Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Negara mengakui dan menghormati kesatuan-kesatuan masyarakat hukum adat beserta hak-hak tradisionalnya sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia, yang diatur dalam undang-undang.
Lebih lanjut, pengakuan tersebut diuraikan melalui
Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”). Di dalam UU Desa, wewenang desa adat untuk menyelesaikan permasalahan hukum warganya diakui oleh negara melalui Pasal 103 huruf d dan e UU Desa sebagai berikut:
Kewenangan Desa Adat berdasarkan hak asal usul sebagaimana dimaksud dalam Pasal 19 huruf a meliputi:
pengaturan dan pelaksanaan pemerintahan berdasarkan susunan asli;
pengaturan dan pengurusan ulayat atau wilayah adat;
pelestarian nilai sosial budaya Desa Adat;
penyelesaian sengketa adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat dalam wilayah yang selaras dengan prinsip hak asasi manusia dengan mengutamakan penyelesaian secara musyawarah;
penyelenggaraan sidang perdamaian peradilan Desa Adat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
pemeliharaan ketenteraman dan ketertiban masyarakat Desa Adat berdasarkan hukum adat yang berlaku di Desa Adat; dan
pengembangan kehidupan hukum adat sesuai dengan kondisi sosial budaya masyarakat Desa Adat.
Di luar UU Desa, posisi keputusan-keputusan dari proses penyelesaian sengketa adat pun diakui sebagai salah satu sumber hukum bagi hakim. Pasal 5 ayat (1)
Undang-Undang Nomor 48 Tahun 2009 tentang Kekuasaan Kehakiman (“UU 48/2009”) menyatakan bahwa hakim dan hakim konstitusi wajib menggali, mengikuti, dan memahami nilai-nilai hukum dan rasa keadilan yang hidup dalam masyarakat. Ketentuan ini dimaksudkan agar putusan hakim dan hakim konstitusi sesuai dengan hukum dan rasa keadilan masyarakat.
[1]
Lebih jauh, putusan pengadilan selain harus memuat alasan dan dasar putusan, juga memuat pasal tertentu dari peraturan perundang-undangan yang bersangkutan atau
sumber hukum tak tertulis yang dijadikan dasar untuk mengadili.
[2]
Adapun secara struktural, pengadilan adat tidak terikat dalam hubungan hierarkis dengan badan-badan peradilan formal di Indonesia. UU 48/2009 tidak mengakui pengadilan adat sebagai salah satu bagian dari kekuasaan kehakiman di Indonesia. Kekuasaan kehakiman sendiri berdasarkan Pasal 1 angka 1 UU 48/2009 adalah:
Kekuasaan negara yang merdeka untuk menyelenggarakan peradilan guna menegakkan hukum dan keadilan berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, demi terselenggaranya Negara Hukum Republik Indonesia.
Pasal 18 UU 48/2009 kemudian membatasi bahwa kekuasaan kehakiman dilakukan oleh sebuah Mahkamah Agung dan badan peradilan yang berada di bawahnya dalam lingkungan peradilan umum, lingkungan peradilan agama, lingkungan peradilan militer, lingkungan peradilan tata usaha negara, dan oleh sebuah Mahkamah Konstitusi.
Dalam hal ini, posisi peradilan adat dapat dipersamakan sebagai salah satu bentuk lembaga alternatif penyelesaian sengketa, yang diatur dalam
Undang-Undang Nomor 30 Tahun 1999 tentang Arbitrase dan Alternatif Penyelesaian Sengketa (“UU 30/1999”). Alternatif penyelesaian sengketa adalah lembaga penyelesaian sengketa atau beda pendapat melalui prosedur yang disepakati para pihak, yakni penyelesaian di luar pengadilan dengan cara konsultasi, negosiasi, mediasi, konsiliasi, atau penilaian ahli.
[3]
Kedudukan Keputusan Pengadilan Adat
Karena sejak semula berfungsi sebagai sumber hukum dan tidak terikat hubungan struktural, pada dasarnya tidak ada kewajiban bagi seorang hakim untuk mematuhi keputusan pengadilan adat. Hal ini sebagaimana diuraikan Tody Sasmitha Jiwa Utama dan Sandra Dini Febri Aristya dalam jurnal Mimbar Hukum - Fakultas Hukum Universitas Gadjah Mada berjudul
Kajian tentang Relevansi Peradilan Adat terhadap Sistem Peradilan Perdata Indonesia (hal. 65), keduanya menjelaskan bahwa terdapat hubungan fungsional tak mengikat antara pengadilan negara dengan keputusan peradilan adat, yang mana dalam hal ini pengadilan negara mengakui kewenangan yang dimiliki peradilan adat/desa dalam menjatuhkan keputusan perdamaian meskipun keputusan itu tidak memiliki sifat yang mengikat bagi hakim.
Salah satu putusan yang dirujuk oleh penelitian tersebut adalah
Putusan Mahkamah Agung Nomor 436K/Sip/1970. Putusan tersebut melahirkan kaidah bahwa keputusan perdamaian melalui mekanisme adat tidak mengikat hakim pengadilan negeri dan hanya menjadi pedoman. Apabila terdapat alasan hukum yang kuat, hakim pengadilan negeri dapat menyimpangi keputusan perdamaian adat tersebut.
Dalam konteks hukum acara perdata, keputusan tertulis pengadilan adat dapat diajukan ke pengadilan sebagai alat bukti guna menyokong pertimbangan hakim. Pasal 164
Herzien Inlandsch Reglement (“HIR”) menyebut bahwa alat bukti di dalam peradilan perdata terdiri atas:
Surat;
Saksi;
Persangkaan-persangkaan;
Pengakuan; dan
Sumpah.
Dengan demikian, keputusan yang dituangkan secara tertulis tersebut dapat dipersamakan dengan surat. Surat berdasarkan Pasal 165 HIR adalah:
Suatu surat yang diperbuat demikian oleh atau di hadapan pegawai umum yang berkuasa untuk membuatnya menjadi bukti yang cukup bagi kedua belah pihak dan ahli warisnya dan sekalian orang yang mendapat hak daripadanya tentang segala hal yang disebut di dalam surat itu dan juga tentang yang ada dalam surat itu sebagai pemberitahuan sahaya, dalam hal terakhir ini hanya jika yang diberitahukan itu berhubungan langsung dengan perihal pada surat (akte) itu.
Selain sebagai alat bukti, terdapat pendapat ahli yang menyatakan bahwa keputusan pengadilan adat hanya perlu diajukan ke pengadilan negeri untuk mendapat pengakuan negara. Elfi Marzuni, sebagaimana dikutip Utama dan Aristya, dalam jurnal dengan judul sama seperti di atas (hal. 65) menyebut bahwa keputusan peradilan adat yang dituangkan dalam akta perdamaian dapat dikuatkan dengan putusan pengadilan, sehingga berkekuatan hukum tetap.
Untuk menjawab pertanyaan kedua Anda, dapat disimpulkan bahwa hakim dapat mengesampingkan keputusan pengadilan adat sepanjang terdapat alasan hukum yang kuat untuk mendukung putusannya.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar hukum:
Putusan:
Referensi:
[1] Penjelasan Pasal 5 ayat (1) UU 48/2009
[2] Pasal 50 ayat (1) UU 48/2009
[3] Pasal 1 angka 10 UU 30/1999