[3]
Selanjutnya, penduduk adalah orang, badan hukum, atau badan lainnya, yang berdomisili atau berencana berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, termasuk perwakilan dan staf diplomatik Republik Indonesia di luar negeri.[4] Berdasarkan ketentuan tersebut, pembiayaan dari kreditur luar negeri yang diterima oleh PT PMA A sebagai badan hukum yang diasumsikan telah berdomisili di Indonesia sekurang-kurangnya 1 (satu) tahun, dapat diklasifikasikan sebagai ULN.
Lebih lanjut, ketentuan mengenai ULN secara umum diatur oleh Pasal 3 ayat (1) Keppres 59/1972 sebagai berikut:
Badan Usaha Negara, Badan Usaha Daerah dan Perusahaan Swasta hanya dapat dibenarkan untuk menerima tawaran kredit luar-negeri apabila tidak disertai adanya keharusan jaminan dari Pemerintah Republik Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik Negara, untuk pembayarannya kembali dan atau tidak menimbulkan kewajiban suatu apapun bagi Pemerintah Republik Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar-negeri yang bersangkutan.
Berdasarkan pasal di atas, dapat dipahami bahwa pada dasarnya, PT PMA A selaku perusahaan swasta dapat menerima ULN dari kreditur luar negeri sepanjang tidak disertai adanya keharusan jaminan dari Pemerintah Indonesia, termasuk Bank Indonesia dan bank-bank lainnya milik negara, untuk pembayarannya kembali dan/atau tidak menimbulkan kewajiban apapun bagi Pemerintah Indonesia sebagai akibat dari penerimaan kredit luar negeri.
Persyaratan PT PMA Sebelum Menerima ULN
Sebelum PT PMA A menerima ULN dari kreditur luar negeri, berdasarkan praktik kami, PT PMA A sebaiknya mempertimbangkan terlebih dahulu untuk melakukan aksi korporasi yang disyaratkan dalam akta pendirian atau anggaran dasar dari PT PMA dan UU 40/2007 serta perubahannya, agar penerimaan ULN dari kreditur luar negeri dapat dilaksanakan secara patut dan dapat dipertanggungjawabkan secara hukum.
Secara umum terdapat 2 (dua) aksi korporasi yang perlu dilakukan oleh PT PMA sebelum menerima ULN dari kreditur luar negeri, yaitu:
Persetujuan Dewan Komisaris
Dalam akta pendirian atau anggaran dasar suatu PT PMA dapat ditetapkan pemberian wewenang kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan atau bantuan kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu.[5] Menurut M. Yahya Harahap, pemberian persetujuan Dewan Komisaris kepada Direksi memiliki maksud dan cara sebagai berikut:[6]
pemberian persetujuan Dewan Komisaris kepada Direksi dilaksanakan secara tertulis;
pemberian persetujuan tertulis kepada Direksi dalam melakukan perbuatan hukum tertentu, tidak bersifat umum untuk segala jenis perbuatan hukum;
pemberian persetujuan Dewan Komisaris kepada Direksi bukan dalam rangka melaksanakan tugas pengawasan maupun pemberian nasihat; dan
jika akta pendirian (anggaran dasar) mengatur pemberian kewenangan kepada Dewan Komisaris untuk memberikan persetujuan kepada Direksi, maka sebaiknya ditentukan persyaratan pemberian persetujuan itu.
Berdasarkan praktik kami, umumnya akta pendirian atau anggaran dasar suatu PT PMA mengatur tindakan Direksi yang berupa meminjam uang atas nama PT PMA dan harus dilakukan dengan persetujuan Dewan Komisaris. Oleh karenanya, apabila akta pendirian PT PMA A mensyaratkan Direksi PT PMA A untuk memperoleh persetujuan terlebih dahulu dari Dewan Komisaris sebelum menerima ULN dari kreditur luar negeri, maka Direksi PT PMA A harus memperoleh persetujuan dari Dewan Komisaris PT PMA A terlebih dahulu sebelum menyepakati dan menandatangani Financing Agreement untuk menerima ULN dari kreditur luar negeri.
RUPS atau Keputusan Sirkuler Para Pemegang Saham PT PMA
Pada dasarnya, PT PMA dapat melaksanakan Rapat Umum Pemegang Saham (“RUPS”) lainnya (pada praktik disebut RUPS luar biasa) yang diadakan setiap waktu berdasarkan kebutuhan untuk kepentingan perseroan,[7] yang dalam hal ini umumnya juga meliputi penerimaan ULN dari kreditur luar negeri. Penyelenggaraan RUPS luar biasa perlu disetujui oleh Dewan Komisaris PT PMA, kemudian, Direksi PT PMA menyelenggarakan RUPS luar biasa dengan didahului pemanggilan RUPS, serta dapat dilakukan atas permintaan:[8]
1 (satu) orang atau lebih pemegang saham yang bersama-sama mewakili 1/10 (satu persepuluh) atau lebih dari jumlah seluruh saham dengan hak suara, kecuali anggaran dasar menentukan suatu jumlah yang lebih kecil; atau
Dewan Komisaris.
Patut diperhatikan oleh PT PMA A, agar RUPS luar biasa dapat dilangsungkan untuk menyetujui penerimaan ULN dari kreditur luar negeri, RUPS luar biasa harus dihadiri oleh lebih dari ½ (satu perdua) bagian dari jumlah seluruh saham dengan hak suara hadir atau diwakili, kecuali undang-undang dan/atau anggaran dasar PT PMA A menentukan jumlah kuorum yang lebih besar.[9] Lebih lanjut, keputusan RUPS luar biasa untuk menyetujui penerimaan ULN dari kreditur luar negeri harus diambil berdasarkan musyawarah untuk mufakat.[10]
Selain RUPS luar biasa, para pemegang saham PT PMA juga dapat mengambil keputusan diluar RUPS yang mengikat untuk menerima ULN dari kreditur luar negeri, dengan syarat semua pemegang saham dengan hak suara menyetujui secara tertulis dengan menandatangani usul penerimaan ULN yang disepakati.[11] Pengambilan keputusan diluar RUPS dalam praktik kami dikenal dengan istilah keputusan sirkuler.
Kewajiban PT PMA dalam Pengelolaan ULN
Kewajiban yang perlu dipenuhi oleh PT PMA juga meliputi kewajiban yang berkaitan dengan Lalu Lintas Devisa (“LLD”) dan penerapan prinsip kehati-hatian. Berikut adalah penjelasannya.
1. Kegiatan Lalu Lintas Devisa
LLD adalah perpindahan aset dan kewajiban finansial antara penduduk dan bukan penduduk termasuk perpindahan aset dan kewajiban finansial luar negeri antar penduduk.[12] Berdasarkan definisi tersebut, ULN yang akan diterima oleh PT PMA A dari kreditur luar negeri merupakan bagian dari LLD. Oleh karenanya, PT PMA A selaku pihak yang melakukan kegiatan LLD wajib memenuhi persyaratan-persyaratan yang berkaitan dengan LLD sebagaimana diatur dalam PBI 17/23/2015.
Sebagai contoh, berdasarkan Pasal 13 ayat (1) PBI 17/23/2015, setiap penarikan Devisa Utang Luar Negeri (“DULN”) wajib diterima oleh PT PMA A selaku debitur ULN melalui Bank Devisa. Kemudian, PT PMA A selaku debitur ULN yang menerima DULN harus menyampaikan informasi penerimaan DULN kepada Bank Devisa secara akurat, serta wajib melaporkan DULN yang diterima kepada Bank Indonesia.[13]
Sebagai informasi, apabila Debitur ULN melakukan pelanggaran terhadap kewajiban sebagaimana dimaksud dalam Pasal 13 ayat (1) PBI 17/23/2015, maka dapat dikenakan sanksi administratif berupa denda sebesar 0,25% dari setiap nilai penarikan ULN yang tidak diterima melalui Bank Devisa, dengan nominal paling banyak sebesar Rp50 juta.[14] Selain itu, Debitur ULN juga dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis dan pemberitahuan kepada kreditor yang bersangkutan di luar negeri, dan/atau instansi yang berwenang.[15]
2. Penerapan Prinsip Kehati-Hatian
Selain memenuhi kewajiban dalam kegiatan LLD, PT PMA A juga harus memenuhi persyaratan berkaitan dengan penerapan prinsip kehati-kehatian dalam pengelolaan ULN korporasi non-bank. Berdasarkan Pasal 2 ayat (2) PBI 16/21/2014, prinsip kehati-hatian meliputi pemenuhan:
Rasio Lindung Nilai;
Rasio Likuiditas; dan
Peringkat Utang atau Credit Rating.
Anda dapat membaca penjelasan selengkapnya mengenai prinsip kehati-hatian dalam ULN korporasi non-bank dalam Pasal 2 s.d. Pasal 5 PBI 16/21/2014.
Apabila PT PMA A selaku korporasi non-bank melanggar kewajiban pemenuhan prinsip kehati-hatian, maka PT PMA A dapat dikenakan sanksi administratif berupa teguran tertulis.[16] Selanjutnya, Bank Indonesia akan menyampaikan informasi mengenai pengenaan sanksi administratif kepada pihak-pihak terkait antara lain:[17]
kreditur yang bersangkutan di luar negeri;
Kementerian Negara Badan Usaha Milik Negara (“BUMN”), bagi korporasi BUMN;
Kementerian Keuangan q. Direktorat Jenderal Pajak;
Otoritas Jasa Keuangan (“OJK”); dan/atau
Bursa Efek Indonesia (“BEI”), bagi korporasi publik yang tercatat di BEI.
Berdasarkan penjelasan di atas, dapat disimpulkan bahwa PT PMA A perlu melakukan aksi korporasi terlebih dahulu baik berupa persetujuan Dewan Komisaris terhadap tindakan hukum Direksi maupun RUPS atau keputusan sirkuler dari para pemegang saham PT PMA A sebelum menerima ULN dari kreditur luar negeri. Kemudian, pelaksanaan RUPS oleh PT PMA A dalam rangka menyetujui penerimaan ULN menjadi penting, agar penerimaan ULN dapat dilaksanakan secara patut dan dapat dipertanggungjawabkan berdasarkan hukum. Selain itu, PT PMA A juga wajib memenuhi persyaratan yang berkaitan dengan LLD dan menerapkan prinsip kehati-kehatian dalam pengelolaan ULN korporasi non-bank.
Dinamisnya perkembangan regulasi seringkali menjadi tantangan Anda dalam memenuhi kewajiban hukum perusahaan. Selalu perbarui kewajiban hukum terkini dengan platform pemantauan kepatuhan hukum dari Hukumonline yang berbasis Artificial Intelligence, Regulatory Compliance System (RCS). Klik di sini untuk mempelajari lebih lanjut.