Intisari :
Perlu dipahami bahwa putusan pidana pada tingkat pertama, banding, atau kasasi masih dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap selama belum ada putusan peninjauan kembali (“PK”). Putusan PK yang membenarkan alasan pemohon adalah berkekuatan hukum tetap, putusan tersebut membatalkan putusan pidana sebelumnya dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa: Putusan bebas; Putusan lepas dari segala tuntutan hukum; Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum; Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Berdasarkan Pasal 1 angka 12
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), pengertian upaya hukum adalah hak terdakwa atau penuntut umum untuk tidak menerima putusan pengadilan yang berupa perlawanan atau banding atau kasasi atau hak terpidana untuk mengajukan permohonan peninjauan kembali (“PK”) dalam hal serta menurut cara yang diatur dalam KUHAP.
KUHAP membagi lagi upaya hukum menjadi 2 jenis, yaitu upaya hukum biasa yang disebutkan pada BAB XVII KUHAP, dan upaya hukum luar biasa yang disebutkan pada BAB XVIII KUHAP. Upaya hukum biasa terdiri dari banding dan kasasi. Sedangkan upaya hukum luar biasa terdiri dari kasasi yang diajukan oleh Jaksa Agung dan PK.
Yang dimaksud dengan “putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap” adalah :
- putusan pengadilan tingkat pertama yang tidak diajukan banding atau kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana;
- putusan pengadilan tingkat banding yang tidak diajukan kasasi dalam waktu yang ditentukan oleh Undang-Undang tentang Hukum Acara Pidana; atau
- putusan kasasi.
M. Yahya Harahap dalam buku Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali (hal. 615) menjelaskan sebagai berikut:
Selama putusan belum mempunyai kekuatan hukum tetap, upaya peninjauan kembali tidak dapat dipergunakan. Terhadap putusan yang demikian hanya dapat ditempuh upaya hukum biasa berupa banding atau kasasi. Upaya hukum peninjauan kembali baru terbuka setelah upaya hukum biasa (berupa banding dan kasasi) telah tertutup. Upaya hukum peninjauan kembali tidak boleh melangkahi upaya hukum banding dan kasasi.
Berdasarkan pendapat Yahya Harahap tersebut, dapat diketahui bahwa putusan yang diajukan PK haruslah putusan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Permintaan untuk dilakukan PK justru karena putusan telah mempunyai kekuatan hukum tetap dan sudah tidak dapat lagi dilakukan banding atau kasasi. Pendapat Yahya tersebut berkaitan dengan Pasal 268 ayat (1) KUHAP. Yang mengatakan bahwa permintaan PK atas suatu putusan yang mempunyai kekuatan hukum tetap, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan tersebut.
Berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHAP, permintaan PK dilakukan atas dasar:
Apabila terdapat keadaan baru yang menimbulkan dugaan kuat, bahwa jika keadaan itu sudah diketahui pada waktu sidang masih berlangsung, hasilnya akan berupa putusan bebas atau putusan lepas dari segala tuntutan hukum atau tuntutan penuntut umum tidak dapat diterima atau terhadap perkara itu diterapkan ketentuan pidana yang lebih ringan;
Apabila dalam pelbagai putusan terdapat pernyataan bahwa sesuatu telah terbukti, akan tetapi hal atau keadaan sebagai dasar dan alasan putusan yang dinyatakan telah terbukti itu, ternyata telah bertentangan satu dengan yang lain;
Apabila putusan itu dengan jelas memperlihatkan suatu kekhilafan hakim atau suatu kekeliruan yang nyata.
Terhadap putusan bebas dan putusan lepas dari segala tuntutan hukum tidak bisa dilakukan upaya hukum PK. Hal ini ditegaskan dalam bunyi dari Pasal 263 ayat (1) KUHAP adalah:
Terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, kecuali putusan bebas atau lepas dari segala tuntutan hukum. Terpidana atau ahli warisnya dapat mengajukan permintaan peninjauan kembali kepada Mahkamah Agung.
Perlu dipahami bahwa PK hanya dapat dilakukan terhadap putusan pengadilan tingkat pertama, atau tingkat banding, atau tingkat kasasi yang telah berkekuatan hukum tetap. Dikatakan berkekuatan hukum tetap karena para pihak menerima putusan tersebut dengan tidak mengajukan upaya hukum biasa.
Atau bisa jadi para pihak tidak menerima putusan berkekuatan hukum tersebut dikarenakan telah lewat jangka waktu untuk pengajuan upaya hukum biasa.
[1] Perlu diketahui bahwa menurut Pasal 235 ayat (1) jo. Pasal 247 ayat (4) KUHAP, pengajuan upaya hukum biasa hanya bisa dilakukan 1 Kali.
Dalam buku berjudul Kitab Undang-Undang Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar (Hal. 222-223), yang ditulis oleh M. Karjadi dan R. Soesilo, menurut Martiman Prodjokamidjojo, S.H. penjelasan Pasal 263 KUHAP diantaranya adalah sebagai berikut :
Asas bahwa suatu putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap tidak bisa dirubah, berarti bahwa suatu perkara yang sama tidak dapat diajukan untuk kedua kalinya ke pengadilan. Asas ini dinamakan asas nebis in idem;
Pengajuan Peninjauan Kembali pada dasarnya bahwa hakim adalah hanya manusia belaka yang tidak terlepas dari kekeliruan dan jauh dari pada sempurna. Dan hal-hal yang diajukan ke mahkamah agung ini (PK), jika dahulu diketahui atau diketemukan di persidangan pengadilan tingkat pertama atau tingkat banding maka putusan akan berbunyi lain dari pda yang telah dijatuhkan;
Untuk mengajukan Peninjauan Kembali, pasal ini memberikan batasan secara limitatif terhadap yang dapat diajukan sebagai alasan permintaan peninjauan kembali suatu putusan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga peninjauan kembali tidak dapat dilakukan diluar alasan Pasal 263 ayat (2) KUHAP.
Berkaitan dengan asas
nebis in idem, Pasal 268 ayat (3) KUHAP menjelaskan bahwa
permintaan PK atas suatu putusan hanya dapat dilakukan satu kali saja. Asas tersebut juga diatur di Pasal 76 ayat (1)
Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yaitu:
Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
Untuk putusan pidana yang Anda maksud, berarti terhadap putusan pidana yang dimintakan PK tersebut menurut Pasal 268 ayat (1) KUHAP, tidak menangguhkan maupun menghentikan pelaksanaan dari putusan yang diajukan PK.
Putusan pidana pada tingkat pertama, banding, atau kasasi masih dikatakan mempunyai kekuatan hukum tetap selama belum ada putusan PK. Putusan PK dapat berdampak 2 hal menurut Pasal 266 ayat (2) KUHAP:
Apabila Mahkamah Agung tidak membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung menolak permintaan peninjauan kembali dengan menetapkan bahwa putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu tetap berlaku disertai dasar pertimbangannya;
Apabila Mahkamah Agung membenarkan alasan pemohon, Mahkamah Agung membatalkan putusan yang dimintakan peninjauan kembali itu dan menjatuhkan putusan yang dapat berupa:
Putusan bebas;
Putusan lepas dari segala tuntutan hukum;
Putusan tidak dapat menerima tuntutan penuntut umum;
Putusan dengan menerapkan ketentuan pidana yang lebih ringan.
Perlu dipahami bahwa pidana yang dijatuhkan dalam putusan PK tidak boleh melebihi pidana yang dijatuhkan dalam putusan semula.
[2]
Dengan demikian terhadap putusan PK yang membenarkan alasan pemohon adalah berkekuatan hukum tetap, dan putusan tersebut membatalkan putusan yang dimintakan PK itu. Hal ini didasari pula berdasarkan Pasal 266 ayat (2) huruf b KUHAP dan asas nebis in idem yang diatur di Pasal 268 ayat (3) KUHAP jo. Pasal 76 ayat (1) KUHP.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Referensi:
M. Karjadi dan R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana dengan Penjelasan Resmi dan Komentar. Bogor: Politeia, 1997
M. Yahya Harahap. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang pengadilan, Banding, Kasasi dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika, 2010.
Putusan:
[1] Pasal 234 ayat (1) jo. Pasal 246 ayat (1) KUHAP
[2] Pasal 266 ayat (3) KUHAP