Intisari :
Penggolongan Narkotika dapat dilihat dalam Lampiran I UU Narkotika yang telah diubah oleh Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (“Permenkes 20/2018”) bahwa tanaman ganja, semua tanaman genus genus cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis, termasuk ke dalam daftar narkotika golongan I. Mengenai sanksi pidana untuk pengguna ganja bagi diri sendiri sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I, diatur di Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun. Kemudian, berdasarkan hasil wawancara kami dengan Dr. Astutik, S.H., M.H. selaku dosen pengajar mata kuliah Hukum Pidana Napza di Universitas Airlangga, yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, beliau berpendapat sebagai berikut : Dalam UU Narkotika memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang asas strict liability, seperti juga KUHP tidak secara eksplisit merumuskan apa itu asas kesalahan dalam asas legalitas. Namun asas kesalahan pada dasarnya menjadi dasar pemidanaan terhadap seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana. Dalam UU Narkotika, hanya dirumuskan unsur tanpa hak atau melawan hukum, yang artinya jika pelaku menyalahgunakan atau memproduksi atau mengedarkan atau membawa atau memiliki, dan atau sebagainya, yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan UU Narkotika, maka pelaku sudah dianggap sengaja melanggar pasal-pasal dalam UU Narkotika. Dari pendapat tersebut dapat kami simpulkan bahwa UU Narkotika menganut doktrin strict liability namun tidak secara eksplisit disebutkan. Mengapa demikian, karena dalam UU Narkotika tidak disebutkan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur kesalahan dalam melakukan hal yang dilarang oleh UU Narkotika, melainkan seseorang dapat dipidana selama perbuatan yang dilakukan telah memenuhi unsur-unsur dalam rumusan suatu pasal dalam UU Narkotika. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Ganja Termasuk Narkotika Golongan I
Istilah Narkotika sendiri menurut UU Narkotika adalah zat atau obat yang berasal dari tanaman atau bukan tanaman, baik sintetis maupun semisintetis, yang dapat menyebabkan penurunan atau perubahan kesadaran, hilangnya rasa, mengurangi sampai menghilangkan rasa nyeri, dan dapat menimbulkan ketergantungan, yang dibedakan ke dalam golongan-golongan sebagaimana terlampir dalam UU Naroktika ini.
[1]
Narkotika digolongkan ke dalam:
[2]Narkotika Golongan I;
Narkotika Golongan II; dan
Narkotika Golongan III.
Penggolongan Narkotika dapat dilihat dalam Lampiran I UU Narkotika yang telah diubah oleh
Peraturan Menteri Kesehatan Nomor 20 Tahun 2018 tentang Perubahan Penggolongan Narkotika (“Permenkes 20/2018”) bahwa tanaman ganja, semua tanaman genus genus
cannabis dan semua bagian dari tanaman termasuk biji, buah, jerami, hasil olahan tanaman ganja atau bagian tanaman ganja termasuk damar ganja dan hasis, termasuk ke dalam daftar narkotika golongan I.
Narkotika Golongan I dilarang digunakan untuk kepentingan pelayanan kesehatan. Dalam jumlah terbatas, Narkotika Golongan I dapat digunakan untuk kepentingan pengembangan ilmu pengetahuan dan teknologi dan untuk reagensia diagnostik, serta reagensia laboratorium setelah mendapatkan persetujuan Menteri atas rekomendasi Kepala Badan Pengawas Obat dan Makanan.
[3]
Mengenai sanksi pidana untuk pengguna ganja bagi diri sendiri sebagai Penyalah Guna Narkotika Golongan I, diatur di Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika, dengan pidana penjara paling lama 4 (empat) tahun.
Namun apabila Penyalah Guna tersebut dapat dibuktikan atau terbukti sebagai korban penyalahgunaan Narkotika, Penyalah Guna tersebut wajib menjalani rehabilitasi medis dan rehabilitasi sosial.
[4]
Yang dimaksud dengan “korban penyalahgunaan Narkotika” adalah seseorang yang tidak sengaja menggunakan Narkotika karena dibujuk, diperdaya, ditipu, dipaksa, dan/atau diancam untuk menggunakan Narkotika.
[5]
Strict Liability dalam UU Narkotika
UU Narkotika menganut prinsip
strict liability (tanggung jawab mutlak), dimana pertanggungjawabannya secara mutlak jika memenuhi suatu unsur pidana dalam undang-undang. Adapun UU Narkotika diselenggarakan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar, serta salah satu tujuan UU Narkotika adalah mencegah, melindungi, dan menyelamatkan bangsa Indonesia dari penyalahgunaan Narkotika.
[6] Selain itu perlu juga diketahui bahwa UU Narkotika diselenggarakan berasaskan:
[7]Keadilan;
Pengayoman;
Kemanusiaan;
Ketertiban;
Perlindungan;
Keamanan;
Nilai-nilai Ilmiah; dan
Kepastian Hukum
Sebagaimana dijelaskan, bahwa doktrin strict liability melekat pada UU Narkotika, yang mengakibatkan jika terjadi screening oleh pihak Badan Narkotika Nasional (“BNN”) dan/atau Kepolisian terhadap seseorang yang meskipun menggunakan ganja di luar negeri (legal) namun ketika masuk ke Indonesia dan diketahui sebagai Penyalah Guna Narkotika, polisi berhak menangkap orang yang bersangkutan karena unsur-unsur sebagai Penyalah Guna sebagaimana diatur Pasal 127 ayat (1) huruf a UU Narkotika telah terpenuhi, karena pada dasarnya BNN dan/atau Polisi bertugas untuk memberantas Narkotika secara menyeluruh di Indonesia.
Namun, setiap tindakan pidana harus ada sanksinya yang dibuktikan dalam proses persidangan dan harus ada putusan hakim. Dalam memutus pidana narkotika terkait penyalahgunaan ganja, hakim wajib memberikan rehabilitasi medis dan sosial. Yang menarik dalam diskresi yang dimiliki hakim untuk memutus pidana terkait Penyalahgunaan ganja adalah terdapat pada Pasal 127 ayat (2) jo. Pasal 103 ayat (1) UU Narkotika, yang menyatakan bahwa Hakim yang memeriksa perkara Pecandu Narkotika memiliki alternatif antara:
[8]memutus untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata memutuskan bagi Pecandu Narkotika yang terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa putusan hakim tersebut merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan.
menetapkan untuk memerintahkan yang bersangkutan menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui rehabilitasi jika Pecandu Narkotika tersebut tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika.
Ketentuan ini menegaskan bahwa penggunaan kata menetapkan bagi Pecandu Narkotika yang tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika mengandung pengertian bahwa penetapan hakim tersebut bukan merupakan vonis (hukuman) bagi Pecandu Narkotika yang bersangkutan. Penetapan tersebut dimaksudkan untuk memberikan suatu penekanan bahwa Pecandu Narkotika tersebut walaupun tidak terbukti bersalah melakukan tindak pidana Narkotika, tetapi tetap wajib menjalani pengobatan dan perawatan.
Baik bersalah maupun tidak bersalah, Penyalah Guna Narkotika wajib menjalani pengobatan dan/atau perawatan melalui Rehabilitasi. Kata “memutus” dan “menetapkan” menjadi pemisah sekaligus penegasan bahwa suatu tindak pidana narkotika yang memenuhi unsur di dalam UU Narkotika hanya dapat diselesaikan melalui suatu proses peradilan.
Unsur Kesalahan dalam Pertanggungjawaban Pidana
Andi Hamzah dalam bukunya Asas-Asas Hukum Pidana (hal. 111), berpendapat Kesalahan dalam arti luas, meliputi:
Sengaja,
Kelalaian (culpa),
Dapat dipertanggungjawabkan
Dalam buku yang sama (hal. 111-112), Roeslan Saleh menyatakan bahwa dalam pengertian perbuatan pidana, tidak termasuk hal pertanggungjawaban pidana. Apakah orang yang telah melakukan perbuatan itu kemudian juga dipidana, tergantung pada soal apakah ia dalam melakukan perbuatan mempunyai kesalahan ataukah tidak.
Jadi, menurut pendapat Roeslan, kesalahan itu harus dibuktikan agar seseorang dapat mempertanggungjawabkan perbuatan pidana yang dilakukannya.
Diakses dari laman
Badan Pembinaan Hukum Nasional dalam Pengkajian Hukum tentang Penerapan Restorative Justice dalam Penyelesaian Tindak Pidana yang Dilakukan oleh Anak-Anak (hal. xli) , menurut Nigel Walker dalam bukunya
Sentencing in A Rational Society, dalam hukum pidana dikenal
teori retributif yang dibagi dalam dua golongan, yaitu:
Penganut teori retributif yang murni (the pure retributivist) yang berpendapat bahwa pidana harus cocok atau sepadan dengan kesalahan si pembuat; dan
Penganut teori retributif tidak murni (dengan modifikasi) yang dapat pula dibagi dalam:
Penganut teori retributif yang terbatas (the limiting retributivist) yang berpendapat: pidana tidak harus cocok/sepadan dengan kesalahan; hanya saja tidak boleh melebihi batas yang cocok/sepadan dengan kesalahan terdakwa.
Penganut teori retributif yang distributif (retribution in distribution), disingkat dengan sebutan teori “distributive” yang berpendapat: pidana janganlah dikenakan pada orang yang tidak bersalah, tetapi pidana juga tidak harus cocok/sepadan dan dibatasi oleh kesalahan. Prinsip “tiada pidana tanpa kesalahan” dihormati, tetapi dimungkinkan adanya pengecualian misalnya dalam hal “strict liability”.
Dengan Pendapat dari Nigel Walker mengenai teori retributif yang distributif tersebut, artinya tidak harus ada unsur kesalahan dalam suatu tindak pidana, atau juga dikenal dengan doktrin strict liability.
Kemudian, berdasarkan hasil wawancara kami dengan Dr. Astutik, S.H., M.H. selaku dosen pengajar mata kuliah Hukum Pidana Napza di Universitas Airlangga, yang juga menjabat sebagai Ketua Departemen Hukum Pidana di Fakultas Hukum Universitas Airlangga, beliau berpendapat sebagai berikut :
Asas Strict Liability diterapkan dengan alasan:
Menjamin dipatuhinya peraturan penting untuk kesejahteraan sosial;
Pembuktian mens rea sangat sulit terkait pelanggaran yang berhubungan dengan kesejahteraan sosial;
Tingginya tingkat bahaya sosial yang ditimbulkan oleh perbuatan tersebut.
Dalam UU Narkotika memang tidak disebutkan secara eksplisit tentang asas strict liability, seperti juga KUHP tidak secara eksplisit merumuskan apa itu asas kesalahan dalam asas legalitas. Namun asas kesalahan pada dasarnya menjadi dasar pemidanaan terhadap seseorang yang telah terbukti melakukan tindak pidana.
Dalam UU Narkotika, hanya dirumuskan unsur tanpa hak atau melawan hukum, yang artinya jika pelaku menyalahgunakan atau memproduksi atau mengedarkan atau membawa atau memiliki, dan atau sebagainya, yang tidak sesuai dengan prosedur yang telah ditetapkan UU Narkotika, maka pelaku sudah dianggap sengaja melanggar pasal-pasal dalam UU Narkotika.
Jika menggunakan asas kesalahan seperti didalam KUHP, maka akan sangat sulit menuntut pelaku, apalagi tidak mudah membuktikan unsur mens rea yang berbentuk kealpaan atau kesengajaan, dan saya kira rumusan UU Narkotika sudah cukup jelas, sipapun yang tidak punya hak maka tidak boleh menggunakan, menyimpan, mengedarkan, atau bahkan memproduksi Narkotika
Dari pendapat tersebut dapat kami simpulkan bahwa UU Narkotika menganut doktrin strict liability namun tidak secara eksplisit disebutkan. Mengapa demikian, karena dalam UU Narkotika tidak disebutkan bahwa seseorang hanya dapat dipidana apabila telah memenuhi unsur kesalahan dalam melakukan hal yang dilarang oleh UU Narkotika, melainkan seseorang dapat dipidana selama perbuatan yang dilakukan telah memenuhi unsur-unsur dalam rumusan suatu pasal dalam UU Narkotika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum :
Referensi :
Andi Hamzah. Asas-Asas Hukum Pidana. Jakarta: Rineka Cipta, 2014.
Nigel Walker. Sentencing in a Rational Society. New York: Basic Books, Inc., Publisher, 1971.
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Dr. Astutik, S.H., M.H. via WhatsApp pada 24 Agustus 2018 pukul 11.11 WIB.
[1] Pasal 1 angka 1 UU Narkotika
[2] Pasal 6 ayat (1) UU Narkotika
[4] Pasal 127 ayat (3) UU Narkotika
[5] Penjelasan Pasal 54 UU Narkotika
[7] Pasal 2 jo. Pasal 3 UU Narkotika
[8] Pasal 103 ayat (1) UU Narkotika dan penjelasannya