KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Arti Notoire Feiten Notorious dalam Hukum Acara Pidana

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Arti Notoire Feiten Notorious dalam Hukum Acara Pidana

Arti <i>Notoire Feiten Notorious </i> dalam Hukum Acara Pidana
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Arti <i>Notoire Feiten Notorious </i> dalam Hukum Acara Pidana

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, apakah yang dimaksud dengan “hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan” dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

     
    Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan yang diatur pada Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana lazimnya disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known).
     
    Sebagai contoh, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, maka peminum akan mabuk.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     

    ULASAN LENGKAP

    Intisari :
     
     
    Hal yang secara umum diketahui tidak perlu dibuktikan yang diatur pada Pasal 184 ayat (2) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana lazimnya disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known).
     
    Sebagai contoh, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, maka peminum akan mabuk.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.
     
     
    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
    Mengenai alat bukti dalam Hukum Acara Pidana, diatur di Pasal 184 ayat (1) Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”), bunyinya:
     
    Alat bukti yang sah ialah:
    1. keterangan saksi[1];
    2. keterangan ahli;
    3. surat;
    4. petunjuk;
    5. keterangan terdakwa.
     
    Sebagaimana pernah dijelaskan dalam arikel Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?, Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19) berpendapat bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
     
    Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
     
    Arti Notoire Feiten
    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 184 ayat (2) KUHAP disebutkan:
     
    Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
     
    Penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
     
    Namun terkait dengan maksud Pasal 184 ayat (2) KUHAP tersebut, Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 276), menjelaskan bahwa lazimnya bunyi rumusan Pasal 184 ayat (2) ini selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
     
    Lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya (hal. 276), mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan” atau omstandigheiden atau circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal tersebut memang sudah demikian hal yang sebenaranya. Atau “sudah semestinya demikian”. Atau bisa juga berarti berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasar pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang pasti demikian.
     
    Contoh “Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan”
    Yahya (hal.276) juga menambahkan, banyak contoh sederhana dalam masalah ini. Umpamanya, api panas, adalah suatu kedaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang, dan lazimnya, umum sudah mengetahui, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, resultannya peminum akan mabuk. Dalam hal-hal seperti ini persidangan pengadilan tidak perlu lagi membuktikan, karena keadaan itu dianggap merupakan hal yang secara umum sudah diketahui.
     
    Selanjutnya Yahya menjelaskan bahwa dalam penerapan notoire feiten harus memperhatikan hal berikut:
    1. majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu “kenyataan” yang dapat dijadikan sebagai “fakta” tanpa membuktikan lagi;
    2. akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, “tidak bisa berdiri sendiri” membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal ini yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan “tertentu saja”. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
     
    Jadi secara sederhana, hal yang secara umum diketahui (notoire feiten) tidak perlu dibuktikan dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP hanya digunakan sebagai penilaian terhadap hal yang secara umum saja dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena notoire feiten tidak tergolong sebagai alat bukti.
     
    Yang terpenting seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.[2]
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana.
     
    Referensi:
    Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.
     

    [1] Berdasarkan Putusan Mahkamah Konstitusi Nomor 65/PUU-VIII/2010 tentang Pengujian Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana makna saksi telah diperluas menjadi sebagai berikut: Pasal 1 angka 26 KUHAP dan 27, Pasal 65, Pasal 116 ayat (3), (4), Pasal 184 ayat (1a) KUHAP bertentangan dengan Undang-Undang Dasar 1945 sepanjang tidak dimaknai termasuk pula “orang yang dapat memberikan keterangan dalam rangka penyidikan, penuntutan, dan peradilan suatu tindak pidana yang tidak selalu ia dengar sendiri, ia lihat sendiri dan ia alami sendiri”.
     
    [2] Pasal 183 KUHAP

    Tags

    acara peradilan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Simak! Ini 5 Langkah Merger PT

    22 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!