Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) mempunyai fungsi legislasi, fungsi anggaran, dan fungsi pengawasan sebagaimana yang diatur dalam Pasal 69 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 17/2014”) sebagaimana telah diubah dengan
Undang-Undang Nomor 42 Tahun 2014 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 42/2014”) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan
Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2018 tentang Perubahan Kedua Atas Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2014 Tentang Majelis Permusyawaratan Rakyat, Dewan Perwakilan Rakyat, Dewan Perwakilan Daerah, dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (“UU 2/2018”) jo. Pasal 4 ayat (1)
Peraturan Dewan Perwakilan Rakyat Nomor 1 tahun 2014 tentang Tata Tertib (“Peraturan DPR 1/2014”). Kemudian dalam melaksanakan fungsinya, DPR mempunyai hak interplasi, hak angket, dan hak menyatakan pendapat sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (1) UU 17/2014 jo. Pasal 164 ayat (1) Peraturan DPR 1/2014. Hal tersebut merupakan amanah dari Pasal 20A ayat (1) dan ayat (2)
Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”).
Terkait dengan pemanggilan paksa yang diatur dalam Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018, nyatanya sudah tidak mempunyai kekuatan hukum mengikat. Yakni Mahkamah Konstitusi (“MK”) menganggap ayat-ayat tersebut bertentangan dengan UUD 1945 sehingga ayat-ayat tersebut sudah dibatalkan berdasarkan
Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018. Salah satu pertimbangan MK mengenai pasal tersebut bahwa rumusan dalam Pasal 73 tidak disebutkan secara tegas jenis rapat yang dimaksudkan dalam pasal
a quo, sehingga tidak jelas identifikasi jenis rapat yang berkorelasi dan relevan atau tidak untuk menghadirkan seseorang dimintai keterangannya oleh DPR. Oleh karena itu dapat dimaknai seolah-olah dalam setiap kegiatan rapat, DPR dapat melakukan pemanggilan seseorang [3.12.1/5]. Kemudian pertimbangan berikutnya bahwa panggilan paksa dan penyanderaan pihak-pihak dalam persidangan DPR dapat dilakukan pada saat DPR sedang melakukan fungsi pengawasan dengan hak angket. Hal ini jelas berbeda dengan norma Pasal 73 ayat (1) UU 2/2018 yang hakikatnya merupakan pemanggilan setiap orang dalam rapat DPR tanpa ada penegasan dalam konteks rapat apa pemanggilan tersebut dilakukan [3.12.1/8].
Pengertian hak angket sebagaimana yang diatur dalam Pasal 79 ayat (3) UU 17/2014 merupakan hak DPR untuk melakukan penyelidikan terhadap pelaksanaan suatu undang-undang dan/atau kebijakan Pemerintah yang berkaitan dengan hal penting, strategis, dan berdampak luas pada kehidupan bermasyarakat, berbangsa, dan bernegara yang diduga bertentangan dengan peraturan perundang-undangan. Hak angket tersebut dapat dilakukan sesuai dengan mekanisme yang diatur dalam Pasal 199 UU 17/2014 yaitu hak angket tersebut harus diusulkan setidak-tidaknya oleh 25 orang anggota dan lebih dari satu fraksi yang disertai dengan dokumen yang memuat paling sedikit:
materi kebijakan dan/atau pelaksanaan undang-undang yang akan diselidiki; dan
memuat alasan penyelidikan.
Usul tersebut menjadi hak angket DPR jika mendapat persetujuan dari rapat paripurna DPR yang dihadiri lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR dan keputusan diambil dengan persetujuan lebih dari 1/2 (satu per dua) jumlah anggota DPR yang hadir.
[1] Mengenai aturan lebih rinci lagi dapat dilihat pada Pasal 200, 201, 202, dan 203 UU 17/2014.
Terkait dengan pemanggilan paksa yang berhubungan dengan hak angket, diatur dalam Pasal 204 UU 2/2018 yang mengatur sebagai berikut:
Dalam melaksanakan tugasnya, panitia angket dapat memanggil warga negara Indonesia dan/atau orang asing yang bertempat tinggal di Indonesia untuk dimintai keterangan.
Warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) wajib memenuhi panggilan panitia angket.
Dalam hal warga negara Indonesia dan/atau orang asing sebagaimana dimaksud pada ayat (2) tidak memenuhi panggilan setelah dipanggil 3 (tiga) kali berturut-turut tanpa alasan yang sah, panitia angket dapat memanggil secara paksa dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia sebagaimana dimaksud pada ayat (3) didasarkan atas permintaan pimpinan DPR kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Permintaan Pimpinan DPR sebagaimana dimaksud pada ayat (4) diajukan secara tertulis kepada Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia yang paling sedikit memuat dasar dan alasan pemanggilan paksa serta nama dan alamat pihak yang dipanggil paksa.
Kepala Kepolisian Negara Republik Indonesia memerintahkan Kepala Kepolisian Daerah di tempat domisili yang dipanggil paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (3).
Dalam hal menjalankan panggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (5) dan ayat (6), Kepolisian Negara Republik Indonesia dapat menyandera badan hukum dan/atau warga masyarakat paling lama 15 (lima belas) Hari.
Ketentuan lebih lanjut mengenai pemanggilan paksa sebagaimana dimaksud pada ayat (4) dan penyanderaaan sebagaimana dimaksud pada ayat (7) diatur dengan Peraturan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Berdasarkan uraian diatas dapat disimpulkan sebagai berikut:
Pemanggilan paksa yang terdapat dalam rumusan Pasal 73 ayat (3), ayat (4), ayat (5), dan ayat (6) UU 2/2018 sudah tidak memiliki kekuatan hukum mengikat karena sudah dibatalkan oleh MK dengan Putusan MK Nomor 16/PUU-XVI/2018.
Dalam pelaksanaan hak angket, panitia angket tidak serta merta memanggil secara paksa, tetapi harus melalui mekanisme panggilan 3 (tiga) kali berturut-turut dengan disertai alasan yang tidak sah. Pemanggilan paksa tersebut dilakukan dengan bantuan Kepolisian Negara Republik Indonesia.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[1] Pasal 199 ayat (3) UU 17/2014