Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Perlindungan Khusus Bagi Anak Pengidap HIV/AIDS

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Perlindungan Khusus Bagi Anak Pengidap HIV/AIDS

Perlindungan Khusus Bagi Anak Pengidap HIV/AIDS
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Perlindungan Khusus Bagi Anak Pengidap HIV/AIDS

PERTANYAAN

Seorang anak SD yang mengidap penyakit HIV/AIDS sehingga dikeluarkan oleh pihak sekolah, apakah hukum membenarkan hal tersebut? Sampai-sampai ia merasa kehilangan kepercayaan diri, minder dan tertekan, serta terguncang secara psikologis. Bukankah setiap orang berhak untuk pendidikan? Apa yang harus dilakukan pemerintah?

 

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Pada dasarnya setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan tanpa terkecuali, hak tersebut dijamin oleh konstitusi.
     
    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, antara lain yaitu untuk anak dengan HIV/AIDS dan anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis sebagaimana yang telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
     
    Untuk itu seharusnya perlakuan dari sekolah tidak serta merta langsung mengeluarkan anak penderita HIV. Hendaknya sekolah memberikan jalan keluar terhadap anak yang sakit tersebut agar tetap mendapatkan pendidikan dengan cara-cara yang baik tanpa mengurangi dan mencederai hak siswa.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

     
    Intisari :
     
     
    Pada dasarnya setiap warga negara berhak memperoleh pendidikan tanpa terkecuali, hak tersebut dijamin oleh konstitusi.
     
    Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak, antara lain yaitu untuk anak dengan HIV/AIDS dan anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis sebagaimana yang telah diatur dalam  Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak.
     
    Untuk itu seharusnya perlakuan dari sekolah tidak serta merta langsung mengeluarkan anak penderita HIV. Hendaknya sekolah memberikan jalan keluar terhadap anak yang sakit tersebut agar tetap mendapatkan pendidikan dengan cara-cara yang baik tanpa mengurangi dan mencederai hak siswa.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Hak Memperoleh Pendidikan
    Pendidikan menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2003 tentang Sistem Pendidikan Nasional (“UU SPN”) adalah usaha sadar dan terencana untuk mewujudkan suasana belajar dan proses pembelajaran agar peserta didik secara aktif mengembangkan potensi dirinya untuk memiliki kekuatan spiritual keagamaan, pengendalian diri, kepribadian, kecerdasan, akhlak mulia, serta keterampilan yang diperlukan dirinya, masyarakat, bangsa dan negara.
     
    Yang dimaksud dengan peserta didik adalah anggota masyarakat yang berusaha mengembangkan potensi diri melalui proses pembelajaran yang tersedia pada jalur, jenjang, dan jenis pendidikan tertentu.[1]
     
    Jenjang pendidikan yang dimaksud salah satunya adalah pendidikan formal, yaitu sebagai jalur pendidikan yang terstruktur dan berjenjang yang terdiri atas pendidikan dasar, pendidikan menengah, dan pendidikan tinggi.[2]
     
    Pasal 1 angka 2 UU SPN mengatur pendidikan nasional berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”) yang berakar pada nilai-nilai agama, kebudayaan nasional Indonesia dan tanggap terhadap tuntutan perubahan zaman.
     
    Pasal 28C ayat (1) UUD 1945 mengatur hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, yang berbunyi:
     
    Setiap orang berhak mengembangkan diri melalui pemenuhan kebutuhan dasarnya, berhak mendapat pendidikan dan memperoleh manfaat dari ilmu pengetahuan dan teknologi, seni dan budaya, demi meningkatkan kualitas hidupnya dan demi kesejahteraan umat manusia.
     
    Selain itu Pasal 31 ayat (1), (2), dan (3) UUD 1945 juga menjamin hak warga negara untuk memperoleh pendidikan, yakni:
     
    1. Setiap warga negara berhak mendapat pendidikan.
    2. Setiap warga negara wajib mengikuti pendidikan dasar dan pemerintah wajib membiayainya.
    3. Pemerintah mengusahakan dan menyelenggarakan satu sistem pendidikan nasional, yang meningkatkan keimanan dan ketakwaan serta ahlak mulia dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, yang diatur dengan undang-undang.
     
    Pendidikan nasional ini berfungsi mengembangkan kemampuan dan membentuk watak serta peradaban bangsa yang bermartabat dalam rangka mencerdaskan kehidupan bangsa, bertujuan untuk berkembangnya potensi peserta didik agar menjadi manusia yang beriman dan bertakwa kepada Tuhan Yang Maha Esa, berakhlak mulia, sehat, berilmu, cakap, kreatif, mandiri, dan menjadi warga negara yang demokratis serta bertanggung jawab.[3]
     
    Jadi berdasarkan penjelasan di atas, setiap warga negara tanpa terkecuali berhak untuk memperoleh pendidikan, hak tersebut bahkan dijamin oleh konstitusi.
     
    Apakah Sekolah yang Mengeluarkan Muridnya Termasuk Diskriminasi?
    Pada dasarnya pendidikan diselenggarakan secara demokratis dan berkeadilan serta tidak diskriminatif dengan menjunjung tinggi hak asasi manusia, nilai keagamaan, nilai kultural, dan kemajemukan bangsa.[4]
     
    Selain itu setiap warga negara mempunyai hak yang sama untuk memperoleh pendidikan yang bermutu.[5]
     
    Hak yang sama dalam pendidikan ini tidak terbatas kepada kondisi-kondisi jasmani dan rohani seorang siswa. Justru UU SPN memberikan kekhususan untuk masyarakat dengan kondisi sebagai berikut:
    1. Warga negara yang memiliki kelainan fisik, emosional, mental, intelektual, dan/atau sosial berhak memperoleh pendidikan khusus.[6]
    2. Warga negara di daerah terpencil atau terbelakang serta masyarakat adat yang terpencil berhak memperoleh pendidikan layanan khusus.[7]
    3. Warga negara yang memiliki potensi kecerdasan dan bakat istimewa berhak memperoleh pendidikan khusus.[8]
     
    Hal tersebut dilakukan karena setiap warga negara berhak mendapat kesempatan meningkatkan pendidikan sepanjang hayat.[9]
     
    Berkaitan dengan tindakan sekolah yang mengeluarkan anak yang mengidap HIV /AIDS dari sekolah dan dikaitkan dengan hak warga negara untuk memperoleh pendidikan yang berkeadilan serta tanpa diskirminatif, maka menurut hemat kami sekolah tersebut telah melakukan tindakan diskriminatif terhadap anak yang mengidap HIV.
     
    Diskriminatif menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia yang kami akses melalui Badan Pengembangan dan Pembinaan Bahasa, Kementerian Pendidikan dan Kebudayaan Republik Indonesia adalah:
     
    bersifat diskriminasi (membeda-bedakan)
     
    Sedangkan yang dimaksud dengan diskriminasi menurut Kamus Besar Bahasa Indonesia adalah:
     
    pembedaan perlakuan terhadap sesama warga negara (berdasarkan warna kulit, golongan, suku, ekonomi, agama, dan sebagainya)
     
    Kekerasan di Lingkungan Pendidikan
    Seperti yang kami jelaskan di atas, tindakan sekolah yang mengeluarkan anak yang menderita HIV/AIDS adalah tindakan diskriminatif di bidang pendidikan. Lalu, bagaimana perasaan minder dan tertekan, serta terguncang secara psikologis yang dialami anak akibat dikeluarkan dari sekolah tersebut? Apakah dapat dikatakan sebagai tindakan kekerasan dalam lingkungan pendidikan?
     
    Tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan menurut Peraturan Menteri Pendidikan dan Kebudayaan Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pencegahan dan Penanggulangan Tindak Kekerasan di Lingkungan Satuan Pendidikan (“Permendikbud 82/2015”), antara lain:[10]
    1. pelecehan merupakan tindakan kekerasan secara fisik, psikis atau daring;
    2. perundungan merupakan tindakan mengganggu, mengusik terus-menerus, atau menyusahkan;
    3. penganiayaan merupakan tindakan yang sewenang-wenang seperti penyiksaan dan penindasan;
    4. perkelahian merupakan tindakan dengan disertai adu kata-kata atau adu tenaga;
    5. perpeloncoan merupakan tindakan pengenalan dan penghayatan situasi lingkungan baru dengan mengendapkan (mengikis) tata pikiran yang dimiliki sebelumnya;
    6. pemerasan merupakan tindakan, perihal, cara, perbuatan memeras;
    7. pencabulan merupakan tindakan, proses, cara, perbuatan keji dan kotor, tidak senonoh, melanggar kesopanan dan kesusilaan;
    8. pemerkosaan merupakan tindakan, proses, perbuatan, cara menundukkan dengan kekerasan, memaksa dengan kekerasan, dan/atau menggagahi;
    9. tindak kekerasan atas dasar diskriminasi terhadap suku, agama, ras, dan/atau antargolongan (SARA) merupakan segala bentuk pembedaan, pengecualian, pembatasan, atau pemilihan berdasarkan pada SARA yang mengakibatkan pencabutan atau pengurangan pengakuan, perolehan, atau pelaksanaan atas hak asasi manusia dan kebebasan dasar dalam suatu kesetaraan;
    10. tindak kekerasan lainnya sebagaimana diatur dalam peraturan perundang-undangan.
     
    Menurut hemat kami, anak dengan pengidap HIV/AIDS yang dikeluarkan oleh sekolah dapat mengalami kekerasan psikis (sebagai akibat dari tindakan diskriminatif), dengan kata lain telah terjadi tindak kekerasan di lingkungan satuan pendidikan dan hal tersebut tidak dapat dibenarkan menurut hukum.
     
    Kekerasan menurut Pasal 1 angka 16 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah diubah oleh Undang-Undang Nomor 35 tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) dan diubah kedua kalinya dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana yang telah ditetapkan sebagai undang-undang dengan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang adalah:
     
    Kekerasan adalah setiap perbuatan terhadap Anak yang berakibat timbulnya kesengsaraan atau penderitaan secara fisik, psikis, seksual, dan/atau penelantaran, termasuk ancaman untuk melakukan perbuatan, pemaksaan, atau perampasan kemerdekaan secara melawan hukum.
     
    UU 35/2014 ternyata membedakan tindakan diskriminatif dan tindakan kekerasan psikis (dampak dari diskriminatif).Untuk itu siapapun dilarang melakukan tindakan diskriminatif dan tindakan kekerasan psikis, berikut pengaturan dan sanksinya:
     
    1. Tindakan diskriminatif
     
    Pasal 76A huruf a UU 35/2014
    Setiap orang dilarang memperlakukan Anak secara diskriminatif yang mengakibatkan Anak mengalami kerugian, baik materiil maupun moril sehingga menghambat fungsi sosialnya
     
    Jika melanggar ketentuan Pasak 76A huruf a UU 35/2014 maka dincam hukuman berdasarkan Pasal 77 UU 35/2014:
     
    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76A dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 (lima) tahun dan/atau denda paling banyak Rp100.000.000,00 (seratus juta rupiah).
     
    1. Tindakan kekerasan psikis
     
    Pasal 76C UU 35/2014
    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan Kekerasan terhadap Anak.
     
    Pasal 80 ayat (1) UU 35/2014
    Setiap Orang yang melanggar ketentuan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 76C, dipidana dengan pidana penjara paling lama 3 (tiga) tahun 6 (enam) bulan dan/atau denda paling banyak Rp72.000.000,00 (tujuh puluh dua juta rupiah).
     
    Perlindungan untuk Anak Pengidap HIV/AIDS
    Kemudian perlu diketahui bahwa Pemerintah, Pemerintah Daerah, dan lembaga negara lainnya berkewajiban dan bertanggung jawab untuk memberikan perlindungan khusus kepada anak sebagaimana diatur dalam Pasal 59 ayat (1) UU 35/2014.
     
    Perlindungan Khusus kepada Anak diberikan kepada:[11]
    1. Anak dalam situasi darurat;
    2. Anak yang berhadapan dengan hukum;
    3. Anak dari kelompok minoritas dan terisolasi;
    4. Anak yang dieksploitasi secara ekonomi dan/atau seksual;
    5. Anak yang menjadi korban penyalahgunaan narkotika, alkohol, psikotropika, dan zat adiktif lainnya;
    6. Anak yang menjadi korban pornografi;
    7. Anak dengan HIV/AIDS;
    8. Anak korban penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan;
    9. Anak korban Kekerasan fisik dan/atau psikis;
    10. Anak korban kejahatan seksual;
    11. Anak korban jaringan terorisme;
    12. Anak Penyandang Disabilitas;
    13. Anak korban perlakuan salah dan penelantaran
    14. Anak dengan perilaku sosial menyimpang; dan
    15. Anak yang menjadi korban stigmatisasi dari pelabelan terkait dengan kondisi Orang Tuanya.
     
    Itu artinya, terhadap anak dengan HIV/AIDS pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya bekerwajiban untuk memberikan perlindungan khusus, termasuk dari sikap diskriminatif yang mengakibatkan kekerasan psikis pada anak.
     
    Dari sisi psikologis tentang hubungan murid dengan sekolah, sebagaimana yang pernah dijelaskan oleh Anna Surti Ariani, S.Psi, M.Si, Psi., psikolog dari http://pranikah.org/ dan pendiri Pranikah Ade Novita, S.H., dalam artikel Menghadapi Guru yang Mengirim Surat Cinta menjelaskan antara lain bahwa rasa keberanian penting dimunculkan pada sisi anak itu sendiri. Ia perlu diyakinkan atau didukung, salah satunya oleh orang tua. Pilihan mediasi di sekolah patut dipertimbangkan selama masih bisa diselesaikan secara kekeluargaan.
     
    Untuk itu seharusnya sekolah tidak serta merta langsung mengeluarkan anak penderita HIV/AIDS, namun memberikan jalan keluar terhadap anak yang sakit tersebut agar tetap mendapatkan pendidikan dengan cara-cara yang baik tanpa mengurangi dan mencederai hak siswa.
     
    Jika sekolah tetap mengeluarkan anak dengan HIV/AIDS tersebut, maka dapat dikatakan sebagai tindakan kekerasan terhadap anak serta pelakukan dapat dipidana berdasarkan UU 35/2014.
     
    Di sini dibutuhkan juga peran pemerintah, pemerintah daerah, dan lembaga negara lainnya yang bertanggung jawab memberikan perlindungan khusus kepada anak yang menderita HIV/AIDS tersebut dengan cara diantaranya pengawasan, pencegahan, pengobatan, perawatan, dan rehabilitasi sebagaimana disebutkan dalam Pasal 67C UU 35/2014.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;

    [1] Pasal 1 angka 4 UU SPN
    [2] Pasal 1 angka 11 UU SPN
    [3] Pasal 3 UU SPN
    [4] Pasal 4 ayat (1) UU SPN
    [5] Pasal 5 ayat (1) UU SPN
    [6]  Pasal 5 ayat (2) UU SPN
    [7] Pasal 5 ayat (3) UU SPN
    [8] Pasal 5 ayat (4) UU SPN
    [9] Pasal 5 ayat (5) UU SPN
    [10] Pasal 6 Permendikbud 82/2015
    [11] Pasal 59 ayat (2) UU 35/2014

    Tags

    hukumonline
    diskriminasi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Begini Cara Hitung Upah Lembur Pada Hari Raya Keagamaan

    12 Apr 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!