KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pertimbangan MA dan DPR dalam Pemberian Grasi, Rehabilitasi, Amnesti, dan Abolisi

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Pertimbangan MA dan DPR dalam Pemberian Grasi, Rehabilitasi, Amnesti, dan Abolisi

Pertimbangan MA dan DPR dalam Pemberian Grasi, Rehabilitasi, Amnesti, dan Abolisi
Iwan Rachmad Soetijono, S.H., M.H.Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Bacaan 10 Menit
Pertimbangan MA dan DPR dalam Pemberian Grasi, Rehabilitasi, Amnesti, dan Abolisi

PERTANYAAN

Mengapa memberi grasi dan rehabilitasi dengan pertimbangan MA sedangkan abolisi dan amnesti perlu pertimbangan dari DPR?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Adanya syarat Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) dalam memberikan grasi dan rehabilitasi adalah agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif.
     
    Sementara itu, kewenangan Presiden dalam membuat keputusan terkait dengan abolisi dan amnesti harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), hal ini bertujuan agar tidak ada penyalahgunaan. Pada dasarnya fungsi DPR di sini sebagai  pengontrol kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan check and balances antar lembaga negara. DPR sebagai representatif dari rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam mengambil kebijakan.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pemberian grasi, rehabilitasi, abolisi dan amnesti merupakan amanat dari Pasal 14 Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945 (“UUD 1945”), yang selengkapnya menyebutkan sebagai berikut:
     
    1. Presiden memberi grasi dan rehabilitasi dengan memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung.
    2. Presiden memberi amnesti dan abolisi dengan memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat.
     
    Grasi dan Rehabilitasi
    Terdapat ketentuan dalam Pasal 2 ayat (1) Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU Grasi”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 5 Tahun 2010 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 22 Tahun 2002 tentang Grasi (“UU 5/2010”) yang menyebutkan bahwa terhadap putusan pengadilan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap, terpidana dapat mengajukan grasi kepada Presiden. Upaya permohonan grasi hanya dibatasi sebanyak 1 (satu) kali saja dalam rangka mencari keadilan yang hakiki bagi nasib seseorang untuk terhindar dari sanksi berupa pidana mati, pidana penjara seumur hidup, atau pidana penjara paling rendah 2 (dua) tahun.[1]
     
    Adanya syarat Presiden harus memperhatikan pertimbangan Mahkamah Agung (“MA”) adalah agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif. Jadi setiap pemberian grasi harus memperhatikan pertimbangan MA karena grasi mengenai atau menyangkut putusan hakim. Presiden juga berhak untuk mengabulkan atau menolak grasi yang telah mendapatkan pertimbangan dari MA.[2] Grasi pada praktiknya diberikan atas dasar alasan kemanusiaan termasuk kesehatan, pembatasan setahun sejak inkracht dan hanya sekali, selain alasan kemanusiaan grasi juga dapat diberikan juga atas dasar pemohon sudah berkelakuan baik dan menjadi teladan bagi narapidana yang lain.
     
    Sementara itu, pengertian rehabilitasi menurut Pasal 1 angka 23 Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”) adalah sebagai berikut:
     
    Hak seseorang untuk mendapat pemulihan haknya dalam kemampuan, kedudukan dan harkat serta martabatnya yang diberikan pada tingkat penyidikan, penuntutan atau peradilan karena ditangkap, ditahan, dituntut ataupun diadili tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau karena kekeliruan mengenai orangnya atau hukum yang diterapkan menurut cara yang diatur dalam undang-undang ini.
     
    Rehabilitasi dapat diberikan kapan saja yang semata-mata bertujuan untuk keadilan. Seorang berhak memperoleh rehabilitasi apabila oleh pengadilan diputus bebas atau diputus lepas dari segala tuntutan hukum yang putusannya telah mempunyai kekuatan hukum tetap. Rehabilitasi tersebut diberikan dan dicantumkan sekaligus dalam putusan pengadilan.[3]
     
    Sementara itu, permintaan rehabilitasi oleh tersangka atas penangkapan atau penahanan tanpa alasan yang berdasarkan undang-undang atau kekeliruan mengenai orang atau hukum yang diterapkan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 95 ayat (1) KUHAP yang perkaranya tidak diajukan ke pengadilan negeri diputus oleh hakim praperadilan yang dimaksud dalam Pasal 77 KUHAP.[4]
     
    Sama seperti grasi, rehabilitasi pada intinya untuk kepentingan masyarakat dan untuk misi kemanusiaan, rehabilitasi juga diajukan kepada Presiden dengan memperhatikan pertimbangan MA agar terdapat check and balances antara eksekutif dan yudikatif.
     
    Amnesti dan Abolisi
    Pengertian amnesti menurut M. Marwan dan Jimmy P. dalam Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition (hal. 41) adalah:
     
    Pernyataan umum yang diterbitkan melalui atau dengan undang-undang tentang pencabutan semua akibat dari pemidanaan suatu perbuatan pidana tertentu atau satu kelompok perbuatan pidana.
     
    Abolisi menurut Marwan dan Jimmy dalam buku yang sama (hal. 10) adalah suatu hak untuk menghapuskan seluruh akibat dari penjatuhan putusan pengadilan atau menghapuskan tuntutan pidana kepada seorang terpidana, serta melakukan penghentian apabila putusan tersebut telah dijalankan.
     
    Dalam Pasal 4 Undang-Undang Darurat Nomor 11 Tahun 1954 tentang Amnesti dan Abolisi (“UU 11/1954”), menyebutkan bahwa akibat dari pemberian amnesti adalah semua akibat hukum pidana terhadap orang-orang yang diberikan amnesti dihapuskan. Sementara dengan pemberian abolisi, maka penuntutan terhadap orang-orang yang diberikan abolisi ditiadakan.
     
    Sebagaimana telah dijelaskan di awal bahwa kewenangan Presiden dalam membuat keputusan terkait dengan abolisi dan amnesti harus memperhatikan pertimbangan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), hal ini bertujuan agar tidak ada penyalahgunaan. Di dalam Pasal 71 huruf i Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU MD3”) disebutkan bahwa:
     
    DPR berwenang memberikan pertimbangan kepada Presiden dalam pemberian amnesti dan abolisi.
     
    Pada dasarnya fungsi DPR di sini sebagai  pengontrol kebijakan pemerintah dalam rangka mewujudkan check and balances antar lembaga negara. DPR sebagai representatif dari rakyat untuk mengawasi kinerja pemerintah dalam mengambil kebijakan. Dalam pelaksanaannya amnesti diberikan hanya pada orang-orang yang telah melakukan tindak pidana politik. Amnesti dapat diberikan kepada pelaku tindak pidana politik sebelum maupun sesudah dilakukan penyidikan ataupun sebelum maupun yang sudah mendapat putusan dari pengadilan.
     
    Simak juga artikel Amnesti, Rehabilitasi, Abolisi, dan Grasi.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Referensi:
    M. Marwan dan Jimmy P. 2009. Kamus Hukum: Dictionary of Law Complete Edition. Surabaya: Reality Publisher.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945;

    [1] Pasal 2 ayat (2) dan (3) UU 5/2010
    [2] Pasal 4 ayat (1) UU 5/2010
    [3] Pasal 97 ayat (1) dan ayat (2) KUHAP
    [4] Pasal 97 ayat (3) KUHAP

    Tags

    amnesti
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!