Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kewajiban Bayar Ganti Rugi karena Memutus Kontrak Pada Perusahaan Pailit

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Kewajiban Bayar Ganti Rugi karena Memutus Kontrak Pada Perusahaan Pailit

Kewajiban Bayar Ganti Rugi karena Memutus Kontrak Pada Perusahaan Pailit
Dr. MICHAEL HANS & Associates Dr. MICHAEL HANS & Associates
Dr. MICHAEL HANS & Associates
Bacaan 10 Menit
Kewajiban Bayar Ganti Rugi karena Memutus Kontrak Pada Perusahaan Pailit

PERTANYAAN

Saya menerima penalti karena memutuskan kontrak kerja dengan perusahaan, dan diberikan tenggat waktu untuk membayar penalti tersebut. Tapi ternyata sebelum tenggat waktu habis, perusahaan sudah pailit. Apa saya tetap harus membayar? Jika dibayar, apa uang itu menjadi uang pribadi pemimpin perusahaan?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kewajiban pekerja/buruh untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan tidak hapus karena perusahaan dalam keadaan pailit. Pembayaran ganti rugi tersebut dilakukan melalui kurator yang diangkat untuk mengurus dan membereskan harta pailit perusahaan. Lalu, pembayaran ganti rugi oleh pekerja/buruh akan dikumpulkan dan didistribusikan untuk membayar utang-utang perusahaan.

    Apa dasar hukumnya?

    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda baca ulasan di bawah ini.

     

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.

    Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran artikel dengan judul Membayar Ganti Rugi karena Memutus Kontrak Pada Perusahaan Pailit, yang dibuat oleh Dimas Hutomo, S.H., dan dipublikasikan pertama kali pada Selasa, 24 Juli 2018.

    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.

    Ketentuan Ganti Rugi dalam Hukum Ketenagakerjaan

    Pertama-tama, perlu diketahui bahwa dalam peraturan perundang-undangan, istilah penalti yang Anda maksud dikenal dengan istilah ganti rugi.

    Selanjutnya, pada dasarnya hubungan kerja dapat timbul berdasarkan Perjanjian Kerja Waktu Tertentu (“PKWT”) dan Perjanjian Kerja Waktu Tidak Tertentu (“PKWTT”).[1]

    Hubungan kerja berdasarkan PKWT dan PKWTT memiliki ketentuan hukum yang berbeda. PKWT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja dalam waktu tertentu atau untuk pekerjaan tertentu.[2] Sedangkan PKWTT adalah perjanjian kerja antara pekerja/buruh dengan pengusaha untuk mengadakan hubungan kerja yang bersifat tetap.[3] Oleh karena itu, perlu dipastikan terlebih dahulu apakah Anda merupakan pekerja/buruh berdasarkan PKWT atau PKWTT.

    Apabila hubungan kerja berdasarkan PKWT, maka ketentuan mengenai ganti rugi diatur dalam Pasal 62 UU Ketenagakerjaan sebagai berikut:

    Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 61 ayat (1), pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.

    Berdasarkan ketentuan tersebut maka pekerja ataupun perusahaan yang mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya masa kerja dalam PKWT wajib membayarkan ganti rugi kepada pihak lainnya. Besaran ganti rugi yang wajib dibayarkan adalah sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu PKWT.

    Berbeda halnya apabila hubungan kerja berdasarkan PKWTT, ketentuan mengenai ganti rugi dalam hubungan kerja berdasarkan PKWTT tidak diatur dalam UU Ketenagakerjaan dan perubahannya. Namun berdasarkan praktik kami, pekerja/buruh dan pengusaha dapat menyepakati pengaturan ganti rugi dalam hal pengakhiran hubungan kerja oleh kedua belah pihak, yang diatur di Perjanjian Kerja, Peraturan Perusahaan, atau Perjanjian Kerja Bersama.

    Sebagai informasi, isi perjanjian kerja tidak boleh bertentangan dengan syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata serta ketentuan dalam UU Ketenagakerjaan dan perubahannya. Selengkapnya mengenai syarat sah perjanjian kerja dapat Anda baca pada Bolehkah Menyepakati Penahanan Ijazah dalam Perjanjian Kerja?

    Pengertian Pailit dan Kepailitan

    Menurut Yuhelson dalam bukunya Hukum Kepailitan di Indonesia, pailit dapat diartikan sebagai suatu keadaan debitur dalam keadaan berhenti membayar utang karena tidak mampu (hal. 11). Namun, pailit memiliki pengertian berbeda dengan kepailitan.

    Berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 37/2004, kepailitan adalah sita umum atas semua kekayaan debitur pailit yang pengurusan dan pemberesannya dilakukan oleh kurator di bawah pengawasan Hakim Pengawas sebagaimana diatur dalam UU 37/2004.

    Definisi kepailitan tersebut sejalan dengan definisi kepailitan menurut Jerry Hoff yang menyatakan: [4]

    Kepailitan merupakan suatu sita secara umum menurut hukum yang meliputi seluruh kekayaan debitur. Kepailitan hanya meliputi kekayaan. Status pribadi seorang individu tidak akan dipengaruhi oleh kepailitan; ia tidak ditaruh di bawah pengampuan. Suatu perusahaan juga tetap ada setelah suatu putusan pernyataan kepailitan diucapkan. Selama proses kepailitan, tindakan terhadap harta kepailitan hanya dapat dilakukan oleh kurator, tetapi tindakan lain tetap merupakan wewenang organ korporat debitur.

    Kemudian, pada dasarnya kepailitan merupakan instrumen hukum yang mengatur lebih lanjut ketentuan Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata, yang berbunyi:

    Pasal 1131
    Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.

    Pasal 1132
    Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan

    Ketentuan Pasal 1131 jo. Pasal 1132 KUH Perdata merupakan bentuk normatif dari prinsip paritas creditorium dan prinsip pari passu pro rata parte. Prinsip paritas creditorium memiliki makna bahwa semua harta kekayaan debitur menjadi jaminan umum terhadap utang-utang debitur. Sedangkan prinsip pari passu pro rata parte memiliki makna bahwa harta kekayaan debitur yang digunakan untuk membayar utang-utang debitur kepada kreditur dengan berkeadilan bukan dengan pembagian sama rata, melainkan pembagian sesuai dengan proporsinya (pond-pond gewijs).[5]

    Lantas, apakah kewajiban ganti rugi pekerja/buruh kepada perusahaan hapus karena perusahaan dalam keadaan pailit? Berikut ulasannya.

    Pembayaran Ganti Rugi Kepada Perusahaan Pailit

    Menurut Sutan Remy Sjahdeini, dalam Pasal 21 UU 37/2004, kepailitan meliputi seluruh kekayaan debitur baik yang sudah ada pada saat pernyataan pailit diucapkan oleh Majelis Hakim Pengadilan Niaga serta segala sesuatu yang baru akan diperoleh oleh debitur selama berlangsungnya kepailitan (hal. 284).

    Sebagaimana telah kami jelaskan, ketentuan Pasal 21 UU 37/2004 tentang kepailitan merupakan pelaksanaan dari, dan oleh karena itu sejalan dengan Pasal 1131 KUH Perdata. Menurut hemat kami, oleh karena pailitnya perusahaan tersebut terjadi setelah Anda mengakhiri hubungan kerja, maka pailit di sini tidak menghapus kewajiban Anda untuk membayar ganti rugi tersebut.

    Selain itu, Pasal 1381 KUH Perdata telah mengatur secara limitatif mengenai cara hapusnya perikatan. Maka, hapusnya utang-utang si berutang (Anda) hanya dapat disebabkan oleh hal-hal yang diatur dalam  Pasal 1381 KUH Perdata, yaitu karena:

    1. pembayaran;
    2. penawaran pembayaran tunai, diikuti dengan penyimpanan atau penitipan;
    3. pembaruan utang;
    4. perjumpaan utang atau kompensasi;
    5. percampuran utang;
    6. pembebasan utang;
    7. musnahnya barang yang terutang;
    8. kebatalan atau pembatalan;
    9. berlakunya suatu syarat pembatalan; dan
    10. lewat waktu, yang akan diatur dalam suatu bab sendiri.

    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka kepailitan tidak menyebabkan hapusnya perikatan.

    Dari penjelasan di atas, dapat kami simpulkan bahwa kewajiban pembayaran ganti rugi oleh pekerja/buruh kepada perusahaan merupakan suatu perikatan yang timbul antara pekerja/buruh dengan perusahaan, sehingga kewajiban pekerja/buruh untuk membayar ganti rugi kepada perusahaan tidak hapus karena kepailitan. Apabila dikaitkan dengan pertanyaan Anda maka Anda tetap wajib membayarkan ganti rugi.

    Kepada Siapa Ganti Rugi oleh Pekerja/Buruh Dibayarkan?

    Pertama-tama, perlu dipahami terlebih dahulu mengenai pengertian harta pailit. Sebagaimana telah kami jelaskan, harta pailit meliputi seluruh kekayaan debitur pada saat putusan pernyataan pailit diucapkan serta  segala sesuatu yang diperoleh selama kepailitan.[6] Lalu, harta pailit dapat berupa barang tidak bergerak, barang tidak bergerak, ataupun barang bergerak tidak bertubuh (seperti kepemilikan atas piutang dan hak kekayaan intelektual).[7]

    Berdasarkan hal tersebut, maka kewajiban pembayaran ganti rugi pekerja/buruh kepada perusahaan dikategorikan sebagai piutang perusahaan dalam pailit sehingga termasuk dalam cakupan harta pailit.

    Selanjutnya, Pasal 24 ayat (1) UU 37/2004 mengatur bahwa debitur demi hukum kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus kekayaannya yang termasuk dalam harta pailit, sejak tanggal putusan pernyataan pailit diucapkan. Ketentuan tersebut dapat dimaknai bahwa sebagai akibat dari sita umum terhadap harta kekayaan debitur, maka debitur tidak lagi memiliki hak dalam menguasai dan mengurus harta pailit tersebut, namun masih tetap memiliki titel hak atas ganti rugi tersebut.

    Dalam konteks pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa di sini perusahaan yang bangkrut itu merupakan debitur yang telah dinyatakan pailit dengan putusan Pengadilan Niaga.[8] Yang mana, utang Anda merupakan piutang perusahaan yang menjadi harta pailit yang dibereskan oleh kurator.

    Jadi dalam hal ini, perusahaan tempat Anda bekerja kehilangan haknya untuk menguasai dan mengurus harta kekayaannya apabila telah ada putusan pernyataan pailit, namun ganti rugi oleh pekerja/buruh tetap merupakan hak milik dari perusahaan dalam pailit.

    Peran Kurator terhadap Harta Pailit

    Selanjutnya, berdasarkan Pasal 69 ayat (1) UU 37/2004, kewenangan pengurusan dan pemberesan harta pailit beralih menjadi kewenangan kurator.

    Adapun yang dimaksud dengan kurator adalah balai harta peninggalan atau orang perseorangan yang diangkat oleh pengadilan untuk mengurus dan membereskan harta debitur pailit di bawah pengawasan Hakim Pengawas sesuai dengan UU 37/2004.[9]

    Menurut Sutan Remy Sjahdeini, kurator adalah otoritas yang selanjutnya akan melakukan pengelolaan terhadap harta kekayaan debitur setelah dengan putusan pailit, debitur tidak memiliki kewenangan lagi untuk mengelola kekayaannya dan untuk harta kekayaan debitur telah berada dalam sita umum.[10]

    Sebagai informasi, kurator sendiri diangkat berdasarkan putusan pernyataan pailit sesuai ketentuan Pasal 15 ayat (1) UU 37/2004.

    Pembayaran Ganti Rugi oleh Pekerja/Buruh Digunakan Untuk Apa?

    Kepailitan memiliki tujuan untuk melakukan pembagian harta pailit kepada para krediturnya dengan melakukan sita umum terhadap seluruh harta debitur yang selanjutnya dibagikan kepada kreditur.[11] Oleh karenanya, semua harta pailit yang terkumpul melalui kurator akan didistribusikan untuk pembayaran utang debitur kepada kreditur-kreditur secara proporsional sesuai dengan jumlah utang dan kedudukan krediturnya. Hal ini sesuai dengan ketentuan Pasal 189 UU 37/2004 yang mewajibkan kurator untuk membuat daftar pembagian yang salah satunya memuat bagian yang wajib diterimakan kepada kreditur. 

    Jadi menjawab pertanyaan Anda, kewajiban pembayaran ganti rugi (penalti) yang Anda lakukan tidak serta merta hapus karena perusahaan tempat dahulu Anda kerja pailit, namun di sini ada pengurusan harta-harta milik debitur yang mana kepengurusannya diurus oleh kurator. Maka kurator-lah yang menerima uang ganti rugi yang Anda bayarkan, karena uang ganti rugi yang Anda bayarkan termasuk aset/harta dari perusahaan yang pailit tersebut untuk nantinya dapat digunakan membayar utang-utangnya.

    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.

    Dasar Hukum:

    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
    2. Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan;
    3. Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang;
    4. Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja yang telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2023;
    5. Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja.

    Referensi:

    1. Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Prenada Media, 2008
    2. Jerry Hoff. Undang-Undang Kepailitan di Indonesia (terjemahan Kartini Muljadi). Jakarta: Tatanusa, 2000
    3. Ricardo Simanjuntak. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Indonesia Teori dan Praktik. Jakarta: Kontan Publishing, 2023
    4. Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016
    5. Yuhelson. Hukum Kepailitan di Indonesia. Gorontalo: Ideas Publishing, 2019.

    [1] Pasal 81 angka 12 Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2022 tentang Cipta Kerja (“Perppu Cipta Kerja”) yang mengubah Pasal 56 ayat (1) Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”).

    [2] Pasal 1 angka 10 Peraturan Pemerintah Nomor 35 Tahun 2021 tentang Perjanjian Kerja Waktu Tertentu, Alih Daya, Waktu Kerja dan Waktu Istirahat, dan Pemutusan Hubungan Kerja (“PP 35/2021”).

    [3] Pasal 1 angka 11 PP 35/2021.

    [4] Jerry Hoff. Undang-Undang Kepailitan di Indonesia (terjemahan Kartini Muljadi). Jakarta: Tatanusa, 2000, hal. 13.

    [5] Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Prenada Media, 2008, hal. 28.

    [6] Pasal 21 Undang-Undang Nomor 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran Utang (“UU 37/2004”).

    [7] Ricardo Simanjuntak. Undang-Undang Kepailitan dan PKPU Indonesia Teori dan Praktik. Jakarta: Kontan Publishing, 2023, hal. 354.

    [8] Pasal 1 angka 4 UU 37/2004.

    [9] Pasal 1 angka 5 UU 37/2004.

    [10] Sutan Remy Sjahdeini. Sejarah, Asas, dan Teori Hukum Kepailitan Memahami Undang-Undang No. 37 Tahun 2004 tentang Kepailitan dan Penundaan Kewajiban Pembayaran. Jakarta: Prenadamedia Group, 2016, hal. 305.

    [11] Hadi Shubhan. Hukum Kepailitan: Prinsip, Norma, dan Praktik di Peradilan. Jakarta: Prenada Media, 2008, hal. 67.

    Tags

    ganti rugi
    ketenagakerjaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!