Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Artikel di bawah ini adalah pemutakhiran dari artikel dengan judul Ketentuan Poligami bagi WNA yang dibuat oleh Yudha Khana Saragih, S.H. dari Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron dan pertama kali dipublikasikan pada Rabu, 6 November 2019.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
Pengertian dan Dasar Hukum Poligami
Sebelum menjawab pertanyaan Anda, sebaiknya kita pahami dulu apa yang dimaksud dengan poligami. Kata poligami sendiri berasal dari Bahasa Yunani “polygamie”, yaitu poly yang berarti banyak dan gamie yang berarti laki-laki. Jadi, arti dari poligami adalah laki-laki yang beristri lebih dari satu orang wanita dalam satu ikatan perkawinan.[1]
Berdasarkan pertanyaan Anda, kami asumsikan bahwa Anda ingin melangsungkan pernikahan dengan seorang pria Warga Negara Asing (“WNA”) di wilayah Indonesia, sehingga perkawinan tersebut tunduk pada peraturan perundang-undangan yang berlaku di Indonesia.
Sebagaimana diuraikan dalam Pasal 1 UU Perkawinan, pengertian perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa.
Berdasarkan ketentuan tersebut, hukum perkawinan Indonesia pada dasarnya berasaskan monogami.[2] Hal ini ditegaskan pula dalam Pasal 3 ayat (1) UU Perkawinan, yang berbunyi:
Pada azasnya dalam suatu perkawinan seorang pria hanya boleh mempunyai seorang istri. Seorang wanita hanya boleh mempunyai seorang suami.
Akan tetapi, UU Perkawinan memberikan pengecualian, sebagaimana dapat kita lihat Pasal 3 ayat (2) UU Perkawinan yang menyatakan bahwa pengadilan dapat memberi izin kepada seorang suami untuk beristri lebih dari seorang apabila dikehendaki oleh pihak-pihak yang bersangkutan.
Berkaitan dengan hal seorang suami akan beristri lebih dari seorang, ia wajib mengajukan permohonan kepada pengadilan di daerah tempat tinggalnya.[3] Kemudian, pengadilan yang dimaksud hanya memberikan izin kepada seorang suami yang akan beristri lebih dari seorang apabila:[4]
- istri tidak dapat menjalankan kewajibannya sebagai istri;
- istri mendapat cacat badan atau penyakit yang tidak dapat disembuhkan; dan
- istri tidak dapat melahirkan keturunan.
Selanjutnya, berdasarkan informasi yang Anda sampaikan, pria WNA tersebut beragama Islam, maka pengaturan tentang poligami juga harus merujuk pada Pasal 55 KHI sebagai berikut:
- Beristeri lebih satu orang pada waktu bersamaan, terbatas hanya sampai empat isteri;
- Syarat utama beristeri lebih dari seorang, suami harus mampu berlaku adil terhadap ister-isteri dan anak-anaknya;
- Apabila syarat utama yang disebut pada ayat (2) tidak mungkin dipenuhi, suami dilarang beristeri dari seorang.
Lalu, Anda menyebutkan bahwa istri dari pria WNA tersebut telah menyetujui suaminya untuk melakukan poligami. Dengan demikian, salah satu syarat permohonan poligami dalam Pasal 5 ayat (1) UU Perkawinan telah terpenuhi sebagai berikut:
Untuk dapat mengajukan permohonan kepada Pengadilan, sebagaimana dimaksud dalam Pasal 4 ayat (1) Undang-undang ini, harus dipenuhi syarat-syarat sebagai berikut:
- adanya persetujuan dari isteri/isteri-isteri;
- adanya kepastian bahwa suami mampu menjamin keperluan-keperluan hidup isteri-isteri dan anak-anak mereka;
- adanya jaminan bahwa suami akan berlaku adil terhadap isteri-isteri dan anak-anak mereka.
Namun, meskipun suami telah mendapat persetujuan dari istri untuk poligami, harus diingat bahwa suami yang hendak beristri lebih dari satu orang juga harus mendapatkan izin dari Pengadilan Agama.[5] Jika perkawinan yang dilakukan dengan isteri kedua, ketiga atau keempat tidak ada izin dari Pengadilan Agama, maka perkawinan tidak mempunyai kekuatan hukum.[6]
Aturan Hukum Perkawinan Campuran
Sebagai informasi, perkawinan Anda sebagai Warga Negara Indonesia (“WNI”) dengan calon suami Anda yang memiliki kewarganegaraan asing dikategorikan sebagai perkawinan campuran. Perkawinan campuran diatur dalam Pasal 57 UU Perkawinan, yang berbunyi sebagai berikut:
Yang dimaksud dengan perkawinan campuran dalam undang–undang ini ialah perkawinan antara dua orang yang di Indonesia tunduk pada hukum yang berlainan, karena perbedaan kewarganegaraan dan salah satu pihak berkewarganegaraan asing dan salah satu pihak berkewarganegaraan Indonesia.
Perlu dipahami, perkawinan campuran yang dilangsungkan di Indonesia dilakukan menurut UU Perkawinan,[7] dan tidak dapat dilangsungkan sebelum terbukti bahwa syarat-syarat perkawinan yang ditentukan oleh hukum yang berlaku bagi pihak masing-masing telah dipenuhi [8]
Hal-hal yang berkaitan dengan prosedur dan syarat melakukan perkawinan campuran dapat Anda temukan dalam artikel Mau Menikah dengan WNA? Begini Prosedur dan Risiko Hukumnya!
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
- Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan yang diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
- Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam.
Referensi:
- Beggy Tamara dan Isti Fauziah Rusmayani. Tindak Pidana yang Menyebabkan Perceraian. Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 15, No. 2, 2019;
- Reza Fitra Ardhian (et.al). Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama. Privat Law, Vol. 3, No. 2, 2015.
[1] Reza Fitra Ardhian (et.al). Poligami dalam Hukum Islam dan Hukum Positif Indonesia serta Urgensi Pemberian Izin Poligami di Pengadilan Agama. Privat Law, Vol. 3, No. 2, 2015, hal. 100.
[2] Beggy Tamara dan Isti Fauziah Rusmayani. Tindak Pidana yang Menyebabkan Perceraian. Jurnal Supremasi Hukum, Vol. 15, No. 2, 2019, hal. 76.
[4] Pasal 4 ayat (2) UU Perkawinan.
[6] Pasal 56 ayat (2) KHI.
[7] Pasal 59 ayat (2) UU Perkawinan.
[8] Pasal 60 ayat (1) UU Perkawinan.