Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Seluk Beluk Penghasilan yang Tidak Kena PPh

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Seluk Beluk Penghasilan yang Tidak Kena PPh

Seluk Beluk Penghasilan yang Tidak Kena PPh
Ari Irfano, S.E., S.H., M.Ak., M.KnPT HSI Consulting
PT HSI Consulting
Bacaan 10 Menit
Seluk Beluk Penghasilan yang Tidak Kena PPh

PERTANYAAN

Apakah orang yang berpenghasilan kecil juga kena pajak? Selama ini saya tidak pernah bayar pajak karena penghasilan kecil. Apakah ada penghasilan yang dikecualikan dari PPh?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Salah satu jenis pajak yang wajib dibayarkan oleh setiap warga negara adalah pajak penghasilan (“PPh”), yaitu pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama tahun pajak.

    Namun, penghasilan dari wajib pajak orang pribadi mempunyai batasan yang dibebaskan dari pengenaan pajak penghasilan. Batasan tersebut biasa disebut dengan PTKP atau penghasilan tidak kena pajak. PTKP merupakan angka yang akan menjadi pengurang pajak yang harus dibayar, sehingga jika memiliki penghasilan di bawah PTKP, maka penghasilan tidak terkena pajak penghasilan. Selain itu, tidak semua penghasilan dikenakan pajak ada juga penghasilan yang dikecualikan dari PPh.

    Lalu, berapakah besaran PTKP yang berlaku dan apa saja objek yang dikecualikan dari PPh?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    KLINIK TERKAIT

    Cara Menghitung Biaya Pajak Restoran

    Cara Menghitung Biaya Pajak Restoran

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Jumlah Penghasilan yang Dibebaskan dari PPh yang dibuat oleh Sovia Hasanah, S.H., dan pertama kali dipublikasikan pada Selasa, 7 Maret 2017.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000

    Pajak adalah kontribusi wajib kepada negara yang terutang oleh orang pribadi atau badan yang bersifat memaksa berdasarkan undang-undang, dengan tidak mendapatkan imbalan secara langsung dan digunakan untuk keperluan negara bagi sebesar-besarnya kemakmuran rakyat.[1] Ada jenis-jenis pajak di Indonesia antara lain pajak penghasilan (“PPh”), pajak pertambahan nilai (PPN), pajak penjualan atas barang mewah (PPnBM), bea materai (BM), serta pajak bumi dan bangunan (PBB).

    Salah satu jenis pajak yang wajib dibayarkan oleh setiap warga negara adalah PPh, yaitu pajak yang dikenakan kepada orang pribadi atau badan berkenaan dengan penghasilan yang diterima atau diperolehnya selama tahun pajak.[2] Sehingga, wajib pajak orang pribadi maupun wajib pajak badan memiliki kewajiban untuk membayar pajak penghasilan. Namun, tidak semua masyarakat yang berpenghasilan dikenakan pajak penghasilan, sebab ada penghasilan wajib pajak yang tidak dikenakan pajak atau yang biasa disebut dengan penghasilan tidak kena pajak (“PTKP”).

    Penghasilan Tidak Kena Pajak

    Penghasilan tidak kena pajak atau PTKP merupakan pengurangan dalam menghitung besarnya pajak penghasilan wajib pajak orang pribadi. PTKP merupakan batas minimum penghasilan yang tidak dikenakan pajak penghasilan.

    Adapun, ketentuan PTKP per tahun diberikan paling sedikit:[3]

    1. Rp54 juta untuk wajib pajak orang pribadi;
    2. Rp4,5 juta untuk wajib pajak yang kawin;
    3. Rp54 juta untuk tambahan seorang istri yang penghasilannya digabung dengan suami;
    4. Rp 4.5 juta untuk tambahan setiap anggota keluarga sedarah dan keluarga semenda dalam garis keturunan lurus dan anak angkat, yang menjadi tanggungan sepenuhnya, maksimal 3 orang untuk setiap keluarga.

    PTKP bagi wajib pajak orang pribadi dikenakan Rp54 juta per tahun sehingga penghasilan yang tidak melebihi PTKP tidak akan dikenakan pajak penghasilan. Artinya, wajib pajak yang tidak dikenakan pajak adalah wajib pajak dengan penghasilan di bawah Rp54 juta per tahun atau Rp4,5 juta per bulan dikarenakan berada di bawah batas PTKP.

    Namun demikian, perlu kami sampaikan bahwa meskipun wajib pajak yang memiliki penghasilan di bawah PTKP tidak dikenakan pajak, akan tetapi jika memiliki NPWP (aktif) tetap harus melaporkan Surat Pemberitahuan Tahunan (“SPT”) dengan status nihil.

    Berikut ini kami ilustrasikan SPT wajib pajak dengan penghasilan yang tidak dikenai pajak. Tuan A adalah seorang karyawan berpenghasilan Rp4,5 juta per bulan yang masih berstatus lajang. Maka perhitungan PTKP-nya adalah sebagai berikut:

    Gaji/bulan

    = Rp4.500.000,00

    Gaji satu tahun           

    = Rp4.500.000,00 x 12

    = Rp54.000.000,00

    PTKP (Lajang/TK/0)  

    = Rp54.000.000,00

    PPh 21 Terutang

    (Gaji Setahun – PTKP)

    = Rp54.000.000,00 – Rp54.000.000,00

    = Rp0

    Perlu diketahui pula bahwa wajib pajak yang sudah mempunyai NPWP (aktif), namun ketika wajib pajak tersebut berpenghasilan di bawah PTKP, diperbolehkan tidak melaporkan SPT dengan mengajukan permohonan wajib pajak non-efektif (“NE”) dengan memenuhi syarat sebagaimana diatur di dalam Pasal 24 ayat (2) Peraturan Dirjen Pajak No. Per-04/PJ/2020. Salah satu syarat wajib pajak NE adalah wajib pajak orang pribadi yang tidak melakukan kegiatan usaha atau pekerjaan bebas dan penghasilannya di bawah PTKP.[4]

    PTKP bagi Wajib Pajak Orang Pribadi yang Menjalankan UMKM

    Selain itu, berdasarkan Pasal 56 ayat (2) PP 55/2022 bagi wajib pajak orang pribadi yang menjalankan bisnis Usaha Mikro Kecil Menengah (“UMKM”) dikenakan pajak penghasilan final dengan tarif 0,5% dari setiap penghasilan yang didapat oleh pelaku UMKM.

    Penghasilan sebagaimana dimaksud tersebut merupakan jumlah peredaran bruto dari usaha yang dihitung secara kumulatif sejak masa pajak pertama dalam suatu tahun pajak atau bagian tahun pajak.[5]

    Namun, dalam Pasal 60 ayat (2) PP 55/2022 dijelaskan jika wajib pajak orang pribadi dengan peredaran bruto sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenakan pajak penghasilan final 0,5%. Sehingga bagi wajib pajak yang memiliki penghasilan dari UMKM sampai dengan Rp500 juta dalam satu tahun pajak tidak dikenai pajak penghasilan. Meskipun tidak dikenakan pajak penghasilan final 0,5% wajib pajak orang pribadi tersebut tetap harus melaporkan penghasilannya ke dalam spt tahunan orang pribadi.

    Contoh:

    Bulan

    Omzet Peredaran Usaha

    (a)

    Peredaran Usaha Kumulatif

    (b)

    PPh Final (0,5%)

    (a x 0,5%)

    Januari

    Rp150.000.000

    Rp150.000.000

    -

    Februari

    Rp100.000.000

    Rp250.000.000

    -

    Maret

    Rp50.000.000

    Rp300.000.000

    -

    April

    Rp70.000.000

    Rp370.000.000

    -

    Mei

    Rp80.000.000

    Rp450.000.000

    -

    Juni

    Rp50.000.000

    Rp500.000.000

    -

    Juli

    Rp100.000.000

    Rp600.000.000

    Rp500.000

    Agustus

    Rp100.000.000

    Rp700.000.000

    Rp500.000

    September

    Rp100.000.000

    Rp800.000.000

    Rp500.000

    Oktober

    Rp120.000.000

    Rp920.000.000

    Rp600.000

    November

    Rp80.000.000

    Rp1.000.000.000

    Rp400.000

    Desember

    Rp100.000.000

    Rp1.100.000.000

    Rp500.000

    Total

    Rp1.100.000.000

     

    Rp3.000.000

    Tarif PPh final 0,5% mulai dikenakan pada saat omzet peredaran usaha dalam satu tahun pajak sudah di atas Rp500 juta.

    Penghasilan yang Dikecualikan dari PPh

    Dalam pajak penghasilan, ada penghasilan yang dijadikan sebagai objek pajak dan ada juga objek pajak yang dikecualikan atau tidak dikenakan PPh. Penghasilan yang dikecualikan dari PPh berdasarkan Pasal 3 angka 1 UU 7/2021 yang mengubah Pasal 4 ayat (3) UU 7/1991 yang dikecualikan dari objek pajak meliputi:

    1. Bantuan atau sumbangan, termasuk zakat, infak, dan sedekah yang diterima oleh badan amil zakat atau lembaga amil zakat yang dibentuk atau disahkan oleh pemerintah; dan harta hibahan yang diterima oleh keluarga sedarah dalam garis keturunan lurus satu derajat, badan keagamaan, badan pendidikan, badan sosial termasuk yayasan, koperasi, atau orang pribadi yang menjalankan usaha mikro dan kecil, sepanjang tidak ada hubungan dengan usaha, pekerjaan, kepemilikan, atau penguasaan di antara pihak-pihak yang bersangkutan;
    2. Warisan;
    3. Harta termasuk setoran tunai yang diterima oleh badan sebagai pengganti saham atau sebagai pengganti penyertaan modal;
    4. Penggantian atau imbalan sehubungan dengan pekerjaan atau jasa yang diterima atau diperoleh dalam bentuk natura dan/atau kenikmatan;
    5. Pembayaran dari perusahaan asuransi karena kecelakaan, sakit, atau karena meninggalnya orang yang tertanggung, dan pembayaran asuransi beasiswa;
    6. Dividen atau penghasilan lain dengan ketentuan–ketentuan tertentu sesuai UU 7/2021;
    7. Iuran yang diterima atau diperoleh dana pensiun yang pendiriannya telah disahkan Otoritas Jasa Keuangan, baik yang dibayar oleh pemberi kerja maupun pegawai;
    8. Penghasilan dari modal yang ditanamkan oleh dana pensiun dalam bidang-bidang tertentu;
    9. Bagian laba atau sisa hasil usaha yang diterima atau diperoleh anggota dari koperasi, perseroan komanditer yang modalnya tidak terbagi atas saham-saham, persekutuan, perkumpulan, firma, dan kongsi, termasuk pemegang unit penyertaan kontrak investasi kolektif;
    10. Penghasilan yang diterima atau diperoleh perusahaan modal ventura berupa bagian laba dari badan pasangan usaha yang didirikan dan menjalankan usaha atau kegiatan di Indonesia, dengan syarat dengan ketentuan–ketentuan tertentu sesuai UU 7/2021;
    11. Beasiswa yang memenuhi persyaratan tertentu;
    12. Sisa lebih yang diterima atau diperoleh badan atau lembaga nirlaba yang bergerak dalam bidang pendidikan dan/atau bidang penelitian dan pengembangan, yang telah terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana kegiatan pendidikan dan/atau penelitian dan pengembangan, dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut;
    13. Bantuan atau santunan yang dibayarkan oleh Badan Penyelenggara Jaminan Sosial kepada wajib pajak tertentu;
    14. Dana setoran Biaya Penyelenggaraan Ibadah Haji (“BPIH”) dan/atau BPIH khusus, dan penghasilan dari pengembangan keuangan haji dalam bidang atau instrumen keuangan tertentu, diterima Badan Pengelola Keuangan Haji (BPKH); dan
    15. Sisa lebih yang diterima/diperoleh badan atau lembaga sosial dan/atau keagamaan yang terdaftar pada instansi yang membidanginya, yang ditanamkan kembali dalam bentuk sarana dan prasarana sosial dan keagamaan dalam jangka waktu paling lama empat tahun sejak diperolehnya sisa lebih tersebut, atau ditempatkan sebagai dana abadi.

    Perkaya riset hukum Anda dengan analisis hukum terbaru dwibahasa, serta koleksi terjemahan peraturan yang terintegrasi dalam Hukumonline Pro, pelajari lebih lanjut di sini.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 9 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan yang diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2000 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan kemudian diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan dan diubah keempat kalinya dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2009 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2008 tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 6 Tahun 1983 tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan;
    2. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan, diubah kedua kalinya dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1994 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan Sebagaimana Telah Diubah dengan Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1991, diubah ketiga kalinya dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2000 tentang Perubahan Ketiga atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan dan diubah keempat kalinya dengan Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2008 Tentang Perubahan Keempat atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan;
    3. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan menjadi undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan;
    6. Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-04/PJ/2020 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak.

    [1] Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2007 tentang Perubahan Ketiga atas Undang–Undang Nomor 6 Tahun 1983 Tentang Ketentuan Umum dan Tata Cara Perpajakan

    [2] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1983 tentang Pajak Penghasilan

    [3] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2021 tentang Harmonisasi Peraturan Perpajakan

    [4] Pasal 24 ayat (2) huruf b Peraturan Direktur Jenderal Pajak Nomor Per-04/PJ/2020 Tahun 2020 tentang Petunjuk Teknis Pelaksanaan Administrasi Nomor Pokok Wajib Pajak, Sertifikat Elektronik, dan Pengukuhan Pengusaha Kena Pajak

    [5] Pasal 60 ayat (3) Peraturan Pemerintah Nomor 55 Tahun 2022 tentang Penyesuaian Pengaturan di Bidang Pajak Penghasilan

    Tags

    pajak penghasilan
    penghasilan tidak kena pajak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan

    12 Apr 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!