KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukumnya Penjual yang Menipu Konsumen dengan Bundling

Share
copy-paste Share Icon
Perlindungan Konsumen

Hukumnya Penjual yang Menipu Konsumen dengan Bundling

Hukumnya Penjual yang Menipu Konsumen dengan <i>Bundling</i>
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukumnya Penjual yang Menipu Konsumen dengan <i>Bundling</i>

PERTANYAAN

Saya merasa tertipu oleh suatu toko, saya diming-imingi mendapat suatu hadiah, lalu dihadapkan pada 3 pilihan hadiah pokok dengan pembayaran paling tinggi 40% dari harga asli. Ternyata di amplop tersebut saya harus membayar seharga Rp800ribu dari harga asli Rp2juta, namun saya mendapat 2 barang gratis lainnya yang kira-kira seharga Rp300ribu. Setelah saya membayarnya, saya mencoba mencari harga barang tersebut secara online, ternyata aslinya hanya sekitar Rp80ribu. Apakah saya bisa mengajukan gugatan apabila saya sudah menandatangani perjanjian?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Pelaku usaha yang menipu pembelinya untuk membeli barang, dapat pula dipidana atas tindak pidana penipuan sebagaimana diatur dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana. Terhadap perjanjian yang didasarkan atas penipuan, dapat dilakukan pembatalan perjanjian sebagaimana diatur dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata. Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu perjanjian.
     
    Anda selaku konsumen juga dapat menggugat pelaku usaha jika memang informasi barang dan/atau harga sejak awal sengaja disesatkan. Bagaimana ketentuan selengkapnya?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Bundling
    Penjualan barang demikian yang Anda maksud adalah bundling. Menurut Stefan Strernersch dan Gerard J. Tellis sebagaimana dikutip oleh Indirani Wauran-Wicaksono dalam artikel Aktivitas Bancassurance dalam Dunia Perbankan: Adakah Praktik Bundling yang Melanggar Hukum Persaingan Usaha?, bundling adalah penjualan dua atau lebih produk yang berbeda dalam satu paket. Maksud dari produk yang berbeda adalah setiap produk yang dijual secara bundling pada dasarnya memiliki pangsa pasar sendiri, artinya konsumen dimungkinkan membeli masing-masing produk secara terpisah apabila produk tersebut tidak dijual secara bundle (hal. 81).
     
    Jadi, menurut hemat kami, yang dilakukan oleh pelaku usaha dalam pertanyaan Anda adalah bundling.
     
    Kewajiban Pelaku Usaha dalam Perlindungan Konsumen
    Kita terlebih dahulu harus memahami apa yang menjadi kewajiban pelaku usaha sebagaimana diatur dalam Undang-Undang Nomor 8 Tahun 1999 tentang Perlindungan Konsumen (“UU 8/1999”). Pasal 1 angka 3 UU 8/1999 menjelaskan bahwa:
     
    Pelaku usaha adalah setiap orang perseorangan atau badan usaha, baik yang berbentuk badan hukum maupun bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan atau melakukan kegiatan dalam wilayah hukum negara Republik Indonesia, baik sendiri maupun bersama-sama melalui perjanjian menyelenggarakan kegiatan usaha dalam berbagai bidang ekonomi.
     
    Selain itu, Pasal 1 angka 2 UU 8/1999 berbunyi:
     
    Konsumen adalah setiap orang pemakai barang dan/atau jasa yang tersedia dalam masyarakat, baik bagi kepentingan diri sendiri, keluarga, orang lain maupun makhluk hidup lain dan tidak untuk diperdagangkan.
     
    Pelaku usaha berkewajiban untuk:[1]
    1. beritikad baik dalam melakukan kegiatan usahanya;
    2. memberikan informasi yang benar, jelas dan jujur mengenai kondisi dan jaminan barang dan/atau jasa serta memberi penjelasan penggunaan, perbaikan dan pemeliharaan;
    3. memperlakukan atau melayani konsumen secara benar dan jujur serta tidak diskriminatif;
    4. menjamin mutu barang dan/atau jasa yang diproduksi dan/atau diperdagangkan berdasarkan ketentuan standar mutu barang dan/atau jasa yang berlaku;
    5. memberi kesempatan kepada konsumen untuk menguji, dan/atau mencoba barang dan/atau jasa tertentu serta memberi jaminan dan/atau garansi atas barang yang dibuat dan/atau yang diperdagangkan;
    6. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian atas kerugian akibat penggunaan, pemakaian dan pemanfaatan barang dan/atau jasa yang diperdagangkan;
    7. memberi kompensasi, ganti rugi dan/atau penggantian apabila barang dan/atau jasa yang diterima atau dimanfaatkan tidak sesuai dengan perjanjian.
     
    Hal yang Dilarang Dilakukan oleh Pelaku Usaha
    Pasal 10 UU 8/1999 menerangkan bahwa pelaku usaha dalam menawarkan barang dan/atau jasa yang ditujukan untuk diperdagangkan dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan atau membuat pernyataan yang tidak benar atau menyesatkan mengenai:
    1. harga atau tarif suatu barang dan/atau jasa;
    2. kegunaan suatu barang dan/atau jasa;
    3. kondisi, tanggungan, jaminan, hak atau ganti rugi atas suatu barang dan/atau jasa;
    4. tawaran potongan harga atau hadiah menarik yang ditawarkan;
    5. bahaya penggunaan barang dan/atau jasa.
     
    Pelaku usaha pun dilarang menawarkan, mempromosikan, mengiklankan suatu barang dan/atau jasa secara tidak benar, dan/atau seolah-olah barang tersebut telah memenuhi dan/atau memiliki potongan harga, harga khusus, standar mutu tertentu, gaya atau mode tertentu, karakteristik tertentu, sejarah atau guna tertentu.[2]
     
    Pelaku usaha dalam hal penjualan yang dilakukan melalui cara obral atau lelang, dilarang mengelabui/menyesatkan konsumen dengan menaikkan harga atau tarif barang dan/atau jasa sebelum melakukan obral.[3] Pelaku usaha dilarang menawarkan, mempromosikan, atau mengiklankan suatu barang dan/jasa dengan cara menjanjikan pemberian hadiah berupa barang dan/atau jasa lain secara cuma-cuma dengan maksud tidak memberikannya atau memberikan tidak sebagaimana yang dijanjikannya.[4]
     
    Terhadap pelanggaran Pasal 9 dan/atau Pasal 10 UU 8/1999, pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 5 tahun atau pidana denda paling banyak Rp2 miliar.[5] Sementara itu, terhadap pelanggaran Pasal 11 dan/atau Pasal 13 ayat (1) UU 8/1999, pelaku usaha dapat dipidana dengan pidana penjara paling lama 2 tahun atau pidana denda paling banyak Rp500 juta.[6] Pembayaran ganti rugi, perintah penghentian kegiatan tertentu yang menyebabkan timbulnya kerugian konsumen, dan kewajiban penarikan barang dari peredaran antara lain dapat menjadi bagian dari hukuman tambahan dari penjatuhan pidana yang telah dijelaskan diatas.[7]
     
    Tindak Pidana Penipuan
    Selain pelanggaran terhadap ketentuan dalam UU 8/1999, pelaku usaha juga diancam ketentuan pidana dalam Pasal 378 Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang berbunyi:
     
    Barang siapa dengan maksud untuk menguntungkan diri sendiri atau orang lain secara melawan hukum, dengan memakai nama palsu atau martabat palsu, dengan tipu muslihat, ataupun rangkaian kebohongan, menggerakkan orang lain untuk menyerahkan barang sesuatu kepadanya, atau supaya memberi hutang maupun menghapuskan piutang, diancam karena penipuan dengan pidana penjara paling lama 4 tahun.
     
    R. Soesilo dalam bukunya yang berjudul Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal (hal. 261) menjelaskan unsur-unsur dari tindak pidana penipuan yang perlu diperhatikan yaitu:
     
    Kejahatan ini dinamakan “penipuan”, yaitu yang melakukan:
    1. membujuk orang supaya memberikan barang, membuat utang atau menghapuskan piutang;
    2. maksud pembujukan itu ialah: hendak menguntungkan diri sendiri atau orang lain dengan melawan hak;
    3. membujuknya itu dengan memakai:
      1. nama palsu atau keadaan palsu;
    nama yang digunakan bukanlah namanya sendiri, sebagai contoh nama ‘Saimin’ dikatakan ‘Zaimin’, tidak dapat dikatakan menyebut nama palsu, akan tetapi kalau ditulis, maka dianggap sebagai menyebut nama palsu.
     
      1. akal cerdik (tipu muslihat); atau
    suatu tipu yang demikian liciknya, sehingga seorang yang berpikiran normal dapat tertipu.
     
      1. karangan perkataan bohong;
    satu kata bohong tidaklah cukup, harus terdapat banyak kata-kata bohong yang tersusun demikian rupa, sehingga keseluruhannya merupakan cerita sesuatu yang seakan-akan benar.
     
    Menurut hemat kami, pelaku usaha dapat dikatakan melakukan penipuan jika berusaha membujuk Anda dengan tipu muslihat dan/atau rangkaian perkataan bohong mengenai rincian bundling, potongan harga, harga asli, atau kondisi barang, sehingga Anda tertarik membeli barang tersebut.
     
    Kebasahan Perjanjian
    Syarat sahnya perjanjian tercantum dalam Pasal 1320 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”) yaitu:
     
    Supaya terjadi persetujuan yang sah, perlu dipenuhi empat syarat;
    1. kesepakatan mereka yang mengikatkan dirinya;
    2. kecakapan untuk membuat suatu perikatan;
    3. suatu pokok persoalan tertentu;
    4. suatu sebab yang tidak terlarang.
     
    Ricardo Simanjuntak dalam bukunya Teknik Perancangan Kontrak Bisnis (hal. 123) menyatakan bahwa keempat syarat diatas dapat dibagi dalam 2 bagian. Syarat pada poin 1 dan 2 menyangkut subjek (orang) dari perjanjian tersebut sehingga apabila tidak terpenuhi, maka perjanjian dapat dibatalkan. Syarat pada poin 3 dan 4 menyangkut objek (prestasi) perjanjian dan tidak terpenuhinya syarat tersebut akan membuat perjanjian batal demi hukum.
     
    Pasal 1321 KUH Perdata menerangkan bahwa:
     
    Tiada suatu persetujuan pun mempunyai kekuatan jika diberikan karena kekhilafan atau diperoleh dengan paksaan atau penipuan.
     
    Selanjutnya, Pasal 1328 KUH Perdata menjelaskan bahwa:
     
    Penipuan merupakan suatu alasan untuk membatalkan suatu persetujuan, bila penipuan yang dipakai oleh salah satu pihak adalah sedemikian rupa, sehingga nyata bahwa pihak yang lain tidak akan mengadakan perjanjian itu tanpa adanya tipu muslihat. Penipuan tidak dapat hanya dikira-kira, melainkan harus dibuktikan.
     
    Perikatan yang dibuat dengan paksaan, penyesatan atau penipuan, menimbulkan tuntutan untuk membatalkannya.[8] Maka dari itu, jika kegiatan jual-beli yang Anda lakukan berdasarkan penipuan, maka, menurut hemat kami, perjanjian jual-beli tersebut dapat dibatalkan.
     
    Penyelesaian Sengketa
    Pasal 45 UU 8/1999 menerangkan bahwa:
    1. Konsumen dapat menggugat pelaku usaha melalui lembaga yang bertugas menyelesaikan sengketa antara konsumen dan pelaku usaha atau melalui peradilan yang berada di lingkungan peradilan umum;
    2. Penyelesaian sengketa dapat ditempuh melalui pengadilan atau di luar pengadilan berdasarkan pilihan sukarela para pihak yang bersengketa. Dalam hal penyelesaian sengketa di luar pengadilan dilakukan, tidak mengakibatkan hilangnya tanggung jawab pidana; dan
    3. Jika telah dipilih upaya penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, gugatan melalui pengadilan hanya dapat ditempuh apabila upaya tersebut dinyatakan tidak berhasil oleh salah satu pihak atau oleh para pihak yang bersengketa.
     
    Untuk penyelesaian sengketa konsumen di luar pengadilan, Anda dapat mengajukan prosesnya ke Badan Penyelesaian Sengketa Konsumen.[9]
     
    Berdasarkan uraian di atas, jika pelaku usaha memang menipu Anda agar Anda membeli barang tersebut beserta dengan barang lain yang melekat sebagai bundle dari pembelian tersebut, maka Anda memiliki hak untuk menggugat pelaku usaha, baik di dalam maupun di luar pengadilan.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Referensi:
    1. R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) Serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1991;
    2. Ricardo Simanjuntak. Teknik Perancangan Kontrak Bisnis. Mingguan Ekonomi & Bisnis Jakarta: KONTAN, 2006;
    3. Indirani Wauran-Wicaksono. “Aktivitas Bancassurance dalam Dunia Perbankan: Adakah Praktik Bundling yang Melanggar Hukum Persaingan Usaha?”. Refleksi Hukum, vol.9, no.1. Universitas Kristen Satya Wacana, 2015.
     

    [1] Pasal 7 UU 8/1999
    [2] Pasal 9 ayat (1) huruf a UU 8/1999
    [3] Pasal 11 huruf f UU 8/1999
    [4] Pasal 13 ayat (1) UU 8/1999
    [5] Pasal 62 ayat (1) UU 8/1999
    [6] Pasal 62 ayat (2) UU 8/1999
    [7] Pasal 63 huruf c, d, dan e UU 8/1999
    [8] Pasal 1449 KUH Perdata
    [9] Pasal 52 UU 8/1999

    Tags

    perbuatan melawan hukum
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!