Intisari :
Sebagai contoh, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, maka peminum akan mabuk. Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini. |
Ulasan :
Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Alat Bukti dalam Hukum Acara Pidana
Alat bukti yang sah ialah:
keterangan ahli;
surat;
petunjuk;
keterangan terdakwa.
Sebagaimana pernah dijelaskan dalam arikel
Apa Perbedaan Alat Bukti dengan Barang Bukti?, Martiman Prodjohamidjojo dalam bukunya
Sistem Pembuktian dan Alat-alat Bukti (hal. 19) berpendapat bahwa dalam sistem pembuktian hukum acara pidana yang menganut stelsel
negatief wettelijk, hanya alat-alat bukti yang sah menurut undang-undang yang dapat dipergunakan untuk pembuktian.
Hal ini berarti bahwa di luar dari ketentuan tersebut tidak dapat dipergunakan sebagai alat bukti yang sah.
Arti Notoire Feiten
Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 184 ayat (2) KUHAP disebutkan:
Hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan.
Penjelasan Pasal 184 ayat (2) KUHAP tidak menjelaskan tentang apa yang dimaksud dengan “hal yang secara umum sudah diketahui tidak perlu dibuktikan”.
Namun terkait dengan maksud Pasal 184 ayat (2) KUHAP tersebut, Yahya Harahap dalam bukunya Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali (hal. 276), menjelaskan bahwa lazimnya bunyi rumusan Pasal 184 ayat (2) ini selalu disebut dengan istilah notoire feiten notorious (generally known) yang berarti setiap hal yang “sudah umum diketahui” tidak lagi perlu dibuktikan dalam pemeriksaan sidang pengadilan.
Lebih lanjut dijelaskan oleh Yahya (hal. 276), mengenai pengertian “hal yang secara umum sudah diketahui” ditinjau dari segi hukum, tiada lain daripada “perihal” atau “keadaan” atau omstandigheiden atau circumstance, yakni hal ikhwal atau peristiwa yang diketahui umum bahwa hal tersebut memang sudah demikian hal yang sebenaranya. Atau “sudah semestinya demikian”. Atau bisa juga berarti berupa perihal kenyataan dan pengalaman yang akan selamanya dan selalu akan mengakibatkan “resultan” atau kesimpulan yang demikian, yaitu kesimpulan yang didasarkan pengalaman umum ataupun berdasar pengalaman hakim sendiri bahwa setiap peristiwa dan keadaan yang seperti itu “senantiasa” menimbulkan akibat yang pasti demikian.
Contoh “Hal yang Secara Umum Sudah Diketahui Tidak Perlu Dibuktikan”
Yahya (hal.276) juga menambahkan, banyak contoh sederhana dalam masalah ini. Umpamanya, api panas, adalah suatu kedaan yang secara umum diketahui oleh setiap orang, dan lazimnya, umum sudah mengetahui, takaran minuman keras tertentu dapat memabukkan. Jika terjadi suatu persitiwa di mana seseorang meniminum minuman keras dalam takaran tertentu, resultannya peminum akan mabuk. Dalam hal-hal seperti ini persidangan pengadilan tidak perlu lagi membuktikan, karena keadaan itu dianggap merupakan hal yang secara umum sudah diketahui.
Selanjutnya Yahya menjelaskan bahwa dalam penerapan notoire feiten harus memperhatikan hal berikut:
majelis hakim dapat menarik dan mengambilnya sebagai suatu “kenyataan” yang dapat dijadikan sebagai “fakta” tanpa membuktikan lagi;
akan tetapi kenyataan yang diambil hakim dari notoire feiten, “tidak bisa berdiri sendiri” membuktikan kesalahan terdakwa. Tanpa dikuatkan oleh alat bukti yang lain, kenyataan yang ditarik dan diambil hakim dari notoire feiten “tidak cukup” membuktikan kesalahan yang didakwakan kepada terdakwa. Bukankah pada hakikatnya notoire feiten tidak tergolong alat-alat bukti yang diakui oleh Pasal 184 ayat (1) KUHAP. Hal ini yang secara umum sudah diketahui hanyalah merupakan penilaian terhadap sesuatu pengalaman dan kenyataan “tertentu saja”. Bukan sesuatu yang dapat membuktikan kesalahan terdakwa secara menyeluruh.
Jadi secara sederhana, hal yang secara umum diketahui (notoire feiten) tidak perlu dibuktikan dalam Pasal 184 ayat (2) KUHAP hanya digunakan sebagai penilaian terhadap hal yang secara umum saja dan tidak dapat dijadikan sebagai bukti untuk membuktikan kesalahan terdakwa karena notoire feiten tidak tergolong sebagai alat bukti.
Yang terpenting seorang hakim tidak boleh menjatuhkan pidana kepada seseorang kecuali apabila dengan sekurang-kurangnya dua alat bukti yang sah ia memperoleh keyakinan bahwa suatu tindak pidana benar-benar terjadi dan bahwa terdakwalah yang bersalah melakukannya.
[2]
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Yahya Harahap. 2010. Pembahasan Permasalahan dan Penerapan KUHAP: Pemeriksaan Sidang Pengadilan, Banding, Kasasi, dan Peninjauan Kembali. Jakarta: Sinar Grafika.