Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia

Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia
Tri Jata Ayu Pramesti, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukum Perkawinan Sedarah di Indonesia

PERTANYAAN

Bagaimana hukumnya perkawinan sedarah dilihat dari UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam dan undang-undang lainya? Tolong dijelaskan. Terima kasih.

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Konsekuensi Hukum jika Menikah karena Terpaksa

    Konsekuensi Hukum jika Menikah karena Terpaksa

     

     

    Baik menurut UU Perkawinan, Kompilasi Hukum Islam, maupun KUH Perdata, perkawinan itu dilarang antara dua orang yang:

    a.    berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

    b.    berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya.

     

    Konsekuensinya, perkawinan itu menjadi batal (dianggap tidak pernah ada). Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Ulasan:

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Perkawinan adalah sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu.[1] Jika hukum agama dan kepercayaan mengatur bahwa perkawinan sedarah itu dilarang, maka perkawinan sedarah itu tidak sah.

     

    Larangan Menurut UU Perkawinan

    Larangan perkawinan sedarah ini dipertegas kembali dalam Pasal 8 UU Perkawinan:

     

    Perkawinan dilarang antara dua orang yang:

    a.    berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;

    b.    berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;

    c.    berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;

    d.    berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;

    e.    berhubungan saudara dengan isteri atau sebagai bibi atau kemenakan dari isteri, dalam hal seorang suami beristeri lebih dari seorang;

    f.     mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.

     

    Pejabat yang ditunjuk berkewajiban mencegah berlangsungnya perkawinan-perkawinan di atas dan Pegawai pencatat perkawinan tidak diperbolehkan melangsungkan atau membantu melangsungkan perkawinan bila ia mengetahui adanya pelanggaran dari pasal di atas.[2]

     

    Konsekuensi dari perkawinan yang tidak dicatat ini, maka keabsahannya tidak diakui. Staf Ahli Menteri Agama, Tulus, dalam artikel Pencatatan Perkawinan Justru Lindungi Warga Negara menuturkan suatu perkawinan belum dapat diakui keabsahannya jika tidak dicatatkan. Pencatatan itu untuk tertib administrasi, memberikan kepastian hukum bagi status hukum suami, istri, anaknya, dan jaminan perlindungan terhadap hak yang timbul seperti hak waris, hak untuk memperoleh akta kelahiran. Pencatatan ini harus memenuhi syarat dan prosedur dalam UU Perkawinan.

     

    Larangan Menurut Kompilasi Hukum Islam

    Perkawinan menurut hukum Islam adalah pernikahan, yaitu akad yang sangat kuat atau miitsaaqan gholiidhan untuk menaati perintah Allah dan melaksanakannya adalah ibadah.[3] Perkawinan batal apabila perkawinan dilakukan antara dua orang yang mempunyai hubungan darah semeda dan sesusuan sampai derajat tertentu yang menghalangi perkawinan menurut Pasal 8 UU Perkawinan.[4]

     

    Masih soal larangan perkawinan sedarah menurut hukum Islam, Al Quran Surat An Nisa ayat 23 dengan tegas menyatakan larangan perkawinan sedarah, yang artinya:

     

    Diharamkan atas kamu (menikahi) ibu-ibumu; anak-anakmu yang perempuan; saudara-saudaramu yang perempuan, saudara-saudara bapakmu yang perempuan; saudara-saudara ibumu yang perempuan; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang laki-laki; anak-anak perempuan dari saudara-saudaramu yang perempuan; ibu-ibumu yang menyusui kamu; saudara perempuan sepersusuan; ibu-ibu isterimu (mertua); anak-anak perempuan dari isterimu (anak tiri) yang dalam pemeliharaanmu dari isteri yang telah kamu campuri, tetapi jika kamu belum campur dengan isterimu itu (dan sudah kamu ceraikan), maka tidak berdosa kamu (menikahinya); (dan diharamkan bagimu) isteri-isteri anak kandungmu (menantu); dan (diharamkan) mengumpulkan (dalam pernikahan) dua perempuan yang bersaudara, kecuali yang telah terjadi pada masa lampau. Sungguh Allah Maha Pengampun, Maha Penyayang.”

     

    Larangan perkawinan juga terdapat dalam Pasal 39 butir (1) huruf a KHI, yang menyatakan bahwa dilarang melangsungkan perkawinan antara seorang pria dengan seorang wanita disebabkan :

     

    1.    Karena pertalian nasab:

    a.    dengan seorang wanita yang melahirkan atau menurunkannya atau keturunannya

    b.    dengan seorang wanita keturunan ayah atau ibu

    c.    dengan seorang wanita saudara yang melahirkan

    2.    Karena pertalian kerabat semenda:

    a.    dengan seorang wanita yang melahirkan istrinya atau bekas istrinya

    b.    dengan seorang wanita bekas istri orang yang menurunkannya

    c.    dengan seorang wanita keturunan istri atau bekas istrinya, kecuali putusnya hubungan perkawinan dengan bekas istrinya itu qabla ad dukhul

    d.    dengan seorang wanita bekas istri keturunannya

    3.    Karena pertalian sesusuan:

    a.    dengan wanita yang menyusuinya dan seterusnya menurut garis lurus ke atas

    b.    dengan seorang wanita sesusuan dan seterusnya menurut garis lurus kebawah

    c.    dengan seorang wanita saudara sesusuan, dan kemenakan sesusuan ke bawah

    d.    dengan seorang wanita bibi sesusuan dan nenek bibi sesusuan keatas

    e.    dengan anak yang disusui oleh istrinya dan keturunannya

     

    Sebagai referensi, Anda dapat membaca artikel-artikel berikut:

    -    Perkawinan dengan Sepupu

    -    Hubungan Keluarga Sedarah Dalam Garis Menyimpang

    -    Bolehkah Menikahi Anak dari Sepupu Ibu?

    -    Ketentuan Waris Anak Hasil Incest Menurut Hukum Islam

     

    Larangan Menurut KUH Perdata dan Hukum Agama

    Menjawab pertanyaan Anda lainnya, peraturan perundang-undangan lain yang mengatur larangan perkawinan sedarah adalah Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”). Prof. H. Hilman Hadikusuma, S.H. dalam bukunya Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama (hal. 61) menjelaskan antara lain bahwa apabila kita melihat kembali pada Pasal 30 KUH Perdata tentang larangan perkawinan, maka perkawinan yang dilarang adalah perkawinan dilarang antara mereka yang satu sama dengan yang lain bertalian keluarga  dalam garis ke atas maupun garis ke bawah, baik karena kelahiran yang sah maupun tidak sah, atau karena perkawinan; dan dalam garis menyimpang, antara saudara laki dan saudara perempuan, sah atau tidak sah.

     

    Hilman (hal. 65-66) juga menjelaskan bahwa menurut Hukum Islam, perkawinan yang dilarang (haram) dapat dibedakan antara yang dilarang untuk selama-lamanya dan untuk sementara waktu. Yang dilarang untuk selama-lamanya adalah perkawinan yang dilakukan karena pertalian darah, pertalian semenda, pertalian susan, dan sebab perzinahan. Perkawinan yang dilarang karena pertalian darah, karena perkawinan antara seorang pria dengan ibunya neneknya (terus ke atas), dengan anak wanitanya, cucu wanita (terus ke bawah), dengan saudara wanita, anak wanita dari saudara pria/wanita (terus ke bawah), perkawinan dengan bibi yaitu saudara wanita dari ibu/ayah, saudara dari nenek atau datuk (terus ke atas).

     

    Akibat hukumnya, menurut Drs. Sudarsono, S.H., M.Si dalam bukunya Hukum Perkawinan Nasional (hal. 111), di dalam Pasal 90 KUH Perdata ditentukan bahwa pembatalan segala perkawinan yang berlangsung dengan menyalahi ketentuan-ketentuan termuat dalam Pasal 30, Pasal 31, Pasal 32, dan Pasal 33, boleh dituntut (dimintakan pembatalan) baik oleh suami istri itu sendiri, baik oleh orang tua atau keluarga sedarah mereka dalam garis ke atas, baik pula oleh mereka yang berkepentingan atas pembatalan itu, ataupun oleh Kejaksaan.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    1.    Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;

    2.    Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.

     

    Referensi:

    1.    Hilman Hadikusuma. 1990. Hukum Perkawinan Indonesia Menurut Perundangan, Hukum Adat, Hukum Agama. Mancar Maju: Bandung.

    2.    Sudarsono. 2005. Hukum Perkawinan Nasional. Rineka Cipta: Jakarta.

     



    [1] Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)

    [2] Pasal 16 ayat (1) dan Pasal 20 UU Perkawinan

    [3] Pasal 2 Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)

    [4] Pasal 69 huruf d KHI

     

    Tags

    hukum
    perdata

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!