Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Sanksi “Membeli” Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Negeri

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Sanksi “Membeli” Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Negeri

Sanksi “Membeli” Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Negeri
Dimas Hutomo, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Sanksi “Membeli” Gelar Akademik pada Perguruan Tinggi Negeri

PERTANYAAN

Ada tetangga saya dengan berbangga diri menyebutkan bahwa dia “membeli” gelar doktor di salah satu Perguruan Tinggi Negeri. Apa bisa demikian secara hukum? Bisa kena sanksi tidak?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kami asumsikan, “membeli” yang Anda maksud ialah menyogok seseorang untuk mengeluarkan ijazah tanpa mengikuti atau menempuh program pendidikan doktor atau program doktor terapan. Jual beli ijazah tersebut akan batal demi hukum/tidak mempunyai kekuatan hukum sehingga jual beli dianggap tidak pernah terjadi.
     
    Tentu hal tersebut tidak dibenarkan oleh hukum (ilegal) dan termasuk tindak pidana. Maka dari itu, gelar doktornya dianggap tidak sah dan akan dicabut. Pelaku jual beli ijazah (orang yang membeli dan pihak perguruan tinggi) juga akan dikenakan sanksi pidana. Selain itu, terhadap perguruan tinggi akan dikenakan sanksi administratif.
     
    Lalu, apa sanksi pidana dan administratifnya? Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan :
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Program Doktor dan Program Doktor Terapan
    Gelar Doktor termasuk ke dalam gelar akademik yang diberikan oleh perguruan tinggi (“PT”) yang menyelenggarakan pendidikan akademik, hal ini sebagaimana disebutkan Pasal 26 ayat (1) dan (2) huruf c Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2012 tentang Pendidikan Tinggi (“UU 12/2012”).
     
    Program doktor adalah salah satu jenjang pendidikan yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi berdasarkan kebudayaan bangsa Indonesia.[1]
     
    Perguruan Tinggi adalah satuan pendidikan yang menyelenggarakan pendidikan tinggi, yang terdiri atas:[2]
    1. Perguruan Tinggi Negeri (“PTN”) adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh Pemerintah; dan
    2. Perguruan Tinggi Swasta (“PTS”) adalah Perguruan Tinggi yang didirikan dan/atau diselenggarakan oleh masyarakat.
    Bagaimana untuk mendapatkan gelar doktor? Tentunya harus menempuh program doktor yang dibagi dua jenisnya yaitu:
    1. Program Doktor
    Merupakan pendidikan akademik yang diperuntukkan bagi lulusan program magister atau sederajat sehingga mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi kepada pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program doktor ini untuk meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai filosof dan/atau intelektual, ilmuwan yang berbudaya dan menghasilkan dan/atau mengembangkan teori melalui Penelitian yang komprehensif dan akurat untuk memajukan peradaban manusia;[3] dan
    1. Program Doktor Terapan
    Merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister terapan atau sederajat untuk mampu menemukan, menciptakan, dan/atau memberikan kontribusi bagi penerapan, pengembangan, serta pengamalan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penalaran dan penelitian ilmiah. Program doktor terapan ini mengembangkan dan memantapkan mahasiswa untuk menjadi lebih bijaksana dengan meningkatkan meningkatkan kemampuan dan kemandirian sebagai ahli dan menghasilkan serta mengembangkan penerapan ilmu pengetahuan dan teknologi melalui penelitian yang komprehensif dan akurat dalam memajukan peradaban dan kesejahteraan manusia.[4]
     
    Jadi, kedua jenis program tersebut merupakan kelanjutan bagi lulusan program magister atau magister terapan terapan atau sederajat.
     
    Program doktor di atas wajib memiliki dosen yang berkualifikasi akademik lulusan program doktor atau yang sederajat.[5] Lulusan program doktor berhak menggunakan gelarnya setelah lulus perkuliahan. Untuk program doktor menggunakan gelar doktor, dan untuk program doktor terapan menggunakan gelar doktor terapan.[6]
     
    Gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi hanya digunakan oleh lulusan dari Perguruan Tinggi yang dinyatakan berhak memberikan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.[7]
     
    Sanksi Bagi Orang yang Memberikan dan Mendapatkan Gelar Doktor Ilegal
    Kami asumsikan, “membeli” yang Anda maksud ialah menyogok seseorang untuk mengeluarkan ijazah tanpa mengikuti atau menempuh program pendidikan doktor atau program doktor terapan sebagaimana mestinya.
     
    Ijazah diberikan kepada lulusan pendidikan akademik dan pendidikan vokasi (doktor dan doktor terapan) sebagai pengakuan terhadap prestasi belajar dan/atau penyelesaian suatu program studi terakreditasi yang diselenggarakan oleh perguruan tinggi. Ijazah tersebut diterbitkan oleh perguruan tinggi yang memuat program studi dan gelar yang berhak dipakai oleh lulusan pendidikan tinggi (dalam hal ini gelar doktor atau doktor terapan).[8]
     
    Perlu diketahui bahwa perseorangan, organisasi, atau penyelenggara pendidikan tinggi yang tanpa hak dilarang memberikan ijazah dan gelar akademik, gelar vokasi, atau gelar profesi.[9] Selain itu, perseorangan yang tanpa hak dilarang menggunakan gelar akademik, gelar vokasi, dan/atau gelar profesi.[10]
     
    Itu artinya, memberikan dan mendapatkan gelar doktor/ijazah dengan cara illegal atau tanpa hak (dalam hal ini termasuk ‘membeli’ gelar doktor) merupakan hal yang dilarang.
     
    Berkaitan perbuatan ‘membeli’ gelar doktor pada salah satu PTN, jual beli menurut Pasal 1457 Kitab Undang-Undang Perdata (“KUH Perdata”) adalah suatu perjanjian dengan mana pihak yang satu mengikatkan dirinya untuk menyerahkan suatu kebendaan dan pihak yang lain untuk membayar harga yang telah diperjanjikan.
     
    Pasal 1320 KUH Perdata mengatur bahwa syarat sah perjanjian adalah:
    1. Kesepakatan para pihak dalam perjanjian;
    2. Kecakapan para pihak dalam perjanjian;
    3. Suatu pokok persoalan tertentu;
    4. Suatu sebab yang tidak terlarang;
     
    Berdasarkan Pasal 1337 KUH Perdata, suatu sebab adalah terlarang, jika sebab itu dilarang oleh undang-undang atau bila sebab itu bertentangan dengan kesusilaan atau dengan ketertiban umum. Maka dari itu, menurut hemat kami jual beli ijazah tersebut merupakan suatu sebab yang terlarang dan oleh karena itu jual beli tersebut batal demi hukum/dianggap tidak mempunyai kekuatan hukum dan tidak pernah terjadi.[11]
     
    Jadi perbuatan jual beli gelar doktor/ijazah tersebut dapat dikatakan batal demi hukum. Ulasan selengkapnya mengenai jual beli silakan baca juga artikel Pembatalan Jual Beli.
     
    Selain itu, terhadap perbuatan tersebut (memberikan gelar doktor), maka gelar doktornya akan dinyatakan tidak sah dan dicabut oleh Menteri Pendidikan dan Kebudayaan.[12]
     
    Tidak hanya itu bagi PTN beserta orang yang tidak memiliki kewenangan dan kebijakan mengeluarkan atau mendapatkan ijazah/gelar secara illegal (tanpa hak) dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 10 (sepuluh) tahun dan/atau pidana denda paling banyak Rp 1 miliar.[13]
     
    PTN yang melakukan hal yang demikian dimungkinkan dapat dikenakan sanksi administratif berupa:[14]
    1. peringatan tertulis;
    2. penghentian sementara bantuan biaya Pendidikan dari Pemerintah;
    3. penghentian sementara kegiatan penyelenggaraan Pendidikan;
    4. penghentian pembinaan; dan/atau
    5. pencabutan izin.
     
    ‘Membeli’ Ijazah = Pemalsuan Surat?
    Tindakan ‘membeli’ gelar doktor yang Anda sebutkan tersebut menurut hemat kami juga dapat dikatakan sebagai tindakan memalsukan ijazah. Sebagaimana pernah dijelaskan dalam artikel Pemalsuan Ijazah 15 Tahun Lalu, Masih Bisakah Dituntut?, pemalsuan ijazah merupakan bentuk tindak pidana pemalsuan surat sebagaimana diatur dalam Pasal 263 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang memuat ancaman pidana berupa pidana penjara selama-lamanya enam tahun.
     
    Masih dari artikel yang sama, R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal.195) menjelaskan bahwa yang diartikan dengan surat dalam ketentuan tersebut adalah segala surat baik yang ditulis dengan tangan, dicetak, maupun ditulis memakai mesin tik dan lain-lainnya. Selain itu, surat yang dipalsu itu harus suatu surat yang:
      1. Dapat menerbitkan suatu hak (misalnya: ijazah, karcis tanda masuk, surat andil, dll);
      2. Dapat menerbitkan suatu perjanjian (misalnya: surat perjanjian piutang, perjanjian jual beli, perjanjian sewa, dsb);
      3. Dapat menerbitkan suatu pembebasan utang (kuitansi atau surat semacam itu); atau
      4. Suatu surat yang boleh dipergunakan sebagai suatu keterangan bagi sesuatu perbuatan atau peristiwa (misalnya: surat tanda kelahiran, buku tabungan pos, buku kas, buku harian kapal, surat angkutan, obligasi dan masih banyak lagi).
     
    Lebih lanjut menurut Soesilo, perbuatan yang diancam hukuman di sini adalah “membuat surat palsu” atau “memalsukan surat”. Dalam konteks pertanyaan Anda, perbuatan yang dimaksud adalah “membuat surat palsu”, yaitu membuat surat yang isinya bukan semestinya (tidak benar) atau membuat surat sedemikian rupa sehingga menunjukkan asal surat itu yang tidak benar.[15]
     
    Ada Indikasi Tindak Pidana Korupsi?
    Perbuatan menyogok dan menerima sogokan juga dapat dipidana. Kami asumsikan pemberian gelar doktor di PTN dilakukan oleh PNS (Pegawai Negeri Sipil). Jika demikian, maka terhadap PNS yang menerima pembayaran atas ‘pembelian’ ijazah dapat dipidana bersama-sama dengan orang yang “menyogok” sesuai Pasal 5 Undang-Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 Tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”).
     
    1.  
    2. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
      • memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
      • memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
    b. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
     
    Contoh Kasus
    Sebagai contoh kasus dapat kita lihat pada Putusan Pengadilan Negeri Bangil Nomor 368/Pid.B/2012/PN.Bgl di mana terdakwa telah bersalah membeli ijazah dan transkrip akademik S.1. UNMUH Malang dari Ali Makhrus dengan harga Rp 11 juta. Akibat perbuatannya itu, terdakwa dipidana berdasarkan Pasal 263 ayat (2) KUHP dengan pidana penjara selama 4 (empat) bulan.
     
    Menurut Majelis Hakim perbuatan terdakwa telah memenuhi semua unsur-unsur dari pasal 263 ayat (2) KUHP yang mengandung unsur-unsur sebagai berikut:
    1. Barang siapa;
    2. Dengan sengaja menggunakan surat palsu atau yang dipalsukan itu seolah-olah surat itu asli dan tidak dipalsukan, jika pemakaian surat itu dapat menimbulkan kerugian.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Perdata;
     
    Putusan:
    Putusan Pengadilan Negeri Bangil Nomor 368/Pid.B/2012/PN. Bgl diakses pada tanggal 23 April 2019, Pukul 14:41 WIB.
     
    Referensi:
    R. Soesilo. 1991. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia.
     

    [1] Lihat Pasal 1 angka 2 UU 12/2012
    [2] Lihat Pasal 1 angka 6, angka 7, dan angka 8 UU 12/2012
    [3] Pasal 20 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2012
    [4] Pasal 23 ayat (1) dan ayat (2) UU 12/2012
    [5] Pasal 20 ayat (3) dan Pasal 23 ayat (3) UU 12/2012
    [6] Pasal 20 ayat (4) dan Pasal 23 ayat (4) UU 12/2012
    [7] Pasal 28 ayat (1) UU 12/2012
    [8] Pasal 42 ayat (1) dan (2) UU 12/2012
    [9] Pasal 42 ayat (4) jo. Pasal 28 ayat (6) UU 12/2012
    [10] Pasal 28 ayat (7) UU 12/2012
    [11] Lihat 1335 KUH Perdata
    [12] Pasal 28 ayat (3) huruf b UU 12/2012
    [13] Pasal 28 ayat (6) dan ayat (7) jo. Pasal 93 UU 12/2012
    [14] Pasal 92 ayat (1) dan ayat (2) jo. Pasal 28 ayat (3) huruf b , ayat (6), dan ayat (7) UU 12/2012
    [15] R. Soesilo, hal. 195

    Tags

    pemalsuan dokumen
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!