KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Apakah Orang Sakit Jiwa Berhak Memilih dalam Pemilu?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Apakah Orang Sakit Jiwa Berhak Memilih dalam Pemilu?

Apakah Orang Sakit Jiwa Berhak Memilih dalam Pemilu?
Sovia Hasanah, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Apakah Orang Sakit Jiwa Berhak Memilih dalam Pemilu?

PERTANYAAN

Apakah orang sakit jiwa atau orang yang memiliki mental illness dapat ikut memilih dalam Pemilu mendatang?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Orang yang mempunyai keterbatasan atau gangguan mental (sakit jiwa) termasuk kategori penyandang disabilitas mental. Orang tersebut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berada di bawah pengampuan. Namun terlepas dari itu, setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilu, termasuk penyandang disabilitas mental, seperti yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
     
    Selain itu, tidak ada peraturan yang di bidang penyelenggaraan pemilu yang melarang penyandang disabilitas mental untuk memilih. Bahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga telah mengatur tentang hak-hak politik penyandang disabilitas, antara lain yaitu memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Selama syarat untuk memilih dipenuhi, maka orang tersebut dapat ikut serta memilih dalam pemilu. Ada pendapat bahwa tidak semua orang sakit jiwa tidak memiliki kesadaran untuk memilih. Tentu dengan catatan ada kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk memilih.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari:
     
     
    Orang yang mempunyai keterbatasan atau gangguan mental (sakit jiwa) termasuk kategori penyandang disabilitas mental. Orang tersebut menurut Kitab Undang-Undang Hukum Perdata berada di bawah pengampuan. Namun terlepas dari itu, setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilu, termasuk penyandang disabilitas mental, seperti yang disebut dalam Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan bahwa Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
     
    Selain itu, tidak ada peraturan yang di bidang penyelenggaraan pemilu yang melarang penyandang disabilitas mental untuk memilih. Bahkan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas juga telah mengatur tentang hak-hak politik penyandang disabilitas, antara lain yaitu memilih dan dipilih dalam jabatan publik. Selama syarat untuk memilih dipenuhi, maka orang tersebut dapat ikut serta memilih dalam pemilu. Ada pendapat bahwa tidak semua orang sakit jiwa tidak memiliki kesadaran untuk memilih. Tentu dengan catatan ada kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk memilih.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Hak Memilih dalam Pemilu
    Pemilihan Umum (“Pemilu”) yang Anda maksud di sini adalah sarana kedaulatan rakyat untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat, anggota Dewan Perwakilan Daerah, Presiden dan Wakil Presiden, dan untuk memilih anggota Dewan Perwakilan Rakyat Daerah, yang dilaksanakan secara langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil dalam Negara Kesatuan Republik Indonesia berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) sebagaimana disebut dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 7 Tahun 2017 tentang Pemilihan Umum (“UU Pemilu”).
     
    Rakyat yang ikut serta dalam Pemilu disebut dengan pemilih. Pemilih adalah Warga Negara Indonesia yang sudah genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih, sudah kawin, atau sudah pernah kawin.[1]
     
    Syarat untuk bisa menjadi pemilih dalam Pemilu (yang mempunyai hak memilih) adalah:[2]
    1. Warga Negara Indonesia;
    2. Genap berumur 17 (tujuh belas) tahun atau lebih pada hari pemungutan suara; atau
    3. sudah kawin atau sudah pernah kawin.
     
    Warga Negara Indonesia didaftar 1 (satu) kali oleh Penyelenggara Pemilu dalam daftar Pemilih. Warga Negara Indonesia yang telah dicabut hak politiknya oleh pengadilan tidak mempunyai hak memilih.[3]
     
    Pemilih yang berhak mengikuti pemungutan suara di Tempat Pemungutan Suara (“TPS”) meliputi:[4]
    1. pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tetap di TPS yang bersangkutan;
    2. pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang terdaftar pada daftar pemilih tambahan;
    3. pemilik kartu tanda penduduk elektronik yang tidak terdaftar pada daftar pemilih tetap dan daftar pemilih tambahan; dan
    4. penduduk yang telah memiliki hak pilih.
     
    Gambaran Singkat Mengenai Orang Sakit Jiwa
    Menurut artikel Sakit Jiwa Ternyata Ada Banyak sebagaimana yang kami akses melalui laman Alodokter, platform informasi medis yang disediakan oleh tim dokter, mendefinisikan sakit jiwa adalah gangguan mental yang berdampak kepada mood, pola pikir, hingga tingkah laku secara umum. Seseorang disebut mengalami sakit jiwa, jika gejala yang dialami membuatnya tertekan dan tidak mampu melakukan aktivitas sehari-hari secara normal.
     
    Lebih lanjut dijelaskan, ciri-ciri orang yang mengalami sakit jiwa dapat berbeda-beda tergantung dari jenisnya. Namun pada umumnya, orang yang mengalami gangguan jiwa dapat dikenali dari beberapa gejala tertentu, seperti perubahan mood yang sangat drastis dari sangat sedih menjadi sangat gembira atau sebaliknya, merasa ketakutan yang secara berlebihan, menarik diri dari kehidupan sosial, kerap merasa sangat marah hingga suka melakukan kekerasan, serta mengalami delusional.
     
    Masih bersumber dari artikel yang sama, ada banyak kondisi kesehatan yang dapat dikategorikan sebagai sakit jiwa. Tiap kelompok dapat terbagi lagi menjadi jenis-jenis yang lebih spesifik sebagai contoh antara lain: gangguan kecemasan, gangguan kepribadian, gangguan psikologis, gangguan pasca-trauma, dan gangguan disosiatif.
     
    Sedangkan dari segi hukum, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2016 tentang Penyandang Disabilitas (“UU 8/2016”) orang yang mempunyai keterbatasan atau gangguan mental (sakit jiwa) merupakan termasuk kategori penyandang disabilitas mental.[5]
     
    Yang dimaksud dengan penyandang disabilitas menurut Pasal 1 angka 1 UU 8/2016 adalah setiap orang yang mengalami keterbatasan fisik, intelektual, mental, dan/atau sensorik dalam jangka waktu lama yang dalam berinteraksi dengan lingkungan dapat mengalami hambatan dan kesulitan untuk berpartisipasi secara penuh dan efektif dengan warga negara lainnya berdasarkan kesamaan hak.
     
    Kemudian yang dimaksud dengan “Penyandang Disabilitas Mental” adalah terganggunya fungsi pikir, emosi, dan perilaku, antara lain:[6]
    1. psikososial di antaranya skizofrenia, bipolar, depresi, anxietas, dan gangguan kepribadian; dan
    2. disabilitas perkembangan yang berpengaruh pada kemampuan interaksi sosial di antaranya autis dan hiperaktif.
     
    Berdasarkan Pasal 433 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”), orang sakit jiwa atau sakit otaknya dikatakan berada di bawah pengampuan, berikut bunyi pasalnya:
     
    Setiap orang dewasa, yang selalu berada dalam keadaan dungu, sakit otak atau mata gelap harus ditaruh di bawah pengampuan, pun jika ia kadang-kadang cakap mempergunakan pikirannya. Seseorang dewasa boleh juga ditaruh di bawah pengampuan karena keborosannya.
     
    Apakah Orang Sakit Jiwa Berhak Memilih di Pemilu?
    Lalu berkaitan dengan pertanyan Anda mengenai apakah penyandang disabilitas mental (sakit jiwa) berhak memilih di pemilu berdasarkan peraturan perundang-undangan yang mengatur proses penyelenggaraan pemilu? Berikut penjelasannya:
     
    Perlu dipahami bahwa UUD 1945 menjamin hak setiap orang atas pengakuan, jaminan, perlindungan, dan kepastian hukum yang adil serta perlakuan yang sama di hadapan hukum.[7]
     
    Selain itu Pasal 43 Undang-Undang Nomor 39 Tahun 1999 tentang Hak Asasi Manusia (“UU HAM”) mengatur hak warga negara untuk turut serta dalam pemerintahan, yakni:
     
    1. Setiap warga negara berhak untuk dipilih dan memilih dalam pemilihan umum berdasarkan persamaan hak melalui pemungutan suara yang langsung, umum, bebas, rahasia, jujur, dan adil sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
    2. Setiap warga negara berhak turut serta dalam pemerintahan dengan langsung atau dengan perantaraan wakil yang dipilihnya dengan bebas, menurut cara yang ditentukan dalam peraturan perundangundangan.
    3. Setiap warga negara dapat diangkat dalam setiap jabatan pemerintahan.
     
    Dari segi undang-undang lain, Pasal 148 Undang-Undang Nomor 36 Tahun 2009 tentang Kesehatan (“UU Kesehatan”) mengatur:
     
    1. Penderita gangguan jiwa mempunyai hak yang sama sebagai warga negara.
    2. Hak sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi persamaan perlakuan dalam setiap aspek kehidupan, kecuali peraturan perundang-undangan menyatakan lain.
     
    Selain itu sebagai seorang penyandang disabilitas mental, Pasal 13 UU 8/2016 juga mengatur hak-hak politik penyandang disabilitas antara lain:
    1. memilih dan dipilih dalam jabatan publik;
    2. menyalurkan aspirasi politik baik tertulis maupun lisan;
    3. memilih partai politik dan/atau individu yang menjadi peserta dalam pemilihan umum;
    4. membentuk, menjadi anggota, dan/atau pengurus organisasi masyarakat dan/atau partai politik;
    5. membentuk dan bergabung dalam organisasi Penyandang Disabilitas dan untuk mewakili Penyandang Disabilitas pada tingkat lokal, nasional, dan internasional;
    6. berperan serta secara aktif dalam sistem pemilihan umum pada semua tahap dan/atau bagian penyelenggaraannya;
    7. memperoleh Aksesibilitas pada sarana dan prasarana penyelenggaraan pemilihan umum, pemilihan gubernur, bupati/walikota, dan pemilihan kepala desa atau nama lain; dan
    8. memperoleh pendidikan politik.
     
    Bahkan Pemerintah dan Pemerintah Daerah wajib menjamin hak dan kesempatan bagi Penyandang Disabilitas untuk memilih dan dipilih.[8]
     
    Berkaitan dengan bolehkah penyandang disabilitas mental (orang sakit jiwa) memilih dalam pemilu, sepanjang penelusuran kami dalam peraturan perundang undangan di bidang pemilu, tidak ada larangan yang secara eksplisit yang mengatur larangan bagi penyandang disabilitas mental untuk ikut serta memilih dalam pemilu.
     
    Jadi dapat disimpulkan bahwa pada dasarnya setiap warga negara dijamin haknya untuk dipilih dan memilih dalam pemilu termasuk penyandang disabilitas mental.
     
    Penjelasan selengkapnya mengenai hak-hak politik penyandang disabilitas dapat Anda simak dalam artikel Hak-Hak Politik Penyandang Disabilitas.
     
    Hal senada juga disampaikan oleh Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas, yang berpendapat bahwa sakit jiwa atau mental illness dan mental retardation adalah kondisi dimana seseorang memiliki keterhambatan kecerdasaran atau kesadaran. Jika dilihat dalam penyelenggaran pemilu, fenomena pemilih dengan kondisi mental illness dan retardation itu menjadi diskursus menarik dalam perkembangan pemilu.
     
    Feri menambahkan bahwa perkembangan yang sama soal hak pilih juga terus terjadi. Zaman dulu di negara Eropa dan Amerika perempuan dibatasi hak pilihnya dan kemudian dengan adanya dinamika dalam proses pemilu, perempuan memiliki hak pilih. Kemudian pada tahun 1970 hingga 1990-an di Amerika dulu penyandang disabilitas juga dibatasi hak pilihnya dan sekarang penyandang disabilitas sudah memiliki hak untuk memilih.
     
    Lanjut menurut Feri, perkembangan hak pilih terus terjadi dan bukan tidak mungkin warga negara yang mengalami mental illness dan retardation dapat memperoleh hak pilihnya. Pada kondisi tertentu perlu dipahami bahwa tidak semua orang sakit jiwa tidak boleh memilih bahkan di Eropa ada orang sakit jiwa boleh memilih. Di luar konteks bahwa orang sakit jiwa ini merupakan orang yang di bawah pengampuan menurut hukum perdata, konstitusi sendiri pada dasarnya memberikan hak yang sama kepada orang yang memiliki penyakit jiwa untuk memilih. Bahkan dalam UU Pemilu sendiri tidak ada larangan yang secara eksplisit yang mengatur hal ini. Artinya orang sakit jiwa juga berhak menggunakan hak pilihnya. Tidak semua orang sakit jiwa tidak memiliki kesadaran untuk memilih. Tentu dengan catatan ada kondisi tertentu yang diperbolehkan untuk memilih.
     
    Dalam prosesnya, Feri mengharapkan ada kriteria khusus bagi pemilih yang memiliki ganguan mental (sakit jiwa) seperti harus memilih dalam kondisi saat sadar dan dengan kondisi yang jelas. Jangan sampai dengan adanya pemberian hak pilih pada warga negara kondisi tertentu akan ada peluang untuk melakukan kecurangan dalam pemilu. Kecurangan itu merugikan hak pilih orang yang memiliki gangguan jiwa tersebut karena dianggap mudah dicurangi.
     
    Tidak hanya itu, dalam artikel Hak Orang yang Mengalami Gangguan Jiwa dalam Pemilu, dijelaskan bahwa penyandang disabilitas mental adalah termasuk warga negara Indonesia (WNI) yang memiliki hak konstitusional yang sama. Ketua Perhimpunan Jiwa Sehat Indonesia, Yeni Rosa Damayanti mengatakan bahwa pemenuhan hak-hak penyandang disabilitas mental yang sudah diperjuangkan sejak lama dan bertahun-tahun.
     
    Masih dari sumber yang sama, advokasi dan pendekatan ke Komisi Pemilihan Umum (“KPU”) telah dilakukan untuk memastikan pemenuhan hak tersebut. Sebagai bagian dari keberhasilan perjuangan gerakan disabilitas ini, pada tahun 2014 KPU mulai mendaftarkan penyandang disabilitas mental sebagai pemilih dalam Pemilu tahun 2014. Selanjutnya, berdasarkan Surat No. 1401/PL.02.1-SD/01/KPU/XI/2018, KPU melakukan pendaftaran terhadap pemilih dengan disabilitas mental. Langkah KPU ini merupakan bentuk nyata dari realisasi jaminan hak politik yang setara bagi setiap warga negara sesuai dengan ketentuan dalam berbagai Undang-Undang termasuk UU 8/2016, UU Pemilu, serta Konvensi PBB tentang Hak-Hak Penyandang Disabilitas yang telah diratifikasi oleh Indonesia melalui Undang-Undang Nomor 19 Tahun 2011 tentang Pengesahan Convention on The Rights of Persons With Disabilities (Konvensi Mengenai Hak-Hak Penyandang Disabilitas).
     
    Koalisi Nasional Organisasi Disabilitas untuk implementasi UU 8/2016 mendorong KPU menyiapkan kebijakan tambahan yang mendukung penyandang disabilitas mental untuk ikut menggunakan hak pilihnya lewat koordinasi dengan Kementerian Sosial, Kementerian Kesehatan dan Pemerintah Daerah untuk memberikan dukungan dan fasilitas yang dibutuhkan, agar para penyandang disabilitas mental yang didaftar dapat menggunakan hak memilihnya pada saat hari pencoblosan.
     
    Selain itu, KPU diminta tidak menggunakan surat keterangan dokter sebagai syarat bagi siapapun pemilih untuk menggunakan hak pilihnya, termasuk penyandang disabilitas mental, berdasarkan alasan-alasan yang telah disebut diatas. Terakhir, KPU agar selalu melakukan sosialisasi dan edukasi kepada masyarakat, tim sukses para calon Presiden dan Wakil Presiden, Partai Politik peserta Pemilu 2019, internal KPU, KPU Daerah (KPUD) dan penyelenggara Pemilu lainnya terkait dengan hak politik penyandang disabilitas, khususnya penyandang disabilitas mental.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;
     
    Referensi:
    Sakit Jiwa Ternyata Ada Banyak, diakses pada Jumat, 23 November 2018, pukul 16.30 WIB.
     
    Catatan:
    Kami telah melakukan wawancara dengan Feri Amsari, Direktur Pusat Studi Konstitusi (PUSaKo) Fakultas Hukum Universitas Andalas via telepon pada 22 November 2018 pukul 15.15 WIB.
     
     
     
     
     
     
     
     
     
     

    [1] Pasal 1 angka 34 UU Pemilu
    [2] Pasal 198 ayat (1) UU Pemilu
    [3] Pasal 198 ayat (2) dan (3) UU Pemilu
    [4] Pasal 348 ayat (1) UU Pemilu
    [5] Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016
    [6] Penjelasan Pasal 4 ayat (1) huruf c UU 8/2016
    [7] Pasal 28D ayat (1) UUD 1945
    [8] Pasal 75 ayat (2) UU 8/2016

    Tags

    kesehatan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Tips Cicil Rumah dengan KPR Agar Terhindar Risiko Hukum

    2 Apr 2024
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!