Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Penyelesaian Perselisihan PHK bagi Pekerja Yayasan Asing

Share
copy-paste Share Icon
Ketenagakerjaan

Penyelesaian Perselisihan PHK bagi Pekerja Yayasan Asing

Penyelesaian Perselisihan PHK bagi Pekerja Yayasan Asing
Rizky P.P. Karo Karo, S.H., M.H.LKBH Fakultas Hukum UPH
LKBH Fakultas Hukum UPH
Bacaan 10 Menit
Penyelesaian Perselisihan PHK bagi Pekerja Yayasan Asing

PERTANYAAN

Saya adalah pekerja suatu yayasan nirlaba asing. Pada kontrak yang tercantum saya disebut sebagai konsultan. Akan tetapi saya bekerja selayaknya pegawai, dengan jam masuk dan jam pulang tertentu. Pada saat saya menandatangani kontrak tersebut, disebutkan bahwa kontrak tunduk pada hukum negara si pemberi kontrak. Padahal tempat/lokasi pekerjaan saya di Indonesia dan saya menandatangani kontrak di Indonesia. Apakah memungkinkan saya untuk membawa masalah pemberhentian kontrak saya tersebut dengan hukum Indonesia? Dan apakah saya juga bisa mendapatkan hak PKWT sesuai hukum di Indonesia. Sebagai catatan organisasi tersebut tidak mempunyai kantor resmi di Indonesia. Terima kasih dan mohon sarannya dari sisi hukum.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pemberhentian kerja seorang pekerja bagi yayasan asing dapat dikategorikan sebagai perselisihan hak dan/atau perselisihan pemutusan hubungan kerja. Pekerja yang dirugikan atas tindakan yayasan tersebut dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Hubungan Industrial dengan mengacu pada hukum tempat kontrak tersebut dilaksanakan (lex loci solutionis), yaitu di Indonesia. Hal ini sekalipun di dalam kontrak terdapat klausul yang menyatakan bahwa pelaksanaan kontrak tunduk pada hukum negara asal yayasan asing tersebut.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Yayasan Asing
    Payung hukum yang mengatur tentang yayasan di Indonesia adalah Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan (“UU Yayasan”) sebagaimana telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 28 Tahun 2004 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2001 tentang Yayasan.
     
    Secara yuridis, yayasan adalah badan hukum yang terdiri atas kekayaan yang dipisahkan dan diperuntukkan untuk mencapai tujuan tertentu di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan, yang tidak mempunyai anggota.[1] Ketentuan yang mengatur mengenai yayasan asing diatur dalam Pasal 69 UU Yayasan yang berbunyi:
     
    1. Yayasan asing yang tidak berbadan hukum Indonesia dapat melakukan kegiatannya di wilayah Negara Republik Indonesia, jika kegiatan Yayasan tersebut tidak merugikan masyarakat, bangsa, dan Negara Indonesia.
    2. Ketentuan mengenai syarat dan tata cara Yayasan asing sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) diatur dengan Peraturan Pemerintah.
     
    Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan (“PP 63/2008”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Pemerintah Nomor 2 Tahun 2013 tentang Perubahan atas Peraturan Pemerintah Nomor 63 Tahun 2008 tentang Pelaksanaan Undang-Undang tentang Yayasan mengatur lebih lanjut tentang yayasan asing.
     
    Pasal 26 PP 63/2008 mengatur bahwa:
     
    1. Yayasan asing dapat melakukan kegiatan di Indonesia hanya di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan.
    2. Yayasan asing sebagaimana dimaksud pada ayat (1) untuk melakukan kegiatannya di Indonesia harus bermitra dengan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia yang mempunyai maksud dan tujuan yang sama dengan yayasan asing tersebut.
    3. Kemitraan sebagaimana dimaksud pada ayat (2) harus aman dari aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti.
    4. Kemitraan antara yayasan asing dan Yayasan yang didirikan oleh Orang Indonesia dilakukan sesuai dengan ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Kegiatan di bidang sosial, keagamaan, dan kemanusiaan yang dimaksud dalam ketentuan ini tidak termasuk kegiatan penelitian dan pengembangan.[2] Selain itu, yang dimaksud dengan “aspek politis, yuridis, teknis, dan sekuriti” dalam kemitraan yayasan asing dan yayasan yang didirikan orang Indonesia diuraikan dalam Penjelasan Pasal 26 ayat (3) PP 63/2008 sebagai berikut:
     
    Yang dimaksud dengan “aspek politis” adalah kegiatan yayasan harus sesuai dengan politik luar negeri dalam bingkai dasar negara Pancasila, Undang-Undang Dasar Negara Republik Indonesia Tahun 1945, Negara Kesatuan Republik Indonesia, dan kebhinekaan masyarakat Indonesia.
     
    Yang dimaksud dengan “aspek yuridis” adalah kegiatan yayasan asing tidak bertentangan dengan semua ketentuan peraturan perundang-undangan.
     
    Yang dimaksud dengan “aspek teknis” adalah kegiatan yayasan tersebut dapat terlaksana dengan baik di lapangan.
     
    Yang dimaksud dengan “aspek sekuriti” adalah kegiatan yayasan tidak ditujukan untuk kegiatan intelijen asing yang dapat merugikan keamanan bangsa dan negara.
     
    Pemberhentian Kerja
    Berdasarkan pertanyaan yang Anda ajukan, menurut hemat kami, Anda tetap dapat dikategorikan sebagai pekerja/buruh sesuai Undang-Undang Nomor 13 Tahun 2003 tentang Ketenagakerjaan (“UU Ketenagakerjaan”), sepanjang menerima upah atau imbalan dalam bentuk lain.[3]
     
    Secara umum, pemberhentian kontrak/perjanjian kerja waktu tertentu (PKWT).yang Anda alami harus tunduk pada UU Ketenagakerjaan. Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan mengatur bahwa:
     
    Perjanjian kerja berakhir apabila:
    1. pekerja meninggal dunia;
    2. berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja;
    3. adanya putusan pengadilan dan/atau putusan atau penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap; atau
    4. adanya keadaan atau kejadian tertentu yang dicantumkan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, atau perjanjian kerja bersama yang dapat menyebabkan berakhirnya hubungan kerja.
     
    Apabila salah satu pihak mengakhiri hubungan kerja sebelum berakhirnya jangka waktu yang ditetapkan dalam perjanjian kerja waktu tertentu, atau berakhirnya hubungan kerja bukan karena ketentuan dalam Pasal 61 ayat (1) UU Ketenagakerjaan di atas, pihak yang mengakhiri hubungan kerja diwajibkan membayar ganti rugi kepada pihak lainnya sebesar upah pekerja/buruh sampai batas waktu berakhirnya jangka waktu perjanjian kerja.[4]
     
    Lex Loci Solutionis
    Lebih lanjut, pelaksanaan perjanjian kerja Anda dengan yayasan asing tersebut juga harus tetap tunduk pada Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) dan asas hukum pacta sunt servanda. Berdasarkan asas pacta sunt servanda, setiap perjanjian menjadi hukum yang mengikat bagi para pelaku yang melakukan perjanjian. Aturan yang telah ditetapkan dalam perjanjian yang dibuat oleh para pembuat kontrak, mengingat kekuatan hukum yang terkandung di dalamnya, dimaksudkan untuk dilaksanakan dan pada akhirnya dapat dipaksakan penataannya. Sehingga kontrak yang telah Anda tandatangani dengan pihak yayasan berlaku sebagai hukum bagi Anda dan pihak yayasan.
     
    Sayangnya, Anda tidak menyebutkan mengapa kontrak Anda diberhentikan dan keadaan-keadaan pemberhentiannya. Apakah diberhentikan sebelum waktunya? Apakah dalam perjanjian terdapat klausul yang mengatur mengenai hak dan kewajiban masing-masing pihak dalam hal pemberhentian kontrak atau perjanjian?
     
    Kontrak ini sendiri telah menimbulkan adanya sebuah pertentangan dengan prinsip pelaksanaan pilihan hukum yakni lex loci contractus (suatu pilihan hukum terhadap kontrak ditentukan oleh hukum di mana kontrak tersebut dibuat, diciptakan) dengan lex loci solutionis (pilihan hukum ditentukan dari tempat di mana kontrak tersebut dilaksanakan).
     
    Lex loci solutionis termasuk dalam salah satu pilihan hukum. Pilihan hukum ini dapat juga ditafsirkan sebagai asas kebebasan berkontrak. Menurut Sudargo Gautama dalam bukunya Hukum Perdata Internasional Indonesia (hal. 5), prinsip ini secara umum dapat diterapkan dimana saja, namun terdapat setidaknya empat batasan yang perlu diperhatikan, antara lain, hanya berlaku di bidang kontrak, tidak melanggar ketertiban umum, tidak menjelma menjadi penyelundupan hukum, serta tidak berlaku pada kaidah super memaksa.
     
    Berdasarkan uraian tersebut, maka menurut hemat kami, kontrak kerja ini seharusnya memberlakukan hukum ketenagakerjaan Indonesia, bukan hukum dari negara yayasan pemberi pekerjaan.
     
    Perlawanan Hukum atas Pemberhentian Kerja
    Kedua prinsip tersebut nantinya akan dipertimbangkan apabila Anda mengajukan gugatan perselisihan hubungan industrial. Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2004. tentang Penyelesaian Perselisihan Hubungan Industrial (“UU 2/2004”) menguraikan bahwa:
     
    Perselisihan Hubungan Industrial adalah perbedaan pendapat yang mengakibatkan pertentangan antara pengusaha atau gabungan pengusaha dengan pekerja/buruh atau serikat pekerja/serikat buruh karena adanya perselisihan mengenai hak, perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja dan perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh dalam satu perusahaan.
     
    Jenis perselisihan hubungan industrial meliputi:[5]
    1. perselisihan hak;
    2. perselisihan kepentingan;
    3. perselisihan pemutusan hubungan kerja; dan
    4. perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh hanya dalam satu perusahaan.
     
    Perselisihan hubungan industrial wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat. Penyelesaian perselisihan melalui bipartit harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan. Apabila dalam jangka waktu 30 hari salah satu pihak menolak untuk berunding atau telah dilakukan perundingan tetapi tidak mencapai kesepakatan, maka perundingan bipartit dianggap gagal. [6]
     
    Pasal 4 UU 2/2004 kemudian menguraikan bahwa:
     
    1. Dalam hal perundingan bipartit gagal sebagaimana dimaksud dalam Pasal 3 ayat (3), maka salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan bipartit telah dilakukan;
    2. Apabila bukti-bukti sebagaimana dimaksud pada ayat (1) tidak dilampirkan, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan mengembalikan berkas untuk dilengkapi paling lambat dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja terhitung sejak tanggal diterimanya pengembalian berkas;
    3. Setelah menerima pencatatan dari salah satu atau para pihak, instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat wajib menawarkan kepada para pihak untuk menyepakati memilih penyelesaian melalui konsiliasi atau melalui arbitrase;
    4. Dalam hal para pihak tidak menetapkan pilihan penyelesaian melalui konsiliasi atau arbitrase dalam waktu 7 (tujuh) hari kerja, maka instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan melimpahkan penyelesaian perselisihan kepada mediator;
    5. Penyelesaian melalui konsiliasi dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan, perselisihan pemutusan hubungan kerja, atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh;
    6. Penyelesaian melalui arbitrase dilakukan untuk penyelesaian perselisihan kepentingan atau perselisihan antar serikat pekerja/serikat buruh.
     
    Apabila penyelesaian melalui konsiliasi atau mediasi tidak mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada pengadilan hubungan industrial (“PHI”).[7] Menurut Ari Hermawan dalam bukunya Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial, (hlm.123), PHI sebagai lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial yang ada pada saat ini dituntut tidak hanya harus adil dalam mengambil keputusan namun juga harus sensitif dengan persoalan pekerja, sebagai pihak yang paling lemah dalam hubungan industrial.
     
    Menurut hemat kami, perselisihan yang terjadi antara Anda dan yayasan dapat dikategorikan sebagai perselisihan hak dan/atau perselisihan pemutusan hubungan kerja. Anda dapat dapat mengajukan gugatan ke PHI dengan mengacu pada tempat kontrak tersebut dilaksanakan (lex loci solutionis), yaitu di Indonesia.
     
    Dalam mengajukan gugatan nantinya, Anda dapat menggunakan jasa advokat atau diajukan oleh Anda sendiri, dengan menyiapkan bukti-bukti yang diperlukan dan telah di-nazegelen (pematerian kemudian). Bukti tersebut misalnya berbentuk salinan perjanjian/kontrak antara Anda dengan yayasan asing tersebut, dan saksi yang mengetahui bahwa Anda pernah bekerja di yayasan tersebut.
     
    Penggunaan Bahasa Indonesia
    Terdapat beberapa kondisi lain yang juga mempengaruhi keabsahan perjanjian kerja tersebut, yaitu penggunaan bahasa. Pasal 31 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2009 tentang Bendera, Bahasa, dan Lambang Negara, serta Lagu Kebangsaan (“UU 24/2009”) menyebutkan bahwa:
     
    Bahasa Indonesia wajib digunakan dalam nota kesepahaman atau perjanjian yang melibatkan lembaga negara, instansi pemerintah Republik Indonesia, lembaga swasta Indonesia atau perseorangan warga negara Indonesia.
     
    UU 24/2009 sendiri tidak secara jelas memberikan sanksi terkait pelanggaran atas Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009 tersebut. Namun, perjanjian yang tidak dibuat dengan bahasa indonesia membuat syarat sah perjanjian dalam Pasal 1320 KUH Perdata tidak tepenuhi, khususnya aspek suatu hal yang halal atau tidak terlarang.
     
    Dalam hal ini, Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572K/Pdt/2015 dapat menjadi contoh bagi pembatalan perjanjian yang tidak menggunakan bahasa indonesia. Dalam pertimbangannya hakim menyatakan bahwa loan agreement yang menjadi objek sengketa tidak dibuat dalam bahasa indonesia membuktikan bahwa perjanjian yang dibuat para pihak bertentangan dengan ketentuan Pasal 31 ayat (1) UU 24/2009. Dengan demikian, perjanjian tersebut merupakan perjanjian yang dibuat berdasarkan sebab yang terlarang, sehingga sesuai ketentuan Pasal 1335 jo. Pasal 1337 KUH Perdata, perjanjian tersebut batal demi hukum.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Putusan:
    Putusan Mahkamah Agung Nomor 1572K/Pdt/2015.
     
    Referensi:
    1. Ari Hermawan. Penyelesaian Sengketa Hubungan Industrial. Yogyakarta: UII Press, 2019;
    2. Sudargo Gautama. Hukum Perdata Internasional Indonesia, Cetakan Kedua, Buku Kelima. Bandung: Penerbit Alumni, 1998.

    [1] Pasal 1 angka 1 UU Yayasan
    [2] Penjelasan Pasal 26 ayat (1) PP 63/2008
    [3] Pasal 1 angka 3 UU Ketenagakerjaan
    [4] Pasal 62 UU Ketenagakerjaan
    [5] Pasal 2 UU 2/2004
    [6] Pasal 3 UU 2/2004
    [7] Pasal 5 UU 2/2004

    Tags

    perselisihan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Cara Hitung Pesangon Berdasarkan UU Cipta Kerja

    18 Agu 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!