Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Aturan Upaya Pemanggilan Paksa oleh DPR

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Aturan Upaya Pemanggilan Paksa oleh DPR

Aturan Upaya Pemanggilan Paksa oleh DPR
Muhlisin, S.H.Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Pusat Pengkajian Pancasila dan Konstitusi (PUSKAPSI) FH Universitas Jember
Bacaan 10 Menit
Aturan Upaya Pemanggilan Paksa oleh DPR

PERTANYAAN

Saya ingin bertanya, apakah upaya pemanggilan paksa oleh DPR sesuai dengan Pasal 73 UU Nomor 2 Tahun 2018 tentang MD3 merupakan bentuk dari hak angket? Sekian dan terima kasih

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pemanggilan paksa yang terdapat dalam rumusan Pasal 73 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah bukan merupakan bentuk dari hak angket, dan sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena rumusan pasal tersebut sudah dibatalkan berdasarkan Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak dalam ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1) Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 17/2014”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 42/2014”) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 2/2018”)  jo. Pasal 4 ayat (1) Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib (“Peraturan DPR 1/2014”). Kemudian dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (1) UU 17/2014 jo. Pasal 164 ayat (1) Peraturan DPR 1/2014. Hal tersebut merupakan amanah dari Pasal 20A ayat (1) dan ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
     
    Terkait dengan pemanggilan paksa yang diatur dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018, nyatanya sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yakni Mahkamah Konstitusi (“MK”) menganggap ayat-ayat tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga ayat-ayat tersebut sudah dibatalkan berdasarkan Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Salah satu pertimbangan MK mengenai pasal tersebut bahwa rumusan dalam Pasal 73 tidak disebutkan secara tegas jenis rapat yang dimaksudkan dalam pasal a quo, sehingga tidak jelas identifikasi jenis rapat yang berkorelasi dan relevan atau tidak untuk menghadirkan seseorang dimintai keterangannya oleh DPR. Oleh karena itu dapat dimaknai seolah-olah dalam setiap kegiatan rapat, DPR dapat melakukan pemanggilan seseorang [3.12.1/5]. Kemudian pertimbangan berikutnya bahwa panggilan paksa dan penyanderaan pihak-pihak dalam persidangan DPR dapat dilakukan pada saat DPR sedang melakukan fungsi pengawasan dengan hak angket. Hal ini jelas berbeda dengan norma Pasal 73 ayat (1) UU 2/2018 yang hakikatnya merupakan pemanggilan setiap orang dalam rapat DPR tanpa ada penegasan dalam konteks rapat apa pemanggilan tersebut dilakukan [3.12.1/8].  
     
    Pengertian hak angket sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket tersebut dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 199 UU 17/2014 yaitu hak angket tersebut harus diusulkan setidak-tidaknya oleh 25 orang anggota dan lebih dari satu fraksi yang disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:
    1. materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
    2. memuat alasan penyelidikan.
     
    Usul tersebut menjadi hak angket DPR jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.[1] Mengenai aturan lebih rinci lagi dapat dilihat pada Pasal 200, 201, 202, dan 203 UU 17/2014.
     
    Terkait dengan pemanggilan paksa yang berhubungan dengan hak angket, diatur dalam Pasal 204 UU 2/2018 yang mengatur sebagai berikut:
     
    1. Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang  asing  yang  bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai  keterangan.
    2. Warga negara  Indonesia  dan/atau  orang  asing sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (1) wajib memenuhi  panggilan panitia  angket.
    3. Dalam hal warga  negara  Indonesia  dan/atau  orang asing sebagaimana dimaksud  pada ayat  (2)  tidak memenuhi panggilan  setelah  dipanggil  3 (tiga)  kali berturut-turut tanpa  alasan  yang  sah, panitia angket  dapat  memanggil  secara paksa  dengan bantuan  Kepolisian Negara  Republik  Indonesia.
    4. Bantuan  Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (3)  didasarkan atas permintaan  pimpinan DPR  kepada  Kepala Kepolisian Negara  Republik  Indonesia.
    5. Permintaan  Pimpinan  DPR sebagaimana  dimaksud pada  ayat (4) diajukan  secara  tertulis  kepada Kepala Kepolisian  Negara  Republik  Indonesia  yang paling  sedikit  memuat  dasar  dan  alasan pemanggilan  paksa  serta  nama  dan alamat  pihak yang  dipanggil  paksa.
    6. Kepala  Kepolisian  Negara Republik Indonesia memerintahkan  Kepala  Kepolisian  Daerah di tempat  domisili  yang  dipanggil paksa sebagaimana dimaksud pada  ayat (3).
    7. Dalam  hal  menjalankan panggilan  paksa sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (5)  dan  ayat (6), Kepolisian  Negara  Republik Indonesia  dapat menyandera  badan hukum dan/atau  warga masyarakat  paling  lama  15 (lima  belas)  Hari.
    8. Ketentuan  lebih  lanjut  mengenai pemanggilan paksa  sebagaimana  dimaksud  pada  ayat  (4)  dan penyanderaaan  sebagaimana  dimaksud  pada ayat (7) diatur  dengan  Peraturan  Kepolisian  Negara Republik  Indonesia.
     
    Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
    1. Pemanggilan paksa yang terdapat dalam rumusan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018 sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena sudah dibatalkan oleh MK dengan Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018.
    2. Dalam pelaksanaan hak angket, panitia angket tidak serta merta memanggil secara paksa, tetapi harus melalui mekanisme panggilan  3 (tiga)  kali berturut-turut dengan disertai alasan yang tidak sah. Pemanggilan paksa tersebut dilakukan dengan bantuan  Kepolisian Negara Republik  Indonesia.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;
     
    Putusan:
    Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018.

    [1] Pasal 199 ayat (3) UU 17/2014

    Tags

    parlemen
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!