Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Yayasan Asing
Secara yuridis, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.[1] Ketentuan yang mengatur mengenai yayasan asing diatur dalam Pasal 69 UU Yayasan yang berbunyi:
Yayasan asing yang tidak berbadan hukum Indonesia dapat melakukan kegiatannya di wilayah Negara Republik Indonesia, jika kegiatan Yayasan tersebut tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
Ketentuan mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
Pasal 26 PP 63/2008 mengatur bahwa:
Yayasan asing dapat melakukan kegiatan di Indonesia hanya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
Yayasan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatannya di Indonesia harus bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan asing tersebut.
Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus aman dari aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti.
Kemitraan antara yayasan asing dan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
Kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan.[2] Selain itu, yang dimaksud dengan “aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti” dalam kemitraan yayasan asing dan yayasan yang didirikan orang Indonesia diuraikan dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (3) PP 63/2008 sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan “aspek politis” adalah kegiatan yayasan harus sesuai dengan politik luar negeri dalam bingkai dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.
Yang dimaksud dengan “aspek yuridis” adalah kegiatan yayasan asing tidak bertentangan dengan semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
Yang dimaksud dengan “aspek teknis” adalah kegiatan yayasan tersebut dapat terlaksana dengan baik di lapangan.
Yang dimaksud dengan “aspek sekuriti” adalah kegiatan yayasan tidak ditujukan untuk kegiatan intelijen asing yang dapat merugikan keamanan bangsa dan negara.
Pemberhentian Kerja
Secara umum, pemberhentian kontrak/perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).yang Anda alami harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa:
Perjanjian kerja berakhir apabila:
pekerja meninggal dunia;
berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan di atas, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.
[4]
Lex Loci Solutionis
Lebih lanjut, pelaksanaan perjanjian kerja Anda dengan yayasan asing tersebut juga harus tetap tunduk pada Pasal 1320
Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan asas hukum
pacta sunt servanda. Berdasarkan asas
pacta sunt servanda, setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pelaku yang melakukan perjanjian. Aturan yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pembuat kontrak, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya. Sehingga kontrak yang telah Anda tandatangani dengan pihak yayasan berlaku sebagai hukum bagi Anda dan pihak yayasan.
Sayangnya, Anda tidak menyebutkan mengapa kontrak Anda diberhentikan dan keadaan-keadaan pemberhentiannya. Apakah diberhentikan sebelum waktunya? Apakah dalam perjanjian terdapat klausul yang mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hal pemberhentian kontrak atau perjanjian?
Kontrak ini sendiri telah menimbulkan adanya sebuah pertentangan dengan prinsip pelaksanaan pilihan hukum yakni lex loci contractus (suatu pilihan hukum terhadap kontrak ditentukan oleh hukum di mana kontrak tersebut dibuat, diciptakan) dengan lex loci solutionis (pilihan hukum ditentukan dari tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan).
Lex loci solutionis termasuk dalam salah satu pilihan hukum. Pilihan hukum ini dapat juga ditafsirkan sebagai asas kebebasan berkontrak. Menurut Sudargo Gautama dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia (hal. 5), prinsip ini secara umum dapat diterapkan dimana saja, namun terdapat setidaknya empat batasan yang perlu diperhatikan, antara lain, hanya berlaku di bidang kontrak, tidak melanggar ketertiban umum, tidak menjelma menjadi penyelundupan hukum, serta tidak berlaku pada kaidah super memaksa.
Berdasarkan uraian tersebut, maka menurut hemat kami, kontrak kerja ini seharusnya memberlakukan hukum ketenagakerjaan Indonesia, bukan hukum dari negara yayasan pemberi pekerjaan.
Perlawanan Hukum atas Pemberhentian Kerja
Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
Jenis perselisihan hubungan industrial meliputi:
[5]perselisihan hak;
perselisihan kepentingan;
perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. [6]
Pasal 4 UU 2/2004 kemudian menguraikan bahwa:
Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan;
Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas;
Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase;
Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator;
Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh;
Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
Apabila penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial (“PHI”).[7] Menurut Ari Hermawan dalam bukunya
Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, (hlm.123), PHI sebagai lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ada pada saat ini dituntut tidak hanya harus adil dalam mengambil keputusan namun juga harus sensitif dengan persoalan pekerja, sebagai pihak yang paling lemah dalam hubungan industrial.
Menurut hemat kami, perselisihan yang terjadi antara Anda dan yayasan dapat dikategorikan sebagai perselisihan hak dan/atau perselisihan pemutusan hubungan kerja. Anda dapat dapat mengajukan gugatan ke PHI dengan mengacu pada tempat kontrak tersebut dilaksanakan (lex loci solutionis), yaitu di Indonesia.
Dalam mengajukan gugatan nantinya, Anda dapat menggunakan jasa advokat atau diajukan oleh Anda sendiri, dengan menyiapkan bukti-bukti yang diperlukan dan telah di-nazegelen (pematerian kemudian). Bukti tersebut misalnya berbentuk salinan perjanjian/kontrak antara Anda dengan yayasan asing tersebut, dan saksi yang mengetahui bahwa Anda pernah bekerja di yayasan tersebut.
Penggunaan Bahasa Indonesia
Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
UU 24/2009 sendiri tidak secara jelas memberikan sanksi terkait pelanggaran atas Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tersebut. Namun, perjanjian yang tidak dibuat dengan bahasa indonesia membuat syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak tepenuhi, khususnya aspek suatu hal yang halal atau tidak terlarang.
Dalam hal ini,
Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572K/Pdt/2015 dapat menjadi contoh bagi pembatalan perjanjian yang tidak menggunakan bahasa indonesia. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa
loan agreement yang menjadi objek sengketa tidak dibuat dalam bahasa indonesia membuktikan bahwa perjanjian yang dibuat para pihak bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009. Dengan demikian, perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang terlarang, sehingga sesuai ketentuan Pasal 1335
jo. Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian tersebut batal demi hukum.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
Referensi:
Ari Hermawan. Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Yogyakarta: UII Press, 2019;
Sudargo Gautama. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Cetakan Kedua, Buku Kelima. Bandung: Penerbit Alumni, 1998.
[1] Pasal 1 angka 1 UU Yayasan
[2] Penjelasan Pasal 26 ayat (1) PP 63/2008
[3] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan