KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Pemberhentian Kades yang Gemar Berbuat Zina

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Pemberhentian Kades yang Gemar Berbuat Zina

Pemberhentian Kades yang Gemar Berbuat Zina
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Pemberhentian Kades yang Gemar Berbuat Zina

PERTANYAAN

Apakah kepala desa bisa diberhentikan karena perilakunya yang gemar meniduri beberapa perempuan yang sudah bersuami yang juga warganya sendiri?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Kepala Desa diberhentikan apabila memenuhi alasan tertentu sebagaimana ditentukan dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa, yang, di antaranya, jika melanggar larangan bagi kepala desa atau tidak melaksanakan kewajibannya. Lalu, apakah meniduri perempuan yang telah bersuami dapat dijadikan alasan lain untuk memberhentikan seorang kepala desa?
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Pemberhentian Kepala Desa
    Pengangkatan dan pemberhentian kepala desa diatur dalam Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 82/2015”) sebagaimana telah diubah dengan Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 66 Tahun 2017 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Dalam Negeri Nomor 82 Tahun 2015 tentang Pengangkatan dan Pemberhentian Kepala Desa (“Permendagri 66/2017”).
     
    Kepala Desa adalah pejabat pemerintah desa yang mempunyai wewenang, tugas dan kewajiban untuk menyelenggarakan rumah tangga desanya dan melaksanakan tugas dari pemerintah dan pemerintah daerah.[1]
     
    Pemberhentian kepala desa dapat terjadi dengan berbagai alasan, yaitu:[2]
    1. meninggal dunia;
    2. permintaan sendiri; atau
    3. diberhentikan.
     
    Kepala Desa diberhentikan, karena:[3]
    1. berakhir masa jabatannya;
    2. tidak dapat melaksanakan tugas secara berkelanjutan atau berhalangan tetap secara berturut-turut selama 6 bulan karena menderita sakit yang mengakibatkan baik fisik maupun mental, tidak berfungsi secara normal yang dibuktikan dengan surat keterangan dokter yang berwenang dan/atau tidak diketahui keberadaannya;
    3. tidak lagi memenuhi syarat sebagai kepala desa;
    4. melanggar larangan sebagai kepala desa;
    5. adanya perubahan status desa menjadi kelurahan, penggabungan 2 desa atau lebih menjadi 1 desa baru, atau penghapusan desa;
    6. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa; dan/atau
    7. dinyatakan sebagai terpidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
     
    Selain itu, kepala desa juga dapat diberhentikan sementara oleh bupati/walikota, karena:[4]
    1. tidak melaksanakan kewajiban sebagai kepala desa;
    2. melanggar larangan sebagai kepala desa;
    3. dinyatakan sebagai terdakwa yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan register perkara di pengadilan; dan
    4. ditetapkan sebagai tersangka dalam tindak pidana korupsi, teroris, makar, dan/atau tindak pidana terhadap keamanan negara.
     
    Selanjutnya, Badan Permusyawaratan Desa melaporkan kepada bupati/walikota melalui camat atau sebutan lain jika kepala desa berhenti.[5] Laporan tersebut memuat materi kasus yang dialami oleh kepala desa yang bersangkutan dan kemudian bupati/walikota melakukan kajian untuk proses selanjutnya atas laporan tersebut.[6]
     
    Lebih lanjut, pengesahan pemberhentian kepala desa ditetapkan dengan keputusan bupati/walikota yang disampaikan kepada kepala desa yang bersangkutan dan para pejabat terkait pada tingkat provinsi dan kabupaten/kota.[7]
     
    Kewajiban dan Larangan bagi Kepala Desa
    Berdasarkan Pasal 26 ayat (4) huruf c, d, dan m Undang-Undang Nomor 6 Tahun 2014 tentang Desa (“UU Desa”), dalam melaksanakan tugasnya, kepala desa berkewajiban, di antaranya:
    1. memelihara ketenteraman dan ketertiban masyarakat desa;
    2. menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan; dan
    3. membina dan melestarikan nilai sosial budaya masyarakat desa;
     
    Larangan yang berlaku bagi kepala desa merujuk pada Pasal 29 UU Desa, antara lain:
    1. merugikan kepentingan umum;
    2. membuat keputusan yang menguntungkan diri sendiri, anggota keluarga, pihak lain, dan/atau golongan tertentu;
    3. menyalahgunakan wewenang, tugas, hak, dan/atau kewajibannya;
    4. melakukan tindakan diskriminatif terhadap warga dan/atau golongan masyarakat tertentu;
    5. melakukan tindakan meresahkan sekelompok masyarakat desa;
    6. melakukan kolusi, korupsi, dan nepotisme, menerima uang, barang, dan/atau jasa dari pihak lain yang dapat memengaruhi keputusan atau tindakan yang akan dilakukannya;
    7. menjadi pengurus partai politik;
    8. menjadi anggota dan/atau pengurus organisasi terlarang;
    9. merangkap jabatan sebagai ketua dan/atau anggota Badan Permusyawaratan Desa, anggota Dewan Perwakilan Rakyat Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Daerah Republik Indonesia, Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Provinsi atau Dewan Perwakilan Rakyat Daerah Kabupaten/Kota, dan jabatan lain yang ditentukan dalam peraturan perundangan-undangan;
    10. ikut serta dan/atau terlibat dalam kampanye pemilihan umum dan/atau pemilihan kepala daerah;
    11. melanggar sumpah/janji jabatan; dan
    12. meninggalkan tugas selama 30 hari kerja berturut-turut tanpa alasan yang jelas dan tidak dapat dipertanggungjawabkan.
     
    Tindak Pidana Perzinaan
    Perbuatan yang dilakukan oleh kepala desa sebagaimana yang Anda terangkan, menurut hemat kami, dapat dipandang sebagai perzinaan atau pemerkosaan. Hal ini tergantung bagaimana perbuatan itu dilakukan.
     
    Perbuatan zina diatur dalam Pasal 284 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (“KUHP”) yang selengkapnya berbunyi:
     
    Diancam dengan pidana penjara paling lama sembilan bulan:
    1. a.   seorang pria yang telah kawin yang melakukan gendak (overspel), padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
    b. seorang perempuan yang telah kawin yang melakukan gendak, padahal diketahui bahwa pasal 27 BW berlaku baginya,
    1. a.  seorang pria yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahuinya bahwa yang turut bersalah telah kawin;
    b. seorang perempuan yang telah kawin yang turut serta melakukan perbuatan itu, padahal diketahui olehnya bahwa yang turut bersalah telah kawin dan pasal 27 BW berlaku baginya.
     
    R. Soesilo dalam bukunya Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal menggunakan istilah ‘zina’ untuk menerangkan gendak (hal. 208 – 209).
     
    R. Soesilo menjelaskan zina sebagai persetubuhan oleh laki-laki atau perempuan yang telah kawin dengan perempuan atau laki-laki yang bukan isteri atau suaminya. Supaya masuk pasal ini, maka persetubuhan itu harus dilakukan dengan suka sama suka, tidak boleh ada paksaan dari salah satu pihak (hal. 209).
     
    Penuntutan hanya dilakukan atas pengaduan suami/istri yang bersangkutan, sehingga berlaku delik aduan sebagaimana dimaksud dalam Pasal 284 ayat (2) KUHP, yaitu:
     
    Tidak dilakukan penuntutan melainkan atas pengaduan suami/istri yang tercemar, dan bilamana bagi mereka berlaku pasal 27 BW, dalam tenggang waktu tiga bulan diikuti dengan permintaan bercerai atau pisah-meja dan ranjang karena alasan itu juga.
     
    Tindak Pidana Pemerkosaan
    Sedangkan tindak pidana pemerkosaan merujuk pada Pasal 285 KUHP, yakni:
     
    Barang siapa dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa seorang perempuan bersetubuh dengan dia di luar perkawinan, diancam karena melakukan perkosaan dengan pidana penjara paling lama dua belas tahun.
     
    R. Soesilo menjelaskan bahwa yang diancam hukuman dalam pasal ini ialah dengan kekerasan atau ancaman kekerasan memaksa perempuan yang bukan istrinya untuk bersetubuh dengan dia (hal. 210).
     
    Untuk tindak pidana pemerkosaan berlaku delik biasa dan bukan delik aduan seperti tindak pidana perzinaan sebagaimana diterangkan dalam artikel Proses Hukum Kejahatan Perkosaan, Pencabulan, dan Perzinahan.
     
    Berdasarkan uraian di atas, kami berpendapat bahwa kepala desa dapat saja diberhentikan jika melakukan tindak pidana, secara khusus pemerkosaan. Hal ini dikarenakan ancaman pidana penjara untuk perzinaan paling lama hanya 9 bulan, sedangkan pemerkosaan ancaman pidana penjaranya paling lama 12 tahun. Untuk diberhentikan karena tindak pidana, kepala desa harus dinyatakan bersalah melakukan tindak pidana yang diancam dengan pidana penjara paling singkat 5 tahun berdasarkan putusan pengadilan yang telah mempunyai kekuatan hukum tetap.
     
    Anda tidak menerangkan mengenai modus yang digunakan oleh kepala desa dalam melakukan perbuatannya. Oleh karena itu, kami asumsikan ia memanfaatkan jabatannya sebagai kepala desa untuk bersetubuh dengan perempuan di desanya.
     
    Maka dari itu, kepala desa juga dapat memenuhi alasan pemberhentian lain, yaitu pelanggaran larangan mengenai menyalahgunakan wewenangnya dan/atau melakukan perbuatan yang meresahkan masyarakat desa, karena kerap kali berbuat zina dan/atau memaksa berhubungan badan dengan para istri dari warganya.
     
    Alasan pemberhentian lain, yaitu kepala desa tidak melaksanakan kewajibannya dengan bersetubuh dengan perempuan bersuami, sehingga, menurut hemat kami, dapat dipandang sebagai perbuatan yang tidak memelihara ketenteraman dan ketertiban serta membina nilai sosial budaya masyarakat. Perbuatan tersebut juga bertentangan dengan kewajibannya untuk menaati dan menegakkan peraturan perundang-undangan.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Referensi:
    R. Soesilo. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (KUHP) serta Komentar-Komentarnya Lengkap Pasal Demi Pasal. Bogor: Politeia, 1994.
     

    [1] Pasal 1 angka 4 Permendagri 66/2017
    [2] Pasal 8 ayat (1) Permendagri 66/2017
    [3] Pasal 8 ayat (2) Permendagri 66/2017
    [4] Pasal 9 Permendagri 82/2015
    [5] Pasal 8 ayat (3) jo. Pasal 8 ayat (1) Permendagri 66/2017
    [6] Pasal 8 ayat (4) dan (5) Permendagri 66/2017
    [7] Pasal 10 Permendagri 82/2015

    Tags

    hukumonline
    lembaga pemerintah

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!