KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Ne Bis In Idem dalam Kasus dengan Tempus dan Locus Berbeda

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Ne Bis In Idem dalam Kasus dengan Tempus dan Locus Berbeda

<i>Ne Bis In Idem</i> dalam Kasus dengan <i>Tempus</i> dan <i>Locus</i> Berbeda
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
<i>Ne Bis In Idem</i> dalam Kasus dengan <i>Tempus</i> dan <i>Locus</i> Berbeda

PERTANYAAN

Apakah diperbolehkan penuntutan dua kali terhadap suatu perbuatan yang sama, akan tetapi tempus dan locus delicti-nya berbeda?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pasal 76 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana yang memuat asas ne bis in idem pada dasarnya menjelaskan bahwa seseorang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan sama yang telah diadili oleh hakim Indonesia dengan putusan yang berkekuatan hukum tetap. Meskipun demikian, arti dari “perbuatan yang sama” perlu dijabarkan lebih jauh agar tidak terjadi kesalahan dalam menerapkan ketentuan tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Tempus Delicti dan Locus Delicti
    Untuk menjawab pertanyaan Anda, kami akan berpedoman pada Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) dan Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1981 tentang Hukum Acara Pidana (“KUHAP”).
     
    Pertama akan kami jelaskan dulu tentang tempus delicti (waktu terjadinya tindak pidana) dan locus delicti (tempat terjadinya tindak pidana). Pada dasarnya penuntut umum dalam melimpahkan perkara ke pengadilan negeri harus disertai dengan surat dakwaan yang diberi tanggal dan ditandatangani serta berisi:[1]
    1. nama lengkap, tempat lahir, umur atau tanggal lahir, jenis kelamin, kebangsaan, tempat tinggal, agama dan pekerjaan tersangka;
    2. uraian secara cermat, jelas dan lengkap mengenai tindak pidana yang didakwakan dengan menyebutkan waktu dan tempat tindak pidana itu dilakukan.
     
    Lebih lanjut, Andi Hamzah dalam bukunya Hukum Pidana Indonesia (hal. 101-102) menyebutkan bahwa dalam surat dakwaan harus dicantumkan waktu dan tempat terjadinya delik (tempus et locus delicti). Dalam rangka pembelaan diri, terdakwa perlu mengetahui kapan dan di mana perbuatan yang didakwakan itu terjadi. Adapun 5 hal yang menentukan terjadinya delik, yaitu:
    1. menyangkut berlakunya hukum pidana (Pasal 1 ayat (1) KUHP);
    2. berlakunya peradilan anak, apakah anak itu sudah dewasa pada saat melakukan delik ataukah belum;
    3. menyangkut ketentuan residive (apakah pengulangan delik atau gabungan/concursus) delik;
    4. menyangkut lewat waktu (verjaring);
    5. rumusan delik sendiri menentukan (pencurian pada waktu malam dan seterusnya; pencurian pada waktu banjir, gempa, dan seterusnya).
     
    Masih menurut Andi Hamzah, tempat terjadinya delik (locus delicti) didasarkan pada asas teritorialitas. Mengingat peraturan perundang-undangan pidana di Indonesia tidah menyebut secara Tempat terjadinya delik penting untuk ditentukan karena:
    1. menyangkut kompetensi relatif hakim;
    2. berlakunya KUHP Indonesia (Pasal 2–Pasal 8 KUHP);
    3. ada delik yang menentukan di tempat tertentu, misalnya di muka umum;
    4. tempat-tempat yang terbatas berlakunya suatu ketentuan pidana, misalnya peraturan daerah yang hanya berlaku di wilayah sendiri;
    5. tempat menjadi bagian rumusan delik (misalnya seperti tersebut di muka, pencurian di sebuah rumah pekarangan yang tertutup yang ada rumahnya atau kejahatan yang dilakukan di atas kapal laut, udara, dan lain-lain).
     
    Dalam artikel Locus dan Tempus Delicti Tidak Perlu Disebutkan Akurat dalam Dakwaan, memang sempat terjadi perdebatan akan penerapan dari locus dan tempus delicti. Dalam kasus yang disinggung artikel tersebut, Jaksa Penuntut Umum (“JPU”) bersikukuh bahwa waktu dan tempat terjadinya tindak pidana tidak mungkin disebutkan secara akurat. Sementara menurut Chairul Huda, penyebutan tempus dan locus delicti adalah penting untuk menakar kadar daluarsa suatu perkara. Unsur tempus menentukan kewenangan negara untuk melakukan penuntutan. Sedang unsur locus menentukan kompetensi pengadilan untuk mengadili.
     
    Sementara itu dalam Bagian Satu Surat Edaran Kejaksaan Agung Nomor B-500/E/10/1996 Tahun 1996 tentang Perumusan Locus dan Tempus Delicti dalam Surat Dakwaan (“SE Kejagung 500/1996”) telah dijelaskan bahwa waktu dan tempat terjadinya tindak pidana perlu dirumuskan secara alternatif dan bukan limitatif, dengan maksud agar dapat menjawab pertanyaan apakah Pengadilan Negeri berwenang mengadili perkaranya (kompetensi relatif) dan apakah perkara tidak kadaluarsa serta dihindari kemungkinan pemanfaatan bukti alibi dari terdakwa.
     
    Perumusan tempus dan locus delicti secara limitatif dalam surat dakwaan dapat dilakukan sepanjang JPU meyakini bahwa baik tempus maupun locus delicti yang dimuat dalam surat dakwaan adalah merupakan satu-satunya yang benar dan tidak diragukan lagi, sehingga dapat dihindarkan kemungkinan timbulnya risiko dalam penuntutan.[2]
     
    Asas Ne bis in idem
    Berkaitan dengan pertanyaan Anda, Pasal 76 KUHP mengatur bahwa:
     
    1. Kecuali dalam hal putusan hakim masih mungkin diulangi, orang tidak boleh dituntut dua kali karena perbuatan yang oleh hakim Indonesia terhadap dirinya telah diadili dengan putusan yang menjadi tetap. Dalam artian hakim Indonesia, termasuk juga hakim pengadilan swapraja dan adat, di tempat-tempat yang mempunyai pengadilan-pengadilan tersebut.
     
    1. Jika putusan yang menjadi tetap itu berasal dari hakim lain, maka terhadap orang itu dan karena tindak pidana itu pula, tidak boleh diadakan penuntutan dalam hal:
    1. putusan berupa pembebasan dari tuduhan atau lepas dari tuntutan hukum;
    2. putusan berupa pemidanaan dan telah dijalani seluruhnya atau telah diberi ampun atau wewenang untuk menjalankannya telah hapus karena daluwarsa.
     
    Ketentuan tersebut memuat asas hukum pidana yang dikenal dengan sebutan ne bis in idem. Menurut  Wirjono Prodjodikoro dalam buku Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. (hal. 160), ne bis in idem artinya tidak dua kali dalam hal yang sama. Dalam hal ini, perbuatan yang sama tidak boleh diajukan penuntutan lagi. Ne bis in idem tidak hanya berlaku bagi seseorang yang telah dihukum karena melakukan tindak pidana, tetapi juga berlaku jika orang dalam perkara pertama dibebaskan (vrijsprak) atau dilepaskan dari segala tuntutan (ontslag van rechtsvervolging). Jadi misalnya ada putusan pembebasan terdakwa disebabkan kekeliruan dalam penuntutannya, maka tidak boleh diajukan lagi penuntutan dengan maksud memperbaiki kekeliruan itu.
     
    Menyambung pertanyaan Anda, kami kurang memahami “perbuatan yang sama” yang Anda maksud. Oleh karenanya kami memberikan dua alternatif jawaban dengan dua asumsi konteks yang berbeda.
     
    Pertama, dianggap “ne bis in idem” apabila terjadi pengulangan perkara dengan obyek, subjek, dan kronologis yang sama, dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap. Selain mengacu pada Pasal 76 KUHP di atas, hal ini juga sesuai dengan Surat Edaran Mahkamah Agung Nomor 3 Tahun 2002 tentang Penanganan Perkara yang Berkaitan dengan Asas Nebis In Idem. Walaupun ada perbedaan locus dan tempus delicti, namun terdapat pengulangan perkara dengan obyek dan subyek yang sama dan telah diputus serta mempunyai kekuatan hukum tetap baik dan tingkat judex facti sampai dengan tingkat kasasi baik dari lingkungan Peradilan Umum, Peradilan Agama, dan Peradilan Tata Usaha Negara, maka ia dapat dikategorikan sebagai ne bis in idem.
     
    Sementara alternatif jawaban kedua, dengan merujuk pada artikel Ne bis in idem, apabila perbuatan yang dimaksud itu dilakukan dengan tempus dan locus delicti, serta kronologis yang sama sekali berbeda, maka tidak dapat disebut ne bis in idem. Alih-alih, perbuatan tersebut dapat dianggap mengulangi kejahatan yang sama (residivis) berdasarkan Pasal 486 KUHP. Dengan catatan bahwa perbuatan yang jenisnya sama tersebut ia lakukan dalam kurun waktu 5 tahun setelah menjalani hukuman untuk seluruhnya atau sebagian dari hukuman yang dijatuhkan. Penjelasan lebih lanjut mengenai residivis dapat Anda baca di dalam artikel Seluk Beluk Residivis.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Referensi:
    1. Andi Hamzah. Hukum Pidana Indonesia. Sinar Grafika: Jakarta, 2017.
    2. Wirjono Prodjodikoro. Asas-Asas Hukum Pidana di Indonesia. Refika Aditama: Bandung, 2003.
     

    [1] Pasal 143 ayat (1) dan (2) KUHAP
    [2] Bagian Empat SE Kejagung 500/1996

    Tags

    hukum pidana
    dakwaan

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Mengurus Akta Cerai yang Hilang

    19 Mei 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!