Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bolehkah Saksi Meminta Dokumen Penghentian Penyidikan atau Penuntutan?

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Bolehkah Saksi Meminta Dokumen Penghentian Penyidikan atau Penuntutan?

Bolehkah Saksi Meminta Dokumen Penghentian Penyidikan atau Penuntutan?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bolehkah Saksi Meminta Dokumen Penghentian Penyidikan atau Penuntutan?

PERTANYAAN

Apakah boleh saksi meminta dokumen penghentian penyidikan (SP3) kepada Jaksa? Apabila diperbolehkan, apakah ada dasar hukum/ketentuan dalam hal meminta dokumen penghentian penyidikan? Terima kasih.
 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Aturan mengenai penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan memiliki dasar ketentuan masing-masing. Namun secara prinsip, alasan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan lebih kurang sama.
     
    Untuk penghentian penyidikan, pelapor/pengadu dapat meminta dokumen berupa Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan kepada pihak kepolisian terkait.
     
    Sementara, meski untuk penghentian penuntutan tidak diatur hak bagi pelapor/pengadu untuk meminta dokumen terkait, namun dalam praktik, menurut hemat kami, Penuntut Umum akan melakukan pemberitahuan penghentian penuntutan tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Bolehkah Saksi Meminta Dokumen SP3? yang dibuat oleh Albert Aries, S.H., M.H. dari Albert Aries & Partners dan pertama kali dipublikasikan pada Senin, 19 Juni 2017.
     
    Kami tidak dapat memastikan yang Anda maksud dalam pertanyaan adalah penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan. Namun demikian, secara administratif, pada prinsipnya, penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan memiliki alasan yang lebih kurang sama, yang akan kami jelaskan di bawah ini.
     
    Pertama-tama, kami perlu jelaskan terlebih dahulu mengenai definisi dari penyidikan, penuntutan dan tersangka menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), yaitu:
     
    Definisi penyidikan menurut Pasal 1 angka 2 KUHAP:
     
    Penyidikan adalah serangkaian tindakan penyidik dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini untuk mencari serta mengumpulkan bukti yang dengan bukti itu membuat terang tentang tindak pidana yang terjadi dan guna menemukan tersangkanya.
     
    Definisi penuntutan menurut Pasal 1 angka 7 KUHAP:
     
    Penuntutan adalah tindakan penuntut umum untuk melimpahkan perkara pidana ke pengadilan negeri yang berwenang dalam hal dan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini dengan permintaan supaya diperiksa dan diputus oleh hakim di sidang pengadilan.
     
    Definisi tersangka menurut Pasal 1 angka 14 KUHAP:
     
    Tersangka adalah seorang yang karena perbuatannya atau keadaannya, berdasarkan bukti permulaan patut diduga sebagai pelaku tindak pidana.
     
    Berdasarkan uraian dari ketiga pasal di atas, maka penetapan tersangka dalam suatu dugaan tindak pidana oleh penyidik dan penuntutan terhadapnya, haruslah dilakukan dengan cermat dan penuh kehati-hatian, di antaranya harus ada bukti permulaan yang cukup, yaitu adanya minimal 2 alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP dan diduga bahwa tersangka adalah orang yang melakukan tindak pidana tersebut.[1]
     
    KUHAP dengan tegas menjelaskan bahwa yang dimaksud dengan “bukti permulaan yang cukup” adalah bukti permulaan untuk menduga adanya tindak pidana sesuai dengan bunyi Pasal 1 angka 14 KUHAP.[2]
     
    Penghentian Penyidikan dan Penghentian Penuntutan
    Sesuai dengan Pasal 109 ayat (2) KUHAP mengenai penghentian penyidikan dan Pasal 140 ayat (2) KUHAP tentang penghentian penuntutan, maka alasan penghentian penyidikan dan penghentian penuntutan, pada prinsipnya, lebih kurang sama, yaitu:
    1. Tidak terdapat cukup bukti;
    2. Peristiwa tersebut ternyata bukan merupakan tindak pidana; atau
    3. Perkara dihentikan/ditutup demi hukum:
    1. Terdakwa meninggal dunia (Pasal 77 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”);
    2. Perkaranya ne bis in idem (Pasal 76 KUHP);
    3. Perkaranya kedaluwarsa/verjaring (Pasal 78 KUHP);
    4. Pencabutan perkara yang sifatnya delik aduan (Pasal 75 KUHP, Pasal 284 ayat (4) KUHP).
     
    Surat Pemberitahuan Perkembangan Hasil Penyidikan (SP2HP)
    Terlebih dahulu, kami asumsikan yang Anda maksud sebagai saksi adalah saksi pelapor atau pengadu yang melaporkan atau mengadukan dugaan tindak pidana.
     
    Khusus untuk penghentian penyidikan, dilakukan melalui gelar perkara untuk memenuhi kepastian hukum, rasa keadilan dan kemanfaatan hukum serta dilaksanakan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[3]
     
    Sekarang istilah yang digunakan adalah Surat Pemberitahuan Dimulainya Penyidikan (“SPDP”) dan SP2HP.[4]
     
    SPDP dikirimkan ke penuntut umum, pelapor/korban, dan terlapor dalam waktu paling lambat 7 hari setelah diterbitkan Surat Perintah Penyidikan.[5]
     
    Setiap perkembangan penanganan perkara pada kegiatan penyidikan tindak pidana, harus diterbitkan SP2HP.[6]
     
    Kegiatan penyidikan tindak pidana terdiri atas:[7]
    1.  
    2. penyelidikan;
    3. dimulainya penyidikan;
    4. upaya paksa;
    5. pemeriksaan;
    6. penetapan tersangka;
    7. pemberkasan;
    8. penyerahan berkas perkara;
    9. penyerahan tersangka dan barang bukti; dan
    10. penghentian penyidikan.
     
    Dikutip dari artikel Prosedur Bila Polisi Tidak Menindaklanjuti Laporan Perkara, untuk mengetahui perkembangan proses penyidikan yang sedang berlangsung, pihak pelapor dapat mengajukan permohonan kepada pihak kepolisian terkait untuk dapat diberikan SP2HP atau mengaksesnya secara online.
     
    Oleh karenanya, jika terjadi penghentian penyidikan, maka sudah sepatutnya dikirimkan SP2HP, yaitu surat pemberitahuan terhadap pelapor/pengadu tentang hasil perkembangan penyidikan perkara yang bersangkutan, termasuk penghentian penyidikan.[8]
     
    Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan (SKPP)
    Sepanjang penelusuran kami, dalam Pasal 7 ayat (5) Peraturan Pemerintah Nomor 9 Tahun 2017 tentang Pedoman Register Perkara Anak dan Anak Korban, kami menemukan penyebutan istilah Surat Ketetapan Penghentian Penuntutan.
     
    Kemudian, dikutip dari Modul Penuntutan yang disusun oleh Badan Pendidikan dan Pelatihan Kejaksaaan Republik Indonesia, penghentian penuntutan baru dapat dilakukan setelah perkara itu beralih tanggung jawab dari penyidik kepada penuntut umum (hal. 7).
     
    Penuntut umum akan segera menentukan sikap apakah berkas perkara memenuhi syarat untuk dapat atau tidak dapat dilimpahkan ke pengadilan (hal. 7).
     
    Adapun pemberitahuan penghentian penuntutan tersebut dibuat berita acara 3 rangkap untuk Kepala Kejaksaan Tinggi, Penuntut Umum yang mendapatkan surat perintah untuk melakukan pemeriksaan tambahan, dan Kejaksaan Negeri (hal. 14).
     
    Lebih lanjut, dalam Peraturan Kejaksaan Republik Indonesia Nomor 15 Tahun 2020 tentang Penghentian Penuntutan Berdasarkan Keadilan Restoratif (“Perja 15/2020”), diatur dalam hal Kepala Kejaksaan Tinggi menyetujui penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif, Kepala Cabang Kejaksaan Negeri atau Kepala Kejaksaan Negeri selaku Penuntut Umum mengeluarkan SKPP dalam waktu maksimal 2 hari sejak persetujuan diterima.[9]
     
    SKPP memuat alasan penghentian penuntutan berdasarkan keadilan restoratif sekaligus menetapkan status barang bukti tindak pidana terkait.[10]
     
    Sayangnya, di dalam ketentuan dan dokumen di atas, tidak diterangkan hak pelapor atau pengadu untuk meminta SKPP.
     
    Pasal 140 ayat (2) KUHAP juga sebatas menerangkan bahwa yang akan menerima SKPP ini hanya tersangka atau keluarga atau penasihat hukum, pejabat rumah tahanan negara, penyidik dan hakim.
     
    Namun, menurut hemat kami, dalam praktik, pemberitahuan penghentian penuntutan akan dilakukan oleh Penuntut Umum, sama halnya dengan penghentian penyidikan yang akan diberitahukan oleh penyidik.
     
    Jika yang dimaksud adalah saksi selain dari saksi pelapor, maka besar kemungkinannya penyidik atau penuntut umum akan menanyakan apakah urgensinya bagi saksi untuk meminta/memiliki salinan penghentian penyidikan atau penghentian penuntutan.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang Undang Hukum Pidana;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014.
     
    Referensi:
    Modul Penuntutan, diakses pada 28 Juli 2020, pukul 15.06 WIB.
     

    [1] Pasal 1 angka 14 jo. Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014, hal. 109
    [2] Penjelasan Pasal 17 KUHAP
    [3] Pasal 30 Peraturan Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia Nomor 6 Tahun 2019 tentang Penyidikan Tindak Pidana (“Perkapolri 6/2019”)
    [4] Pasal 1 angka 16 dan 17 Perkapolri 6/2019
    [5] Pasal 14 ayat (1) Perkapolri 6/2019
    [6] Pasal 10 ayat (5) Perkapolri 6/2019
    [7] Pasal 10 ayat (1) Perkapolri 6/2019
    [8] Pasal 1 angka 17 Perkapolri 6/2019
    [9] Pasal 12 ayat (6) Perja 15/2020
    [10] Pasal 12 ayat (7) Perja 15/2020

    Tags

    sp3
    acara peradilan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Persyaratan Pemberhentian Direksi dan Komisaris PT PMA

    17 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!