Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Dapatkah Advokat dan Non Advokat Bertindak Sebagai Kuasa dalam Satu Surat?

Share
copy-paste Share Icon
Profesi Hukum

Dapatkah Advokat dan Non Advokat Bertindak Sebagai Kuasa dalam Satu Surat?

Dapatkah Advokat dan Non Advokat Bertindak Sebagai Kuasa dalam Satu Surat?
Togar S.M. Sijabat, S.H., M.H. PBH Peradi
PBH Peradi
Bacaan 10 Menit
Dapatkah Advokat dan Non Advokat Bertindak Sebagai Kuasa dalam Satu Surat?

PERTANYAAN

Mohon pencerahan apakah boleh menurut hukum jika seorang advokat dan bukan berprofesi sebagai advokat bersama-sama bertindak selaku penerima kuasa dalam satu surat kuasa? Apakah sah kuasa dan tindakan kuasa itu di pengadilan karena tetangga kami baru mengetahuinya kemudian hari?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Makna Sidang Terbuka dan Tertutup untuk Umum

    Makna Sidang Terbuka dan Tertutup untuk Umum

     

     

    Seorang bukan advokat bisa bersidang di pengadilan. Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”), yang menghadirkan partisipasi Negara untuk mendanai pembelaan terhadap masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan non advokat untuk ikut dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin tersebut.

     

    Mereka adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum. Mereka bisa bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka melakukan pembelaan hukum.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Sebelum menjawab, perlu kami jelaskan ada beberapa ketentuan yang mengatur bahwa seorang bukan advokat, bisa menerima kuasa dan bersidang di pengadilan, baik kasus perdata umum, agama, tata usaha negara maupun kasus pidana.

     

    Kuasa dalam kasus perdata misalnya, berdasarkan Pasal 118 Het Herziene Indonesisch Reglemen/Reglemen Indonesia yang Diperbaharui (“HIR”), gugatan dapat dimasukkan oleh penggugat atau kuasa hukumnya. Jadi, apabila seseorang ingin beracara di peradilan perdata, ia tidak harus mewakilkan kepada advokat.

     

    Non Advokat Sebagai Penerima Kuasa

    Seorang bukan advokat yang dapat menerima kuasa dan bersidang pada persidangan perdata, pengadilan agama, dan Tata Usaha Negara adalah:

    1.    Jaksa (sebagai pengacara negara)

    2.    Lembaga Swadaya Masyarakat  (lingkungan hidup)

    3.    Biro hukum (Instansi pemerintah, badan atau lembaga negara, Badan Usaha Milik Negara/BUMN, Tentara Nasional Indonesia/TNI, dan Kepolisian RI/Polri)

    4.    Serikat Buruh (Pengadilan Hubungan Industrial)

    5.    Keluarga dekat (kuasa insidentil)

     

    Sedangkan untuk persidangan kasus pidana yang dilakukan oleh oknum TNI, yang dapat menerima kuasa pada peradilan militer adalah Dinas Hukum TNI, yaitu bantuan hukum internal yang disediakan TNI untuk membela anggotanya yang diadili di peradilan militer pada semua tingkatannya.[1]

     

    Dengan adanya Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan Hukum (“UU Bantuan Hukum”), yang menghadirkan partisipasi Negara untuk mendanai pembelaan terhadap masyarakat miskin, dimungkinkan hadirnya kalangan non advokat untuk ikut dalam upaya pembelaan terhadap masyarakat miskin tersebut. Mereka adalah: paralegal, dosen, dan mahasiswa fakultas hukum.[2] Mereka bisa bersama-sama dengan advokat dicantumkan dalam surat kuasa dalam rangka melakukan pembelaan hukum.[3]

     

    Syarat Pemberi Bantuan Hukum Menurut UU Bantuan Hukum

    UU Bantuan Hukum dengan tegas membatasi kalangan non-advokat untuk memberikan bantuan hukum, yaitu mengharuskan lembaga mereka memenuhi syarat:[4]

    a.    berbentuk badan hukum,

    b.    terakreditasi di Kementerian Hukum dan HAM RI,

    c.    memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;

    d.    memiliki pengurus, dan

    e.    memiliki program bantuan hukum.

     

    Selain itu, non-advokat hanya memberikan bantuan hukum di luar persidangan saja. Artinya, jika telah sampai ke persidangan, yang berhak melakukan pembelaan hukum hanyalah advokat. Hal-hal terkait pembelaan hukum, seperti membuat dan menandatangani surat gugatan, jawaban, replik, duplik, daftar alat bukti, kesimpulan, dst dilarang dilakukan oleh bukan advokat.

     

    Sampai sekarang belum ada aturan yang mengatur sanksi hukum bagi kalangan bukan Advokat jika melakukan pelanggaran terhadap kejadian di atas karena mereka bukan anggota organisasi advokat (Perhimpunan Advokat Indonesia – PERADI). Namun jika merasa dirugikan, mereka bisa dilaporkan ke pihak Kepolisian dengan sangkaan memberikan keterangan palsu di persidangan.

     

    Namun bagi advokat, khususnya advokat yang terdaftar di Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI), pembiaran yang dilakukan oleh advokat, yaitu mengijinkan bukan advokat ikut menandatangani dokumen-dokumen upaya hukum di persidangan, jelas telah melanggar kode etik, sudah melakukan malpraktik hukum, yaitu membiarkan pihak yang tidak punya kapabilitas advokat untuk melakukan upaya hukum di persidangan.

     

    Kepada yang tertera namanya pada surat kuasa, bisa dilaporkan kepada Komisi Pengawas Advokat dan Dewan Kehormatan Perhimpunan Advokat Indonesia (PERADI) karena membiarkan terjadinya pelanggaran etik malpraktik advokat, yaitu membiarkan terjadinya pembelaan hukum yang dilakukan oleh pihak yang tidak berkompeten dan masuk dalam kategori menelantarkan klien.

     

    Jadi, jika ada dalam surat kuasa advokat dan bukan advokat, seorang yang bukan advokat bisa melakukan pembelaan hukum di luar persidangan saja, dan selanjutnya jika sudah masuk ke pengadilan, hanya advokat saja yang bisa melakukan pembelaan hukum.

     

    Dasar hukum:

    1.    Kitab Undang-Undang Hukum Acara Pidana;

    2.   Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan Undang-Undang Nomor 49 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 2 Tahun 1986 tentang Peradilan Umum;

    3.   Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan  Undang-Undang Nomor 51 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 5 tahun 1986 tentang Peradilan Tata Usaha Negara;

    4.    Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama sebagaimana yang telah diubah terakhir kalinya dengan  Undang-Undang Nomor 50 Tahun 2009 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1989 tentang Peradilan Agama;

    5.    Undang-Undang Nomor 18 Tahun 2003 tentang Advokat;

    6.    Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004 tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial;

    7.    Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2004 tentang Kejaksaan Republik Indonesia;

    8.    Undang-Undang Nomor 32 tahun 2009 Perlindungan dan Pengelolaan Lingkungan Hidup;

    9.    Undang-Undang Nomor 16 tahun 2011 tentang Bantuan HUkum;

    10. Surat Ketua Mahkamah Agung  RI Nomor MA/KUMDIL/8810/IX/1987 Tahun 1987.  

     

    Referensi:

    Pedoman Tekhnis Administrasi dan Teknis Peradilan Perdata Umum dan Perdata Khusus, Buku II, Edisi 2007, Mahkamah Agung RI.

     



    [1] Pasal 215  Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1997 tentang Peradilan Militer (“UU 31/1997”)

    [2] Pasal 9 huruf a UU Bantuan Hukum

    [3] Pasal 15 ayat (3) UU Bantuan Hukum

    [4] Pasal 8 ayat (2) UU Bantuan Hukum

     

    Tags

    surat kuasa
    acara peradilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Jika Polisi Menolak Laporan Masyarakat, Lakukan Ini

    15 Jan 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!