Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Rekaman Telepon sebagai Alat Bukti dalam UU ITE 2024

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Rekaman Telepon sebagai Alat Bukti dalam UU ITE 2024

Rekaman Telepon sebagai Alat Bukti dalam UU ITE 2024
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Rekaman Telepon sebagai Alat Bukti dalam UU ITE 2024

PERTANYAAN

Apakah rekaman telepon bisa dijadikan sebagai alat bukti perdata? Kalau bisa, masuk ke dalam alat bukti apa? Bagaimana ketentuan alat bukti dalam UU ITE terbaru/UU ITE 2024?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pada dasarnya, terdapat 5 alat bukti dalam hukum acara perdata, yaitu bukti tertulis, bukti saksi, persangkaan, pengakuan, dan sumpah. Lalu, terkait ketentuan mengenai rekaman telepon sebagai alat bukti dalam perkara perdata, kita perlu merujuk pada Pasal 5 UU 1/2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE.

    Bagaimana bunyi dasar hukum selengkapnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih untuk pertanyaan Anda.

     Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Dapatkah Rekaman Telepon Digunakan Sebagai Alat Bukti? yang dipublikasikan pada 3 Agustus 2015.

    KLINIK TERKAIT

    Bagaimana Membuktikan Perjanjian Tak Tertulis di Pengadilan?

      Bagaimana Membuktikan Perjanjian Tak Tertulis di Pengadilan?

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Alat Bukti dalam Hukum Acara Perdata

    Untuk menjawab pertanyaan Anda, maka terlebih dahulu kami sampaikan tentang alat bukti dalam hukum acara perdata. Hukum acara perdata sendiri mengenal 5 macam alat bukti yang sah sebagaimana dijelaskan dalam Pasal 1866 KUH Perdata, Pasal 164 HIR, dan Pasal 284 RBg, yaitu:

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
    1. Bukti Tertulis (Surat atau Akta)

    Mengenai alat bukti tertulis, Sudikno Mertokusumo dalam bukunya Hukum Acara Perdata Indonesia  (hal.141) membedakan definisi surat dan akta. Surat adalah sesuatu yang memuat tanda-tanda bacaan yang dimaksudkan untuk menyampaikan buah pikiran yang dimiliki seseorang, dimana buah pikiran tersebut dapat dipergunakan sebagai suatu pembuktian. Sedangkan akta adalah tulisan yang diberikan tanda tangan yang memuat peristiwa yang menjadi sebagai dasar daripada suatu hak atau perikatan yang sejak awal dibuat untuk suatu pembuktian. Adapun akta terbagi lagi menjadi 2 jenis yaitu:

    1. Akta bawah tangan, yaitu akta yang ditandatangani di bawah tangan, surat daftar, surat urusan rumah tangga dan tulisan-tulisan yang lain dibuat tanpa melalui seorang pejabat umum.[1] Akta bawah tangan bisa saja memiliki kekuatan pembuktian yang sama dengan akta autentik dengan syarat akta bawah tangan tersebut diakui kebenarannya oleh pihak yang menandatangani.[2]
    2. Akta autentik, yaitu suatu akta yang dibuat dalam bentuk yang ditentukan undang-undang baik oleh atau di hadapan pejabat umum yang berwenang untuk itu di tempat akta itu dibuat.[3]

     

    1. Bukti Saksi

    Masih bersumber dari buku yang sama, menurut Sudikno Mertokusumo (hal. 112), kesaksian merupakan suatu kepastian yang diberikan kepada para hakim saat persidangan, terkait peristiwa yang disengketakan dengan memberitahukan secara lisan dan pribadi oleh orang yang tidak termasuk dalam pihak yang berperkara di persidangan.

    Kemudian, semua orang yang cakap menjadi saksi wajib memberikan kesaksian di muka hakim.[4] Adapun berbagai pihak yang dilarang untuk menjadi saksi menurut Pasal 1910 dan Pasal 1912 KUH Perdata adalah:

    1. anggota keluarga sedarah dan semenda salah satu pihak dalam garis lurus;
    2. suami atau istri, meskipun telah bercerai;
    3. orang yang belum genap 15 tahun;
    4. orang yang berada di bawah pengampuan karena dungu, gila, atau gelap mata; dan
    5. orang yang atas perintah hakim telah dimasukkan dalam tahanan selama perkara diperiksa pengadilan.
    1. Persangkaan

    Pasal 1915 KUH Perdata menjelaskan bahwa persangkaan adalah kesimpulan yang oleh undang-undang atau oleh hakim ditarik dari suatu peristiwa yang diketahui umum ke arah suatu peristiwa yang tidak diketahui umum. Lalu, persangkaan terbagi atas persangkaan berdasarkan undang-undang dan persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang.

    Persangkaan yang tidak berdasarkan undang-undang, diterangkan dalam Pasal 173 HIR. Secara sederhana, persangkaan ini adalah kesimpulan-kesimpulan yang diambil oleh hakim dari suatu kejadian atau keadaan yang telah terbukti, sehingga dapat menjelaskan suatu kejadian atau keadaan yang tidak terbukti. Sedangkan persangkaan berdasarkan undang-undang diatur dalam Pasal 1916 KUH Perdata, yang menerangkan bahwa persangkaan ini adalah persangkaan yang dihubungkan dengan perbuatan tertentu atau peristiwa tertentu berdasarkan ketentuan undang-undang.

    1. Pengakuan

    Alat bukti pengakuan diatur dalam Pasal 174, 175, dan 176 HIR. Dalam Pasal 174 HIR dan penjelasannya, diterangkan bahwa pengakuan dapat diklasifikasikan atas pengakuan di muka hakim dan pengakuan di luar sidang (Pasal 175). Sedangkan dalam dalam Pasal 176 HIR, diterangkan bahwa setiap pengakuan harus diterima seluruhnya dan hakim tidak boleh menerima sebagian atau menolak sebagian pengakuan yang bisa merugikan orang yang mengaku itu, kecuali orang yang berutang itu dengan maksud akan membebaskan dirinya, menyebutkan perkara yang terbukti bahwa perbuatan atau kejadian tersebut adalah palsu.

    Sementara pengakuan sebagai alat bukti dalam hukum acara perdata diatur dalam Pasal 1926 KUH Perdata yang menjelaskan bahwa suatu pengakuan yang diberikan di hadapan Hakim tidak dapat dicabut kecuali bila dibuktikan bahwa pengakuan itu diberikan akibat suatu kekeliruan mengenai peristiwa-peristiwa yang terjadi. Dengan alasan terselubung yang didasarkan atas kekeliruan-kekeliruan dalam menerapkan hukum, pengakuan tidak dapat dicabut.

    1. Sumpah

    Berdasarkan Pasal 1929 KUH Perdata, sumpah dapat dikategorikan menjadi 2 macam antara lain:

    1. sumpah yang diperintah oleh pihak yang satu kepada pihak lain untuk memutus suatu perkara (sumpah pemutus).
    2. sumpah yang diperintahkan oleh hakim karena jabatan kepada salah satu pihak.

    Sebagai informasi, terkait alat-alat bukti di atas, M. Yahya Harahap dalam bukunya Hukum Acara Perdata (hal. 623) menjelaskan bahwa tidak selamanya sengketa perdata dapat dibuktikan dengan alat bukti tulisan atau akta. Dalam kenyataan bisa terjadi sama sekali penggugat tidak memiliki alat bukti tulisan untuk membuktikan dalil gugatan. Dalam peristiwa yang demikian, jalan keluar yang dapat ditempuh penggugat untuk membuktikan dalil gugatannya ialah dengan jalan menghadirkan saksi-saksi yang kebetulan melihat, mengalami, atau mendengar sendiri kejadian yang diperkarakan.

    Baca juga: 5 Alat Bukti Dalam Hukum Acara Perdata

    Rekaman Telepon sebagai Alat Bukti menurut UU ITE

    Selanjutnya, mengenai apakah rekaman telepon dapat dijadikan sebagai alat bukti dalam perkara perdata, kita perlu merujuk pada ketentuan Pasal 5 UU 1/2024 tentang perubahan kedua atas UU ITE yang berbunyi:

    1. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya merupakan alat bukti hukum yang sah.
    2. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dan/atau hasil cetaknya sebagaimana dimaksud pada ayat (1) merupakan perluasan dari alat bukti yang sah sesuai dengan Hukum Acara yang berlaku di Indonesia.
    3. Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik dinyatakan sah apabila menggunakan Sistem Elektronik sesuai dengan ketentuan yang
      diatur dalam Undang-Undang ini.
    4. Ketentuan mengenai Informasi Elektronik dan/atau Dokumen Elektronik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak berlaku dalam hal
      diatur lain dalam Undang-Undang.

    Selanjutnya, Penjelasan Pasal 5 Ayat (1) UU 1/2024 menerangkan bahwa keberadaan informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik mengikat dan diakui sebagai alat bukti yang sah untuk memberikan kepastian hukum terhadap Penyelenggaraan Sistem Elektronik dan Transaksi Elektronik, terutama dalam pembuktian dan hal yang berkaitan dengan perbuatan hukum yang dilakukan melalui sistem elektronik. Lalu, khusus untuk informasi elektronik dan/atau dokumen elektronik berupa hasil intersepsi atau penyadapan atau perekaman yang merupakan bagian dari penyadapan harus dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi lainnya yang kewenangannya ditetapkan berdasarkan undang-undang.[5]

    Dari bunyi pasal-pasal di atas, penting untuk diketahui bahwa informasi elektronik adalah satu atau sekumpulan data elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto, Electronic Data Interchange (EDI), surat elektronik (electronic mail), telegram, teleks, telecopy atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol, atau perforasi yang telah diolah yang memiliki arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[6]

    Sementara dokumen elektronik adalah adalah setiap informasi elektronik yang dibuat, diteruskan, dikirimkan, diterima, atau disimpan dalam bentuk analog, digital, elektromagnetik, optikal, atau sejenisnya, yang dapat dilihat, ditampilkan, dan/atau didengar melalui komputer atau sistem elektronik, termasuk tetapi tidak terbatas pada tulisan, suara, gambar, peta, rancangan, foto atau sejenisnya, huruf, tanda, angka, kode akses, simbol atau perforasi yang memiliki makna atau arti atau dapat dipahami oleh orang yang mampu memahaminya.[7]

    Jadi, dapat disimpulkan bahwa informasi dan/atau dokumen elektronik berupa rekaman suara atau rekaman telepon sebagaimana diatur dalam Pasal 5 ayat (1) dan (2) UU 1/2024 adalah alat bukti hukum yang sah dan merupakan perluasan dari alat bukti sesuai dengan hukum acara perdata.

    Namun demikian, berdasarkan putusan MK tentang alat bukti elektronik yaitu Putusan MK Nomor 20/PUU-XIV/2016 menyatakan bahwa frasa “informasi elektronik dan dokumen elektronik” tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai khususnya frasa “informasi elektronik dan dokumen elektronik” sebagai alat bukti dilakukan dalam rangka penegakan hukum atas permintaan kepolisian, kejaksaan, dan/atau institusi penegak hukum lainnya (hal. 98).

    Jadi, untuk menjadi alat bukti yang sah, dokumen elektronik berupa isi rekaman telepon tersebut harus atas permintaan penegak hukum.

    Baca juga: Dapatkah Rekaman Telepon Jadi Alat Bukti Perdata

    Selain itu, sebagai contoh, penggunaan rekaman telepon pada perkara perdata sebagai alat bukti dapat kita lihat dalam Putusan Mahkamah Agung Nomor 328 K/AG/2011. Dalam putusan tersebut diketahui bahwa hakim menimbang salah satu bukti berupa rekaman suara telepon dalam perkara perdata agama soal perceraian. Dalam rekaman telepon yang diperdengarkan di persidangan, rekaman menunjukkan kedekatan anak yang sangat rindu dengan ayahnya tetapi dilarang bertemu oleh ibunya (Termohon Kasasi/Penggugat). Alat bukti percakapan rekaman telepon ini didukung dengan bukti-bukti lainnya seperti keterangan saksi (hal. 21-22).

    Dari contoh kasus di atas menunjukkan bahwa rekaman telepon hanyalah sebagai salah satu bukti, tetapi perlu didukung oleh alat bukti lain untuk keperluan pembuktian di persidangan, misalnya keterangan saksi. Pada akhirnya, hakimlah yang melakukan penilaian pembuktian berdasar keterangan dan penjelasan yang diberikan di persidangan.

    Baca juga: Mengenal Alat Bukti Langsung dan Tidak Langsung

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Herzien Indlandsch Reglement (HIR) (S.1941-44);
    3. Reglement Tot Regeling Van Het Rechtswezen In De Gewesten Buiten Java En Madura. (RBg.) (S. 1927-227);
    4. Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik

     Referensi:

    1. M. Yahya Harahap. Hukum Acara Perdata. Sinar Grafika: Jakarta, 2009.
    2. Sudikno Mertokusumo. Hukum Acara Perdata Indonesia. Edisi ke 6, Yogyakarta: Liberty, 2002. 

    Putusan:

    1. Putusan Mahkamah Agung Nomor 328 K/AG/2011;
    2. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 20/PUU-XIV/2016.

    [1] Pasal 1874 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)

    [2] Pasal 1875 KUH Perdata

    [3] Pasal 1868 KUH Perdata

    [4] Pasal 1909 KUH Perdata

    [5] Penjelasan Pasal 5 ayat (2) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2024 tentang Perubahan Kedua atas Undang-undang Nomor 11 Tahun 2008 Tentang Informasi dan Transaksi Elektronik 

    [6] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2016 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 11 Tahun 2008 tentang Informasi dan Transaksi Elektronik (“UU 19/2016”)

    [7] Pasal 1 angka 4 UU 19/2016

    Tags

    perdata
    alat bukti

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!