KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Jerat Pidana Pedagang Gadis Bandung di Bawah Umur

Share
copy-paste Share Icon
Pidana

Jerat Pidana Pedagang Gadis Bandung di Bawah Umur

Jerat Pidana Pedagang Gadis Bandung di Bawah Umur
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Jerat Pidana Pedagang Gadis Bandung di Bawah Umur

PERTANYAAN

Di Bandung, beberapa waktu lalu, diberitakan ada penjualan gadis di bawah umur. Mereka dikirim ke Pangkal Pinang sebagai PSK. Apa jerat hukum bagi para pelakunya?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.
     
    Setiap orang yang melakukan perdagangan orang di wilayah Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta. Apabila korbannya adalah anak, ancaman pidananya ditambah sepertiga.
     
    Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Tindak Pidana Perdagangan Orang
    Tindak pidana perdagangan orang telah secara jelas diatur dalam Undang-Undang Nomor 21 Tahun 2007 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Perdagangan Orang (“UU 21/2007”).
     
    Perdagangan orang adalah tindakan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, sehingga memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain tersebut, baik yang dilakukan di dalam negara maupun antar negara, untuk tujuan eksploitasi atau mengakibatkan orang tereksploitasi.[1]
     
    Sedangkan tindak pidana perdagangan orang adalah setiap tindakan atau serangkaian tindakan yang memenuhi unsur-unsur tindak pidana yang ditentukan dalam UU 21/2007.[2]
     
    Setiap orang yang melakukan perekrutan, pengangkutan, penampungan, pengiriman, pemindahan, atau penerimaan seseorang dengan ancaman kekerasan, penggunaan kekerasan, penculikan, penyekapan, pemalsuan, penipuan, penyalahgunaan kekuasaan atau posisi rentan, penjeratan utang atau memberi bayaran atau manfaat, walaupun memperoleh persetujuan dari orang yang memegang kendali atas orang lain, untuk tujuan mengeksploitasi orang tersebut di wilayah Indonesia, dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.[3]
     
    Jika perbuatan tersebut mengakibatkan orang tereksploitasi, maka pelaku dipidana dengan pidana yang sama.[4]
     
    Yang dimaksud dengan eksploitasi adalah tindakan dengan atau tanpa persetujuan korban yang meliputi tetapi tidak terbatas pada pelacuran, kerja atau pelayanan paksa, perbudakan atau praktik serupa perbudakan, penindasan, pemerasan, pemanfaatan fisik, seksual, organ reproduksi, atau secara melawan hukum memindahkan atau mentransplantasi organ dan/atau jaringan tubuh atau memanfaatkan tenaga atau kemampuan seseorang oleh pihak lain untuk mendapatkan keuntungan baik materiel maupun imateriel.[5]
     
    Perdagangan Anak
    Dalam pertanyaan, Anda telah menyebutkan bahwa korban merupakan anak di bawah umur. Menurut Pasal 1 angka 1 Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah diubah pertama kali dengan Undang-Undang Nomor 35 Tahun 2014 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak (“UU 35/2014”) sebagaimana telah diubah kedua kali dengan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak sebagaimana telah ditetapkan sebagai undang-undang melalui Undang-Undang Nomor 17 Tahun 2016 tentang Penetapan Peraturan Pemerintah Pengganti Undang-Undang Nomor 1 Tahun 2016 tentang Perubahan Kedua atas Undang-Undang Nomor 23 Tahun 2002 tentang Perlindungan Anak Menjadi Undang-Undang:
     
    Anak adalah seseorang yang belum berusia 18 (delapan belas) tahun, termasuk anak yang masih dalam kandungan.
     
    Setiap orang yang melakukan pengiriman anak ke dalam atau ke luar negeri dengan cara apa pun yang mengakibatkan anak tersebut tereksploitasi dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan pidana denda paling sedikit Rp120 juta dan paling banyak Rp600 juta.[6]
     
    Selain ketentuan tersebut, jika tindak pidana perdagangan orang dalam Pasal 2, Pasal 3, dan Pasal 4 UU 21/2007 dilakukan terhadap anak, maka ancaman pidananya ditambah sepertiga.[7]
     
    Adapun Pasal 76F UU 35/2014 mengatur bahwa:
     
    Setiap Orang dilarang menempatkan, membiarkan, melakukan, menyuruh melakukan, atau turut serta melakukan penculikan, penjualan, dan/atau perdagangan Anak.
     
    Setiap orang yang melanggar ketentuan tersebut dipidana dengan pidana penjara paling singkat 3 tahun dan paling lama 15 tahun dan denda paling sedikit Rp60 juta dan paling banyak Rp300 juta.[8]
     
    Menurut Abu Huraerah dalam Kekerasan Terhadap Anak yang mengutip Suyanto (hal. 104-105), perdagangan anak untuk tujuan seksual disebabkan oleh berbagai faktor. Pertama, adanya kepercayaan bahwa berhubungan seks dengan anak sebagai obat awet muda dan mendatangkan manfaat lainnya. Kedua, anak dipandang masih bersih dari penyakit kelamin.
     
    Ketiga, orang tua terkadang memandang anak sebagai aset yang mendatangkan keuntungan. Keempat, pandangan seksualitas yang sangat menekankan arti penting keperawanan. Kelima, jeratan utang. Keenam, kemiskinan struktural dan disharmoni keluarga.
     
    Restitusi dan Rehabilitasi
    Setiap korban tindak pidana perdagangan orang atau ahli warisnya berhak memperoleh restitusi. Restitusi adalah pembayaran ganti kerugian yang dibebankan kepada pelaku berdasarkan putusan pengadilan yang berkekuatan hukum tetap atas kerugian materiel dan/atau imateriel yang diderita korban atau ahli warisnya.[9]
     
    Restitusi berupa ganti kerugian atas:[10]
    1. kehilangan kekayaan atau penghasilan;
    2. penderitaan;
    3. biaya untuk tindakan perawatan medis dan/atau psikologis; dan/atau
    4. kerugian lain yang diderita korban sebagai akibat perdagangan orang.
     
    Pemberian restitusi dilaksanakan sejak dijatuhkan putusan pengadilan tingkat pertama. Pemberian restitusi dilakukan dalam 14 hari terhitung sejak diberitahukannya putusan yang telah memperoleh kekuatan hukum tetap.[11]
     
    Apabila pelaksanaan pemberian restitusi kepada pihak korban tidak dipenuhi sampai melampaui batas waktu, korban atau ahli warisnya memberitahukan hal tersebut kepada pengadilan. Pengadilan kemudian memberikan surat peringatan secara tertulis kepada pemberi restitusi, untuk segera memenuhi kewajiban memberikan restitusi kepada korban atau ahli warisnya.[12]
     
    Apabila surat peringatan tidak dilaksanakan dalam waktu 14 hari, pengadilan memerintahkan penuntut umum untuk menyita harta kekayaan terpidana dan melelang harta tersebut untuk pembayaran restitusi. Jika pelaku tidak mampu membayar restitusi, maka pelaku dikenai pidana kurungan pengganti paling lama satu tahun.[13]
     
    Korban juga berhak memperoleh rehabilitasi kesehatan, rehabilitasi sosial, pemulangan, dan reintegrasi sosial dari pemerintah apabila yang bersangkutan mengalami penderitaan baik fisik maupun psikis akibat tindak pidana perdagangan orang.[14]
     
    Apabila korban mengalami trauma atau penyakit yang membahayakan dirinya akibat tindak pidana perdagangan orang sehingga memerlukan pertolongan segera, maka menteri atau instansi yang menangani masalah-masalah kesehatan dan sosial di daerah wajib memberikan pertolongan pertama paling lambat tujuh hari setelah permohonan diajukan.[15]
     
    Contoh Kasus
    Contoh penggunaan Pasal 2 jo. Pasal 17 UU 21/2007 tergambar dalam Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor 101/Pid.B/2014/PN Rap. Dalam kasus tersebut, korban yang masih berusia 14 tahun menjadi korban perdagangan anak (hal. 34).
     
    Awalnya, korban melarikan diri dari rumah, karena dimarahi orang tuanya. Ketika seorang saksi bermaksud ingin mengantarkan korban pulang ke rumahnya, korban bertemu dengan Terdakwa yang menghasutnya, sehingga korban memutuskan mengikuti Terdakwa (hal. 23).
     
    Terdakwa kemudian mengajak korban ke suatu hotel dan mempertemukannya dengan seorang pria yang kemudian menyetubuhi korban. Sejak saat itu, korban telah berkali-kali melayani sejumlah laki-laki lain (hal. 23 – 24).
     
    Majelis Hakim menimbang bahwa perbuatan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan memenuhi semua unsur Pasal 2 ayat (2) jo. Pasal 17 UU 21/2007 jo. Pasal 64 ayat (1) Kitab Undang-Undang Hukum Pidana (hal. 37).
     
    Majelis Hakim kemudian menyatakan Terdakwa telah terbukti secara sah dan meyakinkan bersalah melakukan tindak pidana “melakukan perdagangan terhadap anak yang dilakukan secara berlanjut” dan menjatuhkan sanksi pidana penjara selama 6 tahun dan denda sebesar Rp120 juta. Apabila denda tidak dibayar, maka akan diganti dengan pidana penjara selama 6 bulan (hal. 38).
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Pidana;
     
    Putusan:
    Putusan Pengadilan Negeri Rantau Parapat Nomor 101/Pid.B/2014/PN Rap.
     
    Referensi:
    Abu Huraerah. Kekerasan Terhadap Anak. Bandung: Nuansa Cendekia, 2018.
     

    [1] Pasal 1 angka 1 UU 21/2007
    [2] Pasal 1 angka 2 UU 21/2007
    [3] Pasal 2 ayat (1) UU 21/2007
    [4] Pasal 2 ayat (2) UU 21/2007
    [5] Pasal 1 angka 7 UU 21/2007
    [6] Pasal 6 UU 21/2007
    [7] Pasal 17 UU 21/2007
    [8] Pasal 83 UU 35/2014
    [9] Pasal 48 ayat (1) vide Pasal 1 angka 13 UU 21/2007
    [10] Pasal 48 ayat (2) UU 21/2007
    [11] Pasal 48 ayat (4) dan (6) UU 21/2007
    [12] Pasal 50 ayat (1) dan (2) UU 21/2007
    [13] Pasal 50 ayat (3) dan (4) UU 21/2007
    [14] Pasal 51 ayat (1) UU 21/2007
    [15] Pasal 53 UU 21/2007

    Tags

    hukumonline
    anak

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Panduan Mengajukan Perceraian Tanpa Pengacara

    24 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!