Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Langkah yang Dapat Dilakukan Jika Penjual Menolak Pembayaran

Share
copy-paste Share Icon
Perdata

Langkah yang Dapat Dilakukan Jika Penjual Menolak Pembayaran

Langkah yang Dapat Dilakukan Jika Penjual Menolak Pembayaran
Albert Aries, S.H., M.H.Albert Aries & Partners
Albert Aries & Partners
Bacaan 10 Menit
Langkah yang Dapat Dilakukan Jika Penjual Menolak Pembayaran

PERTANYAAN

A dan B mengikatkan dirinya dalam PPJB untuk satu unit apartemen. A telah menyerahkan apartemen tersebut dan B sudah membayar uang sebesar 75% dari harga yang disepakati. Bahwa A dan B sepakat untuk mengikatkan diri dalam AJB setelah jangka waktu 5 tahun sejak PPJB. Dalam perjalanannya, A menambahkan klausul secara sepihak mengenai kekurangan pembayaran sebesar 25% mengikuti harga pasar dan bukan berdasarkan harga awal yang disepakati. Dalam AJB, A sebagai penjual meminta B sebagai pembeli membayar berdasarkan addendum yang dibuat sepihak tersebut. Lalu pembeli menolak membayar karena merasa dirugikan oleh perbuatan A. Perbuatan A dapat digolongkan ke dalam wanprestasi atau Perbuatan Melawan Hukum?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:

    KLINIK TERKAIT

    Panduan Hukum Menghadapi Debt Collector

    Panduan Hukum Menghadapi <i>Debt Collector</i>

     

     

    Kami berasumsi bahwa dalam perjanjian tersebut tidak pernah dilakukan perubahan atau penambahan (addendum), karena tidak pernah disetujui oleh B (pembeli) sebagai salah satu pihak yang terikat di dalamnya.

     

    Berdasarkan ketentuan Pasal 1338 jo. 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (KUH Perdata), Perjanjian Pengikatan Jual Beli (PPJB) apartemen antara A sebagai penjual dan B sebagai pembeli sudah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat di dalamnya, sehingga tidak dapat diubah atau ditambahkan secara sepihak oleh penjual apartemen tersebut.

     

    Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 1404 KUH Perdata, jika A sebagai penjual apartemen tersebut menolak pembayaran dari B sesuai harga yang disepakati dalam PPJB, maka B dapat melakukan penawaran pembayaran dan apabila A masih juga menolak menerima pembayaran dengan berbagai alasan, maka B dapat melakukan penitipan sisa uang pembayaran tersebut ke pengadilan dan selanjutnya B dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi dengan tuntutan agar Pengadilan menghukum (Condemnatoir) A untuk melakukan Penandatanganan Akta Jual-Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dengan konsekuensi uang paksa (Dwangsom) apabila tidak dipenuhi.

     

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

     

     

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

     

    Ulasan:

     

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

     

    Wanprestasi

    Dalam praktik gugat-menggugat secara perdata di Pengadilan Umum, dikenal dua macam dasar gugatan yang paling sering digunakan, yaitu Wanprestasi dan Perbuatan Melawan Hukum (“PMH”), tentunya selain dari Gugatan Perceraian, Gugatan Gono Gini dan Gugatan Pembagian Waris.

     

    Mengenai Wanprestasi atau perbuatan cidera/ingkar janji (breach of contract), secara etimologis berasal dari bahasa Belanda, yang artinya “prestasi” yang buruk dari seorang debitur (atau orang yang berutang) dalam melaksanakan suatu perjanjian.  

     

    Menurut pendapat Subekti dalam bukunya Hukum Perjanjian (hal. 45), wanprestasi (kelalaian/kealpaan) seorang debitur dapat berupa:

    a.   Tidak melakukan apa yang disanggupi akan dilakukannya.

    b.   Melaksanakan apa yang dijanjikannya, tetapi tidak sebagaimana dijanjikan.

    c.   Melakukan apa yang dijanjikannya tetapi terlambat.

    d.   Melakukan sesuatu yang menurut perjanjian tidak boleh dilakukannya.

     

    Perbuatan Melawan Hukum (PMH)

    Sedangkan yang dimaksud dengan PMH (onrechtmatige daad) dalam konteks perdata diatur dalam Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), yang berbunyi:

     

    Tiap perbuatan melanggar hukum, yang membawa kerugian kepada orang lain, mewajibkan orang yang karena salahnya menerbitkan kerugian itu, mengganti kerugian tersebut.

     

    Rosa Agustina dalam bukunya Perbuatan Melawan Hukum, terbitan Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia (2003), hal. 117, berpendapat bahwa diperlukan 4 syarat untuk menentukan suatu perbuatan dapat dikualifisir sebagai PMH:

    1.   Bertentangan dengan kewajiban hukum si pelaku

    2.   Bertentangan dengan hak subjektif orang lain

    3.   Bertentangan dengan kesusilaan

    4.   Bertentangan dengan kepatutan, ketelitian dan kehati-hatian.

     

    Perbedaan Wanprestasi dengan PMH

    Dulu Almarhum Setiawan, mantan hakim yustisial Mahkamah Agung pernah memberikan tips hukum yang cukup sederhana untuk membedakan Wanprestasi dan PMH yang sejak dulu menjadi perdebatan klasik tidak berujung, yaitu PMH kalau melanggar Undang-Undang yang berlaku untuk umum. Sedangkan, wanprestasi mengenai soal perjanjian yang berlaku untuk para pihak.

     

    Namun demikian, dalam praktik ternyata tidak mudah untuk membedakan kualifikasi keduanya, apalagi jika perkaranya cukup rumit, sehingga diperlukan analisis mendalam untuk dapat menentukan dasar gugatan yang tepat, untuk menghindari eksepsi Obscuur Libel[1] dari lawan yang dapat membuat gugatannya menjadi tidak dapat diterima.

     

    Analisis

    Untuk menjawab pertanyaan Anda yang menanyakan tentang tindakan A (penjual) apartemen yang telah menambahkan klausula secara sepihak mengenai kekurangan pembayaran sebesar 25% dengan mengikuti harga pasar dan bukan berdasarkan harga awal yang disepakati dalam Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”), padahal apartemennya sudah diserahkan secara fisik kepada B (pembeli), maka dalam hal ini kami berasumsi bahwa dalam perjanjian tersebut tidak pernah dilakukan perubahan atau penambahan (addendum), karena tidak pernah disetujui oleh B sebagai salah satu pihak yang terikat di dalamnya.

     

    Selanjutnya, berdasarkan ketentuan Pasal 1338 jo. 1320 KUH Perdata, PPJB apartemen antara A sebagai penjual dan B sebagai pembeli sudah mengikat dan berlaku sebagai undang-undang bagi para pihak yang terikat di dalamnya, sehingga tidak dapat diubah atau ditambahkan secara sepihak oleh penjual apartemen tersebut.

     

    Oleh karena itu, sesuai dengan Pasal 1404 KUH Perdata, jika A sebagai penjual apartemen tersebut menolak pembayaran dari B sesuai harga yang disepakati dalam PPJB, maka B dapat melakukan penawaran pembayaran dan apabila A masih juga menolak menerima pembayaran dengan berbagai alasan, maka B dapat melakukan penitipan sisa uang pembayaran tersebut ke pengadilan dan selanjutnya B dapat mengajukan gugatan dengan dasar wanprestasi dengan tuntutan agar Pengadilan menghukum (Condemnatoir) A untuk melakukan Penandatanganan Akta Jual-Beli (AJB) di hadapan Pejabat Pembuat Akta Tanah, dengan konsekuensi uang paksa (Dwangsom) apabila tidak dipenuhi.

     

    Sebagai referensi tambahan untuk Anda, jika B menginginkan pembatalan atas PPJB apartemen tersebut, maka dalam praktik pengadilan perdata di Indonesia telah ditemukan perkembangan alasan hukum yang baru untuk melakukan pembatalan suatu Perjanjian, yaitu dengan alasan “Penyalahgunaan Keadaan” (Misbruik Van Omstandigheden), yang notabene sudah lebih dulu diatur dalam KUH Perdata negeri Belanda.

     

    Menurut Nieuwenhuis, sebagaimana dikutip oleh H.P. Panggabean dalam bukunya Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian, mengemukakan 4 syarat adanya “Penyalahgunaan Keadaan” (Misbruik Van Omstandigheden), yaitu:

    1.   Keadaan–keadaan istimewa(bijzondere omstandigheden);

    2.   Suatu hal yang nyata (kenbaarheid);

    3.   Penyalahgunaan (misbruik);

    4.   Hubungan kausal (causaal verband).

     

    Dengan demikian, sesuai ketentuan Pasal 1266 KUH Perdata, yang menyatakan bahwa Syarat Batal selalu dianggap dicantumkan dalam suatu perjanjian, maka untuk membatalkan perjanjian tersebut, B wajib mengajukan gugatan pembatalan ke Pengadilan Negeri dimana A berdomisili atau sesuai pengadilan yang disepakati bersama oleh para pihak dalam PPJB tersebut.

     

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

     

    Dasar hukum:

    Kitab Undang-Undang Hukum Perdata.

     

    Referensi:

    1.   H.P. Panggabean. 2010. Penyalahgunaan Keadaan Sebagai Alasan (Baru) untuk Pembatalan Perjanjian. Penerbit Pro deo Et Patria, edisi revisi II;

    2.   Rosa Agustina. 2003. Perbuatan Melawan Hukum. Penerbit Pasca Sarjana FH Universitas Indonesia;

    3.   Subekti. 2008. Hukum Perjanjian. Penerbit PT Intermasa.

     



    [1] Eksepsi Obscuur Libel yaitu eksepsi yang diajukan oleh Tergugat dalam hal gugatan Penggugat tidak terang atau isinya tidak jelas, contohnya tidak jelas dasar hukumnya, tidak jelas obyek sengketanya, petitum tidak rinci dijabarkan dan permasalahan antara posita wanprestasi atau perbuatan melawan hukum. Selengkapnya: Apa Saja yang Harus Dimasukkan dalam Jawaban Gugatan?

    Tags

    perdata
    ppat

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!