Dasar Hukum Prinsip Bagi Hasil dalam Perbankan Syariah
PERTANYAAN
Bagaimana dasar hukum mengenai Bank Syariah? Apakah program prinsip bagi hasil dan wadiah dalam Bank Syariah hanya berdasarkan Hukum Islam saja? Apakah sudah ada legalisasinya?
Pro
Pusat Data
Koleksi terlengkap dan terkini berisi peraturan putusan pengadilan preseden serta non-preseden
Solusi
Wawasan Hukum
Klinik
Tanya jawab tentang berbagai persoalan hukum, mulai dari hukum pidana hingga perdata, gratis!
Berita
Informasi terkini tentang perkembangan hukum di Tanah Air, yang disajikan oleh jurnalis Hukumonline
Jurnal
Koleksi puluhan ribu artikel dan jurnal hukum yang kredibel untuk berbagai penelitian hukum Anda
Event
Informasi mengenai seminar, diskusi, dan pelatihan tentang berbagai isu hukum terkini
Klinik
Berita
Login
Pro
Layanan premium berupa analisis hukum dwibahasa, pusat data peraturan dan putusan pengadilan, serta artikel premium.
Solusi
Solusi kebutuhan dan permasalahan hukum Anda melalui pemanfaatan teknologi.
Wawasan Hukum
Layanan edukasi dan informasi hukum tepercaya sesuai dengan perkembangan hukum di Indonesia.
Catalog Product
Ada Pertanyaan? Hubungi Kami
Bagaimana dasar hukum mengenai Bank Syariah? Apakah program prinsip bagi hasil dan wadiah dalam Bank Syariah hanya berdasarkan Hukum Islam saja? Apakah sudah ada legalisasinya?
Intisari:
Pengaturan mengenai bank syariah secara umum terdapat pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah.
Bank syariah melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi yang antara lain menggunakan prinsip bagi hasil (mudharabah) dan larangan unsur riba.
Kemudian, Mudharabah dan Wadi’ah adalah jenis dari kontrak atau akad muamalah dalam bisnis perbankan syariah yang merupakan bagian dari ajaran Islam di bidang ekomoni. Meskipun Mudharabah dan Wadi’ah berasal dari ajaran Hukum Islam, tetapi pengaturannya sudah ada legalitasnya dalam peraturan perundang-undangan di Indonesia tentang perbankan syariah.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
|
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Dasar hukum mengenai bank syariah mengacu pada Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan (“UU 10/1998”) dan Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah (“UU 21/2008”).
Bank Syariah
Perbankan Syariah adalah segala sesuatu yang menyangkut tentang Bank Syariah dan Unit Usaha Syariah, mencakup kelembagaan, kegiatan usaha, serta cara dan proses dalam melaksanakan kegiatan usahanya.[1]
Bank Syariah adalah Bank yang menjalankan kegiatan usahanya berdasarkan Prinsip Syariah dan menurut jenisnya terdiri atas Bank Umum Syariah dan Bank Pembiayaan Rakyat Syariah.[2] Perbankan Syariah dalam melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah, demokrasi ekonomi, dan prinsip kehati-hatian.[3]
Yang dimaksud dengan “demokrasi ekonomi” adalah kegiatan ekonomi syariah yang mengandung nilai keadilan, kebersamaan, pemerataan, dan kemanfaatan. Sementara, yang dimaksud dengan “prinsip kehati-hatian” adalah pedoman pengelolaan Bank yang wajib dianut guna mewujudkan perbankan yang sehat, kuat, dan efisien sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.[4]
Prinsip Syariah dalam Perbankan Syariah
Menurut UU 10/1998, Prinsip Syariah adalah aturan perjanjian berdasarkan hukum Islam antara bank dan pihak lain untuk penyimpanan dana dan atau pembiayaan kegiatan usaha, atau kegiatan lainnya yang dinyatakan sesuai dengan syariah, antara lain pembiayaan berdasarkan prinsip bagi hasil (mudharabah), pembiayaan berdasarkan prinsip penyertaan modal (musharakah), prinsip jual beli barang dengan memperoleh keuntungan (murabahah), atau pembiayaan barang modal berdasarkan prinsip sewa murni tanpa pilihan (ijarah), atau dengan adanya pilihan pemindahan kepemilikan atas barang yang disewa dari pihak bank oleh pihak lain (ijarah wa iqtina).[5]
Menyorot pertanyaan Anda, dari sini kita ketahui bahwa prinsip bagi hasil merupakan salah satu prinsip syariah.
Sementara itu, Prinsip Syariah menurut UU 21/2008 adalah prinsip hukum Islam dalam kegiatan perbankan berdasarkan fatwa yang dikeluarkan oleh lembaga yang memiliki kewenangan dalam penetapan fatwa di bidang syariah.[6]
Kegiatan usaha yang berasaskan Prinsip Syariah, antara lain adalah kegiatan usaha yang tidak mengandung unsur:[7]
1. riba, yaitu penambahan pendapatan secara tidak sah (batil) antara lain dalam transaksi pertukaran barang sejenis yang tidak sama kualitas, kuantitas, dan waktu penyerahan (fadhl), atau dalam transaksi pinjam meminjam yang mempersyaratkan Nasabah Penerima Fasilitas mengembalikan dana yang diterima melebihi pokok pinjaman karena berjalannya waktu (nasi’ah);
2. maisir, yaitu transaksi yang digantungkan kepada suatu keadaan yang tidak pasti dan bersifat untung-untungan;
3. gharar, yaitu transaksi yang objeknya tidak jelas, tidak dimiliki, tidak diketahui keberadaannya, atau tidak dapat diserahkan pada saat transaksi dilakukan kecuali diatur lain dalam syariah;
4. haram, yaitu transaksi yang objeknya dilarang dalam syariah; atau
5. zalim, yaitu transaksi yang menimbulkan ketidakadilan bagi pihak lainnya.
Pada Penjelasan Umum UU 21/2008 juga dikatakan bahwa Prinsip Syariah berlandaskan pada nilai-nilai keadilan, kemanfaatan, keseimbangan, dan keuniversalan (rahmatan lil ‘alamin). Nilai-nilai tersebut diterapkan dalam pengaturan perbankan yang didasarkan pada Prinsip Syariah yang disebut Perbankan Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi. Salah satu prinsip dalam ekonomi Islam adalah larangan riba dalam berbagai bentuknya, dan menggunakan sistem antara lain prinsip bagi hasil (mudharabah).
Mengenai penekanan prinsip syariah dalam perbankan syariah juga dapat dilihat dalam Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah (“PBI 9/2007”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 Tahun 2008 (“PBI 10/2008”).
Dalam PBI 10/2008, bagi hasil termasuk salah satu bentuk pembiayaan. Yang dimaksud dengan pembiayaan adalah penyediaan dana atau tagihan yang dipersamakan dengan itu berupa (Pasal 1 angka 8 PBI 10/2008):
a. transaksi bagi hasil dalam bentuk mudharabah dan musyarakah;
b. transaksi sewa-menyewa dalam bentuk ijarah atau sewa beli dalam bentuk ijarah muntahiya bittamlik;
c. transaksi jual beli dalam bentuk piutang murabahah, salam, dan istishna’;
d. transaksi pinjam meminjam dalam bentuk piutang qardh; dan
e. transaksi sewa-menyewa jasa dalam bentuk ijarah untuk transaksi multijasa,
berdasarkan persetujuan atau kesepakatan antara Bank Syariah dan/atau Unit Usaha Syariah dan pihak lain yang mewajibkan pihak yang dibiayai dan/atau diberi fasilitas dana untuk mengembalikan dana tersebut setelah jangka waktu tertentu dengan imbalan ujrah, tanpa imbalan, atau bagi hasil sebagaimana dimaksud dalam UU 21/2008.
Mudharabah (Bagi Hasil) dan Wadi’ah (Penitipan)
Menurut Agus Triyanta dalam bukunya Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya Terhadap Prinsip-prinsip Islam (hal. 51), Mudharabah dan Wadi’ah adalah merupakan jenis kontrak atau akad muamalah dalam bisnis perbankan syariah.
Akad adalah kesepakatan tertulis antara Bank Syariah atau Unit Usaha Syariah (“UUS”) dan pihak lain yang memuat adanya hak dan kewajiban bagi masing-masing pihak sesuai dengan Prinsip Syariah.[8]
Lebih lanjut Agus Triyanta (hal. 51) menjelaskan bahwa Wadi’ah atau ida’ secara harfiah berarti titipan. Hal ini telah didefinisikan oleh para ahli hukum sebagai sebuah kontrak dimana seseorang memberikan properti kepada pihak lain untuk dijaga/dipelihara.
Kemudian yang dimaksud dengan “akad wadi’ah” adalah akad penitipan barang atau uang antara pihak yang mempunyai barang atau uang dan pihak yang diberi kepercayaan dengan tujuan untuk menjaga keselamatan, keamanan, serta keutuhan barang atau uang.[9]
Mudharabah adalah perjanjian perkongsian yang samar. Artinya, meski tidak bernama perkongsian, namun hakikatnya juga perkongsian. Definisi dari mudharabah adalah sebuah kontrak dimana sang pemilik modal memberikan modal kepada seorang pengelola untuk menjalankan perniagaan atas nama mereka berdua dan keuntungan dibagi berdasarkan kepada sebuah formula tertentu yang disepakati.[10]
Menjawab pertanyaan Anda, pada dasarnya Bank Syariah melakukan kegiatan usahanya berasaskan Prinsip Syariah. Prinsip Perbankan Syariah merupakan bagian dari ajaran Islam yang berkaitan dengan ekonomi yang menggunakan antara lain prinsip bagi hasil (mudharabah) dan dilarang adanya unsur riba. Mengenai perbankan syariah sendiri di Indonesia secara umum diatur dalam UU 10/1998 dan UU 21/2008.
Kemudian, Mudharabah dan Wadi’ah adalah jenis dari kontrak atau akad muamalah dalam bisnis perbankan syariah yang merupakan bagian dari ajaran Islam di bidang ekonomi. Meskipun Mudharabah dan Wadi’ah berasal dari ajaran Hukum Islam, tetapi pengaturannya sudah ada dalam peraturan perundang-undangan tentang perbankan syariah.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
1. Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan sebagaimana diubah dengan Undang-Undang Nomor 10 Tahun 1998 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 7 Tahun 1992 tentang Perbankan;
2. Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2008 tentang Perbankan Syariah;
3. Peraturan Bank Indonesia Nomor 9/19/PBI/2007 Tahun 2007 tentang Pelaksanaan Prinsip Syariah Dalam Kegiatan Penghimpunan Dana dan Penyaluran Dana Serta Pelayanan Jasa Bank Syariah sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Bank Indonesia Nomor 10/16/PBI/2008 Tahun 2008.
Referensi:
Agus Triyanta. 2016. Hukum Perbankan Syariah: Regulasi, Implementasi dan Formulasi Kepatuhannya Terhadap Prinsip-prinsip Islam. Malang: Setara Press.
[1] Pasal 1 angka 1 UU 21/2008
[2] Pasal 1 angka 7 UU21/2008 jo. Pasal 18 UU 21/2008
[3] Pasal 2 UU 21/2008
[4] Penjelasan Pasal 2 UU 21/2008
[5] Pasal 1 angka 13 UU 10/1998
[6] Pasal 1 angka 12 UU 21/2008
[7] Penjelasan Pasal 2 UU 21/2008
[8] Pasal 1 angka 13 UU 21/2008
[9] Penjelasan Pasal 19 ayat (1) huruf a UU 21/2008
[10] Agus Triyanta, hal. 52-53
Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!
Butuh lebih banyak artikel?