Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah Bank Mengeksekusi Objek Jaminan yang Telah Dijual?

Share
copy-paste Share Icon
Pertanahan & Properti

Bisakah Bank Mengeksekusi Objek Jaminan yang Telah Dijual?

Bisakah Bank Mengeksekusi Objek Jaminan yang Telah Dijual?
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah Bank Mengeksekusi Objek Jaminan yang Telah Dijual?

PERTANYAAN

A menjaminkan sebuah kompleks perumahan miliknya kepada Bank B untuk meminjam uang. Setelah dinyatakan sampai pada waktu yang ditentukan, A masih belum melunasi pinjamannya. Pada saat Bank B akan mengeksekusi objek jaminan, ternyata telah dijual A kepada C. Lalu pertanyaannya; 1. Bagaimana eksekusi terhadap objek jaminan yang telah dijual kepada pihak lain? 2. Apa perlindungan hukum yang diberikan untuk C?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Perumahan
    Sebelum membahas lebih jauh mengenai hukum jaminan, perlu kami uraikan terlebih dahulu tentang pengertian perumahan dan rumah. Pasal 1 angka 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2011 tentang Perumahan dan Kawasan Permukiman (“UU 1/2011”) mendefinisikan perumahan:
     
    Perumahan adalah kumpulan rumah sebagai bagian dari permukiman, baik perkotaan maupun perdesaan, yang dilengkapi dengan prasarana, sarana, dan utilitas umum sebagai hasil upaya pemenuhan rumah yang layak huni.
     
    Adapun pengertian rumah menurut Pasal 1 angka 7 UU 1/2011:
     
    Rumah adalah bangunan gedung yang berfungsi sebagai tempat tinggal yang layak huni, sarana pembinaan keluarga, cerminan harkat dan martabat penghuninya, serta aset bagi pemiliknya.
     
    Hak untuk menghuni rumah sendiri dapat berupa hak milik atau sewa/bukan dengan cara sewa.[1] Dalam kasus yang Anda hadapi, kami asumsikan status hak untuk menghuni rumah tersebut adalah hak milik.
     
    Jaminan Kebendaan
    Karena Anda tidak menjelaskan secara spesifik bentuk pengikatan jaminan yang telah dilakukan, kami akan menguraikan satu per satu jenis-jenis pengikatan jaminan terlebih dulu.
     
    Riky Rustam dalam bukunya Hukum Jaminan (hal. 69) membedakan jaminan menjadi jaminan umum dan jaminan khusus. Lahirnya jaminan umum didasarkan pada Pasal 1131 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUHPer”) yang berbunyi:
     
    Segala barang-barang bergerak dan tak bergerak milik debitur, baik yang sudah ada maupun yang akan ada, menjadi jaminan untuk perikatan-perikatan perorangan debitur itu.
     
    Sedangkan jaminan khusus didasarkan pada Pasal 1132 KUHPer yang dipertegas oleh Pasal 1133 dan Pasal 1134 KUHPer. Masing-masing pasal tersebut berbunyi sebagai berikut:
     
    Pasal 1132 KUHPer
    Barang-barang itu menjadi jaminan bersama bagi semua kreditur terhadapnya hasil penjualan barang-barang itu dibagi menurut perbandingan piutang masing-masing kecuali bila di antara para kreditur itu ada alasan-alasan sah untuk didahulukan.
     
    Pasal 1133 KUHPer
    Hak untuk didahulukan di antara para kreditur bersumber pada hak istimewa, pada gadai dan pada hipotek. Tentang gadai dan hipotek dibicarakan dalam Bab 20 dan 21 buku ini.
     
    Pasal 1134 KUHPer
    Hak istimewa adalah suatu hak yang diberikan oleh undang-undang kepada seorang kreditur yang menyebabkan ia berkedudukan lebih tinggi daripada yang lainnya, semata-mata berdasarkan sifat piutang itu. Gadai dan hipotek lebih tinggi daripada hak istimewa, kecuali dalam hal undangundang dengan tegas menentukan kebalikannya.
     
    Jaminan berupa sebuah komplek perumahan sendiri dapat kami golongkan sebagai jaminan khusus. Riky Rustam masih dalam buku yang sama (hal. 73-74) menjelaskan dua bentuk jaminan khusus, yaitu jaminan khusus kebendaan dan jaminan khusus perorangan. Jaminan khusus kebendaan atau disebut jaminan kebendaan (zakelijke zekerheids) terjadi dengan cara kreditur meminta benda-benda tertentu dari milik debitur diperjanjikan sebagai jaminan atas utang debitur. Pembebanan benda tersebut sebagai jaminan dapat dilakukan melalui gadai, fidusia, hipotek maupun hak tanggungan.
     
    Adapun jaminan khusus perorangan atau disebut jaminan perorangan (persoonlijke zekerheids) diantaranya dapat dibedakan menjadi personal guarantee, corporate guarantee, perjanjian tanggung menanggung, dan garansi bank.
     
    Menurut hemat kami berdasarkan uraian Riky Rustam tersebut, penjaminan sebuah kompleks perumahan dapat diklasifikasikan sebagai bentuk jaminan kebendaan.
     
    Hak Tanggungan
    Bangunan kompleks perumahan adalah benda yang merupakan satu kesatuan dengan tanah. Oleh karenanya, kami mengasumsikan objek jaminan berupa kompleks perumahan tersebut dijaminkan dengan hak tanggungan. Hak tanggungan sendiri, sebagimana didefinisikan dalam Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 4 Tahun 1996 tentang Hak Tanggungan Atas Tanah Beserta Benda-Benda yang Berkaitan dengan Tanah (“UU 4/1996”), adalah:
     
    Hak tanggungan atas tanah beserta benda-benda yang berkaitan dengan tanah, yang selanjutnya disebut Hak Tanggungan, adalah hak jaminan yang dibebankan pada hak atas tanah sebagaimana dimaksud dalam Undang-Undang Nomor 5 Tahun 1960 tentang Peraturan Dasar Pokok-Pokok Agraria, berikut atau tidak berikut benda-benda lain yang merupakan satu kesatuan dengan tanah itu, untuk pelunasan utang tertentu, yang memberikan kedudukan yang diutamakan kepada kreditor tertentu terhadap kreditor-kreditor lain.
     
    Pasal 4 ayat (1) dan (2) UU 4/1996 menyebutkan jenis hak atas tanah yang dapat dibebani hak tanggungan antara lain:
    1. Hak milik;
    2. Hak guna usaha;
    3. Hak guna bangunan;
    4. Hak pakai atas tanah Negara yang menurut ketentuan yang berlaku wajib didaftar dan menurut sifatnya dapat dipindahtangankan dapat juga di bebani hak tanggungan.
     
    Oleh karena kami telah mengasumsikan bahwa hak untuk menghuni rumah sebagai hak milik, maka pembebanan hak tanggungan terhadap kompleks perumahan adalah berupa hak milik.
     
    Eksekusi Hak Tanggungan
    Hak tanggungan pada dasarnya merupakan upaya debitur untuk meyakinkan kreditur akan pelunasan piutangnya. Apabila debitur cidera janji, pemegang hak tanggungan pertama mempunyai hak untuk menjual objek hak tanggungan atas kekuasaan sendiri melalui pelelangan umum serta mengambil pelunasan piutangnya dari hasil penjualan tersebut.[2]
     
    Dalam hal ini, sertifikat hak tanggungan, yang berfungsi sebagai surat tanda bukti adanya hak tanggungan, dibubuhkan irah-irah dengan kata-kata "Demi Keadilan Berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa", untuk memberikan kekuatan eksekutorial yang sama dengan putusan pengadilan yang sudah mempunyai kekuatan hukum tetap.[3]
     
    Akan tetapi mencermati pernyataan Anda dimana A selaku pemberi hak tanggungan menjual objek hak tanggungan kepada C, kami mengasumsikan lebih dulu jika penjualan tersebut dilakukan tanpa sepengetahuan B selaku pemegang hak tanggungan.
     
    Sebagaimana diuraikan Letezia Tobing dalam artikel Bolehkah Menjual Tanah yang Dibebani Hak Tanggungan?, pada dasarnya tidak menjadi masalah jika hak tanggungan tersebut dijual oleh si pemberi hak tanggungan (pemilik tanah) kepada orang lain, karena hak tanggungan tersebut tetap melekat pada tanah yang dijaminkan (dengan asumsi bahwa hak tanggungan tersebut telah didaftarkan ke Kantor Pertanahan sehingga hak tanggungan tersebut telah lahir). Namun, sekalipun objek hak tanggungan sudah berpindah tangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
     
    Argumentasi ini didasarkan pada ketentuan Pasal 7 UU 4/1996, yang menegaskan bahwa hak tanggungan tetap mengikuti objeknya dalam tangan siapa pun objek tersebut berada. Bahkan bagian Penjelasan Pasal 7 UU 4/1996 menyatakan:
     
    Sifat ini merupakan salah satu jaminan khusus bagi kepentingan pemegang Hak Tanggungan. Walaupun obyek Hak Tanggungan sudah berpindahtangan dan menjadi milik pihak lain, kreditor masih tetap dapat menggunakan haknya melakukan eksekusi, jika debitor cidera janji.
     
    Dengan demikian B tetap berwenang mengeksekusi objek jaminan meskipun objek hak tanggungan telah beralih menjadi milik C melalui jual beli.
     
    Di sisi lain, Pasal 11 ayat (2) huruf g UU 4/1996 menyatakan:
     
    Dalam Akta Pemberian Hak Tanggungan dapat dicantumkan janji-janji, antara lain:
    1. janji bahwa pemberi Hak Tanggungan tidak akan melepaskan haknya atas obyek Hak Tanggungan tanpa persetujuan tertulis lebih dahulu dari pemegang Hak Tanggungan;
     
    Dengan demikian, menurut hemat kami, apabila di dalam akta pemberian hak tanggungan terdapat janji seperti Pasal 11 ayat (2) huruf g UU 4/1996 di atas, jual-beli atas perumahan yang menjadi objek hak tanggungan harus dilakukan atas sepengetahuan pemegang hak tanggungan.
     
    Prosedur Jual Beli Tanah yang Benar
    Menjawab pertanyaan kedua, jual beli kompleks perumahan idealnya mengacu pada Peraturan Pemerintah Nomor 24 Tahun 1997 tentang Pendaftaran Tanah (“PP 24/1997”). Peralihan hak atas tanah dan hak milik atas satuan rumah susun melalui jual beli, tukar menukar, hibah, pemasukan dalam perusahaan dan perbuatan hukum pemindahan hak lainnya, kecuali pemindahan hak melalui lelang hanya dapat didaftarkan jika dibuktikan dengan akta yang dibuat oleh PPAT yang berwenang menurut ketentuan peraturan perundang-undangan yang berlaku.[4]
     
    Transaksi jual beli rumah kemudian dituangkan ke dalam Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli (“PPJB”). Menurut Pasal 1 angka 2 Peraturan Menteri Pekerjaan Umum dan Perumahan Rakyat No.11/PRT/M/2019 Tahun 2019:
     
    Perjanjian Pendahuluan Jual Beli atau Perjanjian Pengikatan Jual Beli yang selanjutnya disebut PPJB adalah kesepakatan antara pelaku pembangunan dan setiap orang untuk melakukan jual beli rumah atau satuan rumah susun yang dapat dilakukan oleh pelaku pembangunan sebelum pembangunan untuk rumah susun atau dalam proses pembangunan untuk rumah tunggal dan rumah deret yang dinyatakan dalam akta notaris.
     
     
    Selain itu, PP 24/1997 juga mengamanatkan bahwa untuk keperluan pendaftaran hak, hak atas tanah yang berasal dari konversi hak-hak lama dibuktikan dengan alat-alat bukti mengenai adanya hak tersebut berupa bukti-bukti tertulis, keterangan saksi dan atau pernyataan yang bersangkutan yang kadar kebenarannya oleh panitia ajudikasi dalam pendaftaran tanah secara sistematik atau oleh Kepala Kantor Pertanahan dalam pendaftaran tanah secara sporadik, dianggap cukup untuk mendaftar hak, pemegang hak dan hak-hak pihak lain yang membebaninya.[5] Bukti kepemilikan itu pada dasarnya terdiri dari bukti kepemilikan atas nama pemegang hak pada waktu berlakunya UUPA dan apabila hak tersebut kemudian beralih, bukti peralihan hak berturut-turut sampai ke tangan pemegang hak pada waktu dilakukan pembukuan hak.[6]
     
    Menurut hemat kami, dalam hal ini C kurang berhati-hati sehingga tidak mengetahui bahwa kompleks perumahan telah dijadikan objek hak tanggungan. Kami asumsikan C tidak melakukan jual beli rumah dengan melibatkan PPAT, sehingga perjanjian jual beli hanya berbentuk akta bawah tangan.
     
    Padahal, pembebanan hak tanggungan terhadap suatu objek seharusnya diikuti dengan adanya publisitas atau penyebaran informasi kepada publik. Hal ini sebagaimana diuraikan Urip Santoso dalam bukunya Hukum Perumahan (hal. 292), di mana objek hak tanggungan telah dilakukan pendaftaran kepada Kantor Pertanahan Kabupaten/Kota yang wilayah kerjanya meliputi letak rumah yang bersangkutan, maka terpenuhi asas publisitas, artinya setiap orang dapat mengetahui bahwa hak milik atas rumah beserta hak atas tanah sedang dibebani hak tanggungan.
     
    Dengan demikian, status perumahan sebagai objek hak tanggungan harusnya diketahui oleh semua pihak, termasuk C. Apabila C mengalami kerugian akibat hal ini, kami menyarankan C untuk meminta A untuk mengembalikan biaya pembelian perumahan yang telah diberikan. Apabila A bergeming, C dapat mengajukan gugatan perdata maupun melaporkan A atas tindak pidana penipuan.
     
    Baca juga: Penggelapan dan Penipuan
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Referensi:
    1. Riky Rustam. Hukum Jaminan. UII Press: Yogyakarta, 2017;
    2. Urip Santoso. Hukum Perumahan. Kencana: Jakarta, 2014.

    [1] Pasal 50 ayat (2) UU 1/2001
    [2] Pasal 6 UU 4/1996
    [3] Angka 9 Bagian Umum Penjelasan UU 4/1996
    [4] Pasal 37 ayat (1) PP 24/1997
    [5] Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997
    [6] Penjelasan Pasal 24 ayat (1) PP 24/1997

    Tags

    beli rumah
    pertanahan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Cek Sertifikat Tanah Ganda dan Langkah Hukumnya

    26 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!