KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Kewenangan Pemerintah untuk Melakukan Diskresi Keuangan

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Kewenangan Pemerintah untuk Melakukan Diskresi Keuangan

Kewenangan Pemerintah untuk Melakukan Diskresi Keuangan
Sigar Aji Poerana, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Kewenangan Pemerintah untuk Melakukan Diskresi Keuangan

PERTANYAAN

Saya ingin menanyakan, apakah pemerintah dapat melakukan diskresi keuangan? Bagaimana pertanggungjawaban atas diskresi keuangan tersebut?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kewenangan pemerintah untuk melakukan diskresi diatur dalam Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan. Diskresi yang diatur juga mencakup diskresi dalam bidang keuangan. Diskresi dalam bidang keuangan (khususnya alokasi anggaran) dimungkinkan, sepanjang mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat. Diskresi dalam bidang keuangan sendiri salah satunya berkaitan dengan Anggaran Pendapatan Belanja Negara (“APBN”) atau Anggaran Pendapatan Belanja Daerah (“APBD”).
     
    Pertanggungjawaban diskresi dalam bidang keuangan dilakukan melalui laporan pertanggungjawaban atas pelaksanaan APBN maupun APBD, kepada Dewan Perwakilan Rakyat (bagi Presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (bagi Gubernur/Bupati/Walikota), berdasarkan Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara.
     
    Penjelasan selengkapnya silakan klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pengertian Diskresi
    Pasal 1 angka 9 Undang-Undang Nomor 30 Tahun 2014 tentang Administrasi Pemerintahan (“UU Administrasi Pemerintahan”) mendefinisikan diskresi sebagai berikut:
     
    Diskresi adalah Keputusan dan/atau Tindakan yang ditetapkan dan/atau dilakukan oleh Pejabat Pemerintahan untuk mengatasi persoalan konkret yang dihadapi dalam penyelenggaraan pemerintahan dalam hal peraturan perundang-undangan yang memberikan pilihan, tidak mengatur, tidak lengkap atau tidak jelas, dan/atau adanya stagnasi pemerintahan.
     
    Sementara itu, keputusan dan tindakan yang dimaksud didefinisikan dalam Pasal 1 angka 7 dan angka 8 UU Administrasi Pemerintahan sebagai berikut:
     
    Pasal 1 angka 7 UU Administrasi Pemerintahan
    Keputusan Administrasi Pemerintahan yang juga disebut Keputusan Tata Usaha Negara atau Keputusan Administrasi Negara yang selanjutnya disebut Keputusan adalah ketetapan tertulis yang dikeluarkan oleh Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dalam penyelenggaraan pemerintahan.
     
    Pasal 1 angka 8 UU Administrasi Pemerintahan
    Tindakan Administrasi Pemerintahan yang selanjutnya disebut Tindakan adalah perbuatan Pejabat Pemerintahan atau penyelenggara negara lainnya untuk melakukan dan/atau tidak melakukan perbuatan konkret dalam rangka penyelenggaraan pemerintahan.
     
    Diskresi hanya dapat dilakukan oleh pejabat pemerintahan yang berwenang. Setiap penggunaan diskresi pejabat pemerintahan bertujuan untuk:[1]
    1. melancarkan penyelenggaraan pemerintahan;
    2. mengisi kekosongan hukum;
    3. memberikan kepastian hukum; dan
    4. mengatasi stagnasi pemerintahan dalam keadaan tertentu guna kemanfaatan dan kepentingan umum.
     
    Penggunaan diskresi harus memenuhi beberapa syarat, yaitu:[2]
    1. sesuai dengan tujuan diskresi;
    2. tidak bertentangan dengan ketentuan peraturan perundang-undangan;
    3. sesuai dengan Asas-asas Umum Pemerintahan yang Baik (AUPB);
    4. berdasarkan alasan-alasan yang objektif;
    5. tidak menimbulkan konflik kepentingan; dan
    6. dilakukan dengan iktikad baik.
     
    Menurut hemat kami, persyaratan dalam pasal tersebut juga harus dimaknai secara bersamaan dengan larangan penyalahgunaan wewenang yang tercantum dalam Pasal 17 ayat (1) dan ayat (2) UU Administrasi Pemerintahan yang berbunyi:
     
    1. Badan dan/atau Pejabat Pemerintahan dilarang menyalahgunakan Wewenang
    2. Larangan penyalahgunaan Wewenang sebagaimana dimaksud pada ayat (1) meliputi:
    1. larangan melampaui Wewenang;
    2. larangan mencampuradukkan Wewenang; dan/atau
    3. larangan bertindak sewenang-wenang.
     
    Baca juga: Arti, Tujuan, Lingkup, dan Contoh Diskresi
     
    Kewengan Pemerintah Melakukan Diskresi Bidang Keuangan
    Pasal 25 ayat (1) UU Administrasi Pemerintahan menyatakan bahwa:
     
    Penggunaan diskresi yang berpotensi mengubah alokasi anggaran wajib memperoleh persetujuan dari Atasan Pejabat sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Maka dari itu, berdasarkan ketentuan di atas, diskresi dalam bidang keuangan (khususnya alokasi anggaran) dimungkinkan, sepanjang mendapatkan persetujuan dari atasan pejabat.
     
    Lebih lanjut, mengenai alokasi anggaran yang dimaksud, menurut hemat kami, berhubungan dengan Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2004 tentang Perbendaharaan Negara (“UU Perbendaharaan Negara”). Pertama-tama, perlu diketahui bahwa terdapat perbedaan bentuk peraturan perundang-undangan untuk memuat penerimaan dan pengeluaran negara dan daerah. Pasal 3 ayat (1) dan ayat (2) UU Perbendaharaan Negara berbunyi:
     
    1. Undang-undang tentang APBN merupakan dasar bagi Pemerintah Pusat untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran negara.
    2. Peraturan Daerah tentang APBD merupakan dasar bagi Pemerintah Daerah untuk melakukan penerimaan dan pengeluaran daerah.
     
    Anggaran pendapatan dan belanja negara (“APBN”) tahun 2019 sendiri diatur dalam Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2018 tentang Anggaran Pendapatan dan Belanja Negara Tahun Anggaran 2019 (“UU APBN 2019”). Dalam UU APBN 2019, tidak ada ketentuan yang secara eksplisit menerangkan mengenai kewenangan pemerintah untuk melakukan diskresi dalam bidang keuangan. Namun menurut hemat kami, berbagai ketentuan dalam undang-undang tersebut memungkinkan pemerintah membuat diskresi keuangan.
     
    Sebagai contoh, Pasal 12 ayat (2) UU APBN 2019 menyatakan bahwa:
     
    Pengalokasian DAK Fisik sebagaimana dimaksud pada ayat (1) huruf a ditetapkan berdasarkan usulan Pemerintah Daerah dengan memperhatikan prioritas nasional, kemampuan keuangan negara, dan tata kelola keuangan negara yang baik.
     
    Berdasarkan ketentuan di atas, dana alokasi khusus (“DAK”) fisik dialokasikan berdasarkan kriteria tertentu. Penjelasan Pasal 12 ayat (2) UU APBN 2019 sendiri sekadar menjelaskan bahwa:
     
    Pengalokasian DAK Fisik bertujuan untuk membantu daerah tertentu, mendanai kebutuhan sarana dan prasarana pelayanan dasar masyarakat, dan percepatan pembangunan daerah dan pencapaian sasaran prioritas nasional.
     
    Menurut hemat kami, berdasarkan bunyi penjelasan tersebut, pengalokasian DAK fisik didasarkan atas diskresi pemerintah, baik secara kuantitas dan bidang yang dituju. Hal ini mengingat Pasal 12 ayat (2) UU APBN 2019 berikut penjelasannya tidak mengatur dan membatasi secara tegas terkait bentuk-bentuk alokasi DAK fisik.
     
    Contoh lain mengenai kemungkinan diskresi dalam bidang keuangan tercantum dalam Pasal 23 ayat (1) UU APBN 2019 yang menyatakan bahwa:
     
    Dalam hal anggaran diperkirakan defisit melampaui target yang ditetapkan dalam APBN, Pemerintah dapat menggunakan dana SAL, penarikan Pinjaman Tunai, dan/atau penerbitan SBN sebagai tambahan pembiayaan
     
    Berdasarkan bunyi pasal tersebut, jika anggaran diperkirakan defisit, maka pemerintah mendapatkan pilihan untuk menggunakan saldo anggaran lebih (“SAL”), penarikan pinjaman tunai, dan/atau penerbitan surat berharga negara (“SBN”). Menurut hemat kami, pemerintah mendapatkan pilihan untuk melaksanakan upaya tersebut secara keseluruhan maupun hanya melakukan upaya tertentu saja.
     
    Meskipun demikian, diskresi keuangan harus dilaksanakan berdasarkan persyaratan sebagaimana yang tercantum dalam Pasal 24 dan Pasal 17 ayat (1) dan (2) UU Administrasi Pemerintahan, yang telah diuraikan di atas.
     
    Pertanggungjawaban Diskresi Keuangan
    Bentuk pertanggungjawaban diskresi dalam bidang keuangan tercantum dalam Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara (“UU Keuangan Negara”). Pasal 30 (1) dan Pasal 31 ayat (1) UU Keuangan Negara menyatakan bahwa:
     
    Pasal 30 ayat (1) UU Keuangan Negara
    Presiden menyampaikan rancangan undang-undang tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBN kepada DPR berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
     
    Pasal 31 ayat (1) UU Keuangan Negara
    Gubernur/Bupati/Walikota menyampaikan rancangan peraturan daerah tentang pertanggungjawaban pelaksanaan APBD kepada DPRD berupa laporan keuangan yang telah diperiksa oleh Badan Pemeriksa Keuangan, selambat-lambatnya 6 (enam) bulan setelah tahun anggaran berakhir.
     
    Berdasarkan kedua ketentuan diatas, maka pertanggungjawaban terhadap diskresi yang dilakukan dalam bidang keuangan dapat dilakukan melalui laporan pertanggungjawaban, baik terhadap APBN maupun APBD, yang disampaikan kepada Dewan Perwakilan Rakyat (bagi Presiden) dan Dewan Perwakilan Rakyat Daerah (bagi Gubernur/Bupati/Walikota).
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2003 tentang Keuangan Negara;
     

    [1] Pasal 22 UU Administrasi Pemerintahan
    [2] Pasal 24 UU Administrasi Pemerintahan

    Tags

    hukumonline
    administrasi

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Menghitung Pembebasan Bersyarat bagi Narapidana

    3 Agu 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!