Intisari:
Dissenting opinion itu adalah pendapat berbeda dari mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Pendapat berbeda hakim tersebut wajib dimuat dalam putusan. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan:
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Tentang Dissenting Opinion
Menurut Black Law Dictionary 9th Edition pengertian dissenting opinion adalah:
An opinion by one or more judges who disagree with the decision reached by the majority. -- Often shortened to dissent. -- Also termed minority opinion.
Yang jika diterjemahkan ke dalam Bahasa Indonesia berarti pendapat dari satu atau lebih hakim yang tidak setuju dengan keputusan yang dicapai oleh mayoritas.
Putusan diambil berdasarkan sidang permusyawaratan hakim yang bersifat rahasia.
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Ketentuan lebih lanjut mengenai sidang permusyawaratan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) dan ayat (3) diatur dalam Peraturan Mahkamah Agung.
…
…
Dalam sidang permusyawaratan, setiap hakim agung wajib menyampaikan pertimbangan atau pendapat tertulis terhadap perkara yang sedang diperiksa dan menjadi bagian yang tidak terpisahkan dari putusan.
Dalam hal sidang permusyawaratan tidak dapat dicapai mufakat bulat, pendapat hakim agung yang berbeda wajib dimuat dalam putusan.
Hal yang senada juga disampaikan oleh Mantan Hakim Agung Djoko Sarwoko dalam artikel yang berjudul
Dissenting Opinion di Mata Mantan Hakim Agung, secara konsep,
dissenting opinion adalah pendapat berbeda dari mayoritas. Semula
dissenting opinion dan
concurring opinion dikenal dalam sistem hukum negara common law. Sejak 2004, Indonesia mengadopsinya dalam UU Kekuasaan Kehakiman dan UU MA.
Dissenting opinion itu semenjak awal pertimbangannya sudah berbeda. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Kalau
concurring opinion, fakta hukumnya sama, pertimbangannya sama, tapi amar putusannya yang berbeda.
Lebih lanjut, Djoko Sarwoko menjelaskan, apabila dalam suatu perkara pidana yang dipegang lima majelis, dua hakim menyatakan terbukti dakwaan subsidair, satu primair, dan dua lainnya bebas, pendapat hakim yang menyatakan terbukti dakwaan primair termasuk dissenting opinion. Sebab, satu hakim menggunakan dakwaan berbeda. Sama halnya dalam perkara yang menggunakan dakwaan kesatu primair dan/atau kedua primair. Apabila dua hakim menyatakan terbukti dakwaan kesatu primair, satu hakim terbukti dakwaan kedua primair, dan dua hakim lainnya menyatakan bebas, maka satu hakim itu masuk kategori dissenting opinion.
Djoko menambahkan base statement dari sistem peradilan pidana kita adalah dakwaan. Kalau mengenai dakwaan sudah berbeda, artinya semenjak awal berbeda. Walau intinya sama-sama bersalah, ketika dalam menanggapi dakwaan sudah berbeda, itu masuk dissenting opinion karena berbeda dakwaannya. Sekalipun ada tiga dissenting opinion, majelis tetap dapat mengambil keputusan. Jangan sampai dissenting opinion menghalangi pengambilan keputusan. Dalam mekanisme yang berlaku di Mahkamah Agung misalnya, hakim agung dapat ditambah apabila perkara tidak dapat diputus karena ada dissenting opinion.
Jadi menjawab pertanyaan Anda, dissenting opinion itu adalah pendapat berbeda dari mayoritas atau pendapat hakim yang berbeda dalam suatu putusan. Mulai dari fakta hukum, pertimbangan hukum, sampai amar putusannya berbeda. Pendapat berbeda hakim tersebut wajib dimuat dalam putusan.
Contoh Putusan Dissenting Opinion
Sebagai contoh dapat kita lihat dalam
Putusan Pengadilan Negeri Bulukumba Nomor 150/ Pid.B/2013/PN.BLK, yang menyatakan bahwa terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “penipuan sebagai perbuatan berlanjut”. Kemudian majelis hakim menjatuhkan pidana kepada terdakwa dengan pidana penjara selama 8 (delapan) bulan. Dalam pertimbangannya hakim berpendapat bahwa tindakan yang dilakukan terdakwa merupakan kejahatan yang masih mempunyai hubungan dengan perbuatan kejahatan sebelumnya yang telah dinyatakan terbukti dalam putusan pengadilan yang telah berkekuatan hukum tetap. Sehingga harus dipandang sebagai suatu perbuatan yang berlanjut bukan merupakan pengulangan atau pelanggaran asas
ne bis in idem. Terkait dengan hal tersebut dalam musyawarah majelis hakim terdapat
dissenting opinion mengenai penafsiran asas hukum
ne bis in idem dan hak keperdataan saksi korban oleh Hakim Anggota II Bambang Supriyono, S.H.
Contoh lain dapat kita lihat dalam
Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 21/PUU-XII/2014 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana mengenai tafsir bukti permulaan yang cukup dan penetapan tersangka sebagai objek praperadilan. Majelis hakim menyatakan frasa “bukti permulaan”, “bukti permulaan yang cukup”, dan “bukti yang cukup” dalam Pasal 1 angka 14, Pasal 17, dan Pasal 21 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) bertentangan dengan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”) dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai minimal dua alat bukti sesuai Pasal 184 KUHAP. Kemudian mengenai penetapan tersangka, majelis hakim menyatakan Pasal 77 huruf a KUHAP bertentangan dengan UUD 1945 dan tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat sepanjang tidak dimaknai termasuk penetapan tersangka, penggeledahan, dan penyitaan.
Putusan ini tidak diambil secara bulat karena ada dissenting opinion (pendapat berbeda) dan concurring opinion (alasan berbeda). Dari 9 (sembilan) hakim konstitusi, 3 (tiga) hakim konstitusi mengajukan dissenting opinion yakni I Gede Dewa Palguna, Muhammad Alim, dan Aswanto. Sementara 1 hakim kontitusi mengajukan concurring opinion yaitu Patrialis Akbar.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Referensi:
Blacks’s Law Dictionary 9th Edition.
[1] Pasal 45 ayat (7) dan (10) UU 24/2003