Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjian

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Wabah Corona sebagai Alasan Force Majeur dalam Perjanjian

Wabah Corona sebagai Alasan <i>Force Majeur</i> dalam Perjanjian
Tri Harnowo, S.H., MM., LL.M., MA.International Business Law Program Universitas Prasetiya Mulya
International Business Law Program Universitas Prasetiya Mulya
Bacaan 10 Menit
Wabah Corona sebagai Alasan <i>Force Majeur</i> dalam Perjanjian

PERTANYAAN

Di mana bisa menemukan alasan force majeur dalam peraturan perundang-undangan yang mendasari tidak dilaksanakan suatu kontrak dengan kontraktor? Apakah force majeur langsung membatalkan perjanjian atau hanya menunda pelaksanaannya? Apa saja alasan yang termasuk force majeur? Karena saya ingin menggunakan alasan merebaknya virus corona untuk menghentikan sementara usaha kontraktor saya untuk mencegah penyebaran. Namun karena dari pemerintah pun tidak ada kewajiban demikian, saya jadi takut keliru menerapkan alasan ini sebagai force majeur.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Force majeur merupakan pembelaan debitur untuk dibebaskan dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur.
     
    Wabah virus corona dan/atau lockdown pemerintah dapat menjadi peristiwa force majeur jika memenuhi unsur-unsur:
    1. kejadian yang tidak terduga;
    2. adanya halangan;
    3. tidak disebabkan oleh kesalahan debitur; dan
    4. tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
     
    Kemudian, jika dalam perjanjian tegas dinyatakan keadaan outbreak atau lockdown sebagai peristiwa force majeur, maka dapat dijadikan alasan force majeur. Jika tidak dinyatakan tegas dalam perjanjian, maka yang harus diperhatikan adalah prestasinya, bukan semata peristiwanya. Jika keadaan force majeur sifatnya sementara, maka hal ini hanya menunda kewajiban debitur dan tidak dapat untuk mengakhiri perjanjian kecuali disepakati lain oleh para pihak.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Makna Force Majeur
    Force majeure atau keadaan memaksa, menurut Subekti dalam buku Hukum Perjanjian (hal. 55), merupakan pembelaan debitur untuk menunjukan bahwa tidak terlaksananya apa yang dijanjikan disebabkan oleh hal-hal yang sama sekali tidak dapat diduga dan di mana ia tidak dapat berbuat apa-apa terhadap keadaan atau peristiwa yang timbul di luar dugaan tadi.
     
    Force majeure adalah suatu alasan untuk membebaskan debitur dari kewajiban membayar ganti rugi atas dasar wanprestasi yang dikemukakan oleh pihak kreditur (hal. 55).
     
    Karena Anda bergerak di bidang jasa konstruksi, maka berlaku Undang-Undang Nomor 2 Tahun 2017 tentang Jasa Konstruksi (“UU 2/2017”) yang tidak memberikan definisi force majeur, melainkan hanya mensyaratkan setiap kontrak kerja konstruksi harus mencakup uraian mengenai keadaan memaksa atau force majeur sebagaimana ditentukan dalam Pasal 47 ayat (1) huruf j UU 2/2017.
     
    Menurut ketentuan pasal tersebut dan penjelasannya, force majeur diartikan sebagai kejadian yang timbul di luar kemauan dan kemampuan para pihak yang menimbulkan kerugian bagi salah satu pihak. Keadaan memaksa mencakup:
    1. keadaan memaksa yang bersifat mutlak (absolut) yakni bahwa para pihak tidak, mungkin melaksanakan hak dan kewajibannya;dan
    2. keadaan memaksa yang bersifat tidak mutlak (relatif), yakni bahwa para pihak masih dimungkinkan untuk melaksanakan hak dan kewajibannya. Risiko yang diakibatkan oleh keadaan memaksa dapat diperjanjikan oleh para pihak, antara lain melalui lembaga pertanggungan (asuransi).
     
    Demikian pula dalam Pasal 23 ayat (1) huruf j Peraturan Pemerintah Nomor 29 Tahun 2000 tentang Penyelenggaran Jasa Konstruksi yang hanya menyatakan bahwa klausula force majeur dalam kontrak kerja konstruksi mencakup kesepakatan mengenai risiko khusus, macam keadaan memaksa, dan hak dan kewajiban pengguna jasa dan penyedia jasa pada keadaan memaksa.
     
    Terminologi “force majeur” juga tidak secara eksplisit dinyatakan dalam Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”).
     
    Namun terdapat pasal yang sering digunakan sebagai acuan dalam pembahasan force majeur, yakni Pasal 1244 dan Pasal 1245 KUH Perdata yang berbunyi sebagai berikut:
     
    Pasal 1244 KUH Perdata
    Debitur harus dihukum untuk mengganti biaya, kerugian dan bunga bila ia tak dapat membuktikan bahwa tidak dilaksanakannya perikatan itu atau tidak tepatnya waktu dalam melaksanakan perikatan itu disebabkan oleh sesuatu hal yang tak terduga, yang tak dapat dipertanggungkan kepadanya walaupun tidak ada itikad buruk kepadanya.
     
    Pasal 1245 KUH Perdata
    Tidak ada penggantian biaya, kerugian dan bunga bila karena keadaan memaksa atau karena hal yang terjadi secara kebetulan, debitur terhalang untuk memberikan atau berbuat sesuatu yang diwajibkan, atau melakukan suatu perbuatan yang terlarang baginya.
     
    Berdasarkan ketentuan tersebut, maka unsur utama yang dapat menimbulkan keadaan force majeur adalah:
    1. Adanya kejadian yang tidak terduga;
    2. Adanya halangan yang menyebabkan suatu prestasi tidak mungkin dilaksanakan;
    3. Ketidakmampuan tersebut tidak disebabkan oleh kesalahan debitur;
    4. Ketidakmampuan tersebut tidak dapat dibebankan risiko kepada debitur.
     
    Karena luasnya kemungkinan keadaan atau situasi force majeur, maka para pihak untuk mendapatkan kepastian hukum biasanya mencantumkan klausula dengan daftar peristiwa yang dapat menjadi force majeur dalam perjanjian mereka, seperti:
     
    Force Mejeure Event means the occurrence of an event of:
    1. Act of God (such as, but not limited to fires, explosions, earthquakes, drought, tidal waves and floods);
    2. War, hostilities (whether war be declared or not), invasion, act of foreign enemies, mobilization, requisition, or embargo;
    3. Rebellion, revolution, insurrection, or military or usurped power, or civil war;
    4. Contamination by radio-activity from any nuclear fuel, or from any nuclear waste from the combustion of nuclear fuel, radio-active toxic explosive, or other hazardous properties of any explosive nuclear assembly or nuclear component of such assembly;
    5. Riot, commotion, strikes, go slows, lock outs or disorder, unless solely restricted to employees of the Supplier or of his Subcontractors;
    6. Acts or threats of terrorism; or
    7. Other unforeseeable circumstances beyond the control of the Parties against which it would have been unreasonable for the affected party to take precautions an which the affected party cannot avoid event by using best efforts.
     
    Sebagaimana contoh di atas, pada daftar terakhir biasanya terdapat klausula yang menyatakan “kejadian-kejadian lain di luar kemampuan debitur” atau sejenisnya, sehingga membuat ruang lingkup force majeur menjadi luas kembali.
     
    Dan dalam perjanjian biasanya juga diatur mengenai konsekuensi dari adanya peristiwa force majeur, misalnya apakah menunda perjanjian atau dapat dijadikan sebagai syarat batal suatu perjanjian.
     
    Baca juga: Penting Diketahui! Alasan-Alasan Force Majeur dalam Yurisprudensi Perdata
     
    Wabah Virus Corona sebagai Alasan Force Majeur
    Terkait dengan pertanyaan apakah peristiwa wabah virus corona dapat menjadi alasan force majeur bagi debitur untuk tidak melaksanakan kewajibannya, maka perlu diperhatikan penjelasan berikut ini:
     
    Menurut Subekti dalam buku Pokok-pokok Hukum Perdata (hal. 150), berdasarkan teori, terdapat 2 jenis force majeur:
    1. force majeur absolut; dan
    2. force majeur relatif.
     
    Mariam Darus Badrulzaman dalam buku KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan menerangkan bahwa force majeure absolut terjadi apabila kewajiban benar-benar tidak dapat dilaksanakan seluruhnya, misalnya ketika objek benda hancur karena bencana alam. Dalam hal ini pemenuhan prestasi tidak mungkin dilaksanakan oleh siapapun juga atau oleh setiap orang (hal. 37).
     
    Force majeure relatif terjadi ketika suatu perjanjian masih mungkin untuk dilaksanakan namun dengan pengorbanan atau biaya yang sangat besar dari pihak debitur, misalnya harga bahan baku impor menjadi sangat tinggi atau pemerintah tiba-tiba melarang membawa barang objek perjanjian keluar dari suatu pelabuhan (hal. 37).
     
    Akibat dari force majeur, menurut Asser dalam buku Pengajian Hukum Perdata Belanda (hal. 368 – 369) terdapat dua kemungkinan, yaitu pengakhiran perjanjian atau penundaan kewajiban.
     
    Pengakhiran perjanjian terjadi ketika halangan bersifat tetap. Misalnya, seorang penyanyi yang sudah menandatangani kontrak untuk tampil dalam konser tiba-tiba harus dioperasi tenggorokannya, sehingga tidak memungkinkan lagi yang bersangkutan dapat menyanyi lagi. Pada situasi ini force majeur menyebabkan berakhirnya perjanjian.
     
    Dengan berakhirnya perjanjian, maka kontra prestasi juga ikut berakhir, misalnya kewajiban pihak penyelenggara konser untuk membayar penyanyi tersebut.
     
    Penundaan kewajiban terjadi ketika peristiwa force majeur sifatnya sementara. Bila keadaan halangan telah pulih kembali, misal larangan ekspor dicabut kembali, maka kewajiban dari penjual kembali pulih untuk menyerahkan barang ekspor tersebut.
     
    Mariam Darus Badrulzaman dalam buku yang sama menerangkan bahwa agar debitur dapat mengemukakan alasan force majeur harus dipenuhi tiga persyaratan (hal. 39):
    1. Ia harus membuktikan bahwa ia tidak bersalah;
    2. Ia tidak dapat memenuhi kewajibannya secara lain; dan
    3. Ia tidak menanggung risiko, baik menurut ketentuan undang-undang maupun  perjanjian atau karena itikad baik harus menanggung risiko.
     
    Sebagai ilustrasi adalah sebagai berikut: penjual mobil antik yang sangat langka di mana kemudian mobil tersebut dicuri. Ia dapat membebaskan kewajibannya dengan alasan force majeur karena objek perjanjian hilang yang tidak disebabkan oleh kesalahannya di mana mobil tersebut telah disimpan terkunci dalam suatu garasi yang digembok. Ia juga tidak dapat memenuhi kewajiban secara lain, karena tidak bisa mengganti mobil tersebut dengan yang lain akibat kelangkaannya (kecuali yang dijual mobil pasaran yang dapat dicari debitur dari dealer lain). Jika penjual tersebut membiarkan mobil tersebut di luar diparkir tanpa terkunci, maka hal ini merupakan kesalahannya dan tidak dapat mendalilkan force majeur.
     
    Terkait dengan risiko, misalnya, jika dalam perjanjian terdapat klausula di mana penjual menjamin pengadaan mobil tersebut, maka risiko berada di tangan penjual dan ia tidak dapat mendalilkan force majeur.
     
    Terkait dengan risiko, Asser dalam buku yang sama (hal. 354 – 355) mengatakan bahwa keadaan pribadi debitur, seperti ketidakmampuan membayar dan keadaan sakit menjadi tanggung jawab debitur dan tidak dapat dijadikan sebagai alasan force majeur.
     
    Keadaan sakit debitur tidak dapat dijadikan sebagai penghalang, karena kewajiban dapat dilakukan dengan berbagai cara yang lain atau oleh orang lain, apalagi jika hanya sakit ringan, seperti pilek.
     
    Pengecualian dalam sakitnya debitur ini adalah jika prestasi tersebut harus dilakukan oleh si debitur sendiri dan tidak dapat digantikan oleh orang lain (seperti pelukis foto, penyanyi dan sebagainya).
     
    Sebenarnya, kami membutuhkan penjelasan lebih detail mengenai isi perjanjian dan kewajiban dalam perjanjian yang dimaksud yang akan dijadikan sebagai alasan force mejeure.
     
    Namun demikian, secara umum, untuk menjawab pertanyaan tersebut, maka kami sampaikan beberapa hal yang harus diperhatikan sebagai berikut:
    1. Jika dalam perjanjian disebutkan secara tegas menyatakan wabah penyakit (outbreak) atau penutupan akses (lockdown) sebagai peristiwa force majeur, maka wabah virus corona dan lockdown oleh pemerintah dapat dijadikan sebagai alasan force majeur.
     
    Jika tidak ada atau terdapat klausula yang menyatakan “kejadian-kejadian lain di luar kemampuan debitur” atau sejenisnya, maka:
     
    1. Baik itu dinyatakan secara tegas atau tidak tegas dalam perjanjian, yang harus diperhatikan adalah prestasinya, bukan semata peristiwanya serta peristiwa tersebut pun merupakan kejadian yang tidak dapat diduga sebelum dibuat perjanjian.
     
    Sebagai contoh, apabila prestasinya adalah kewajiban membayar utang, maka peristiwa outbreak atau lockdown tidak dapat menggugurkan kewajiban pembayaran, karena masih bisa mentransfer uang melalui ATM atau online banking kecuali sistem pembayarannya mengalami gangguan.
     
    Jika prestasinya berupa kewajiban melakukan sesuatu yang sifatnya pribadi (tidak dapat digantikan dengan orang lain), misal menyanyi dalam suatu konser, penyanyi tersebut dapat dibebaskan dari pelaksanaan kewajiban sebagaimana dijanjikan dengan alasan wabah penyakit.
     
    Kemudian, Asser dalam bukunya (hal. 356) menyatakan apabila berbahaya untuk kehidupan, kemungkinan untuk hidup, kesehatan, kehormatan, dan kemerdekaan, alasan force majeur dapat diajukan sebagai halangan untuk melaksanakan kewajiban.
     
    Pelaksanaan kewajiban penyediaan jasa konstruksi yang dapat membahayakan kelangsungan hidup dan kesehatan dapat ditunda dengan alasan keadaan memaksa ini.
     
    Kemudian, kejadian wabah virus corona juga harus merupakan suatu peristiwa yang tidak terduga pada saat perjanjian itu dibuat. Artinya jika ada perjanjian yang dibuat pada saat wabah sedang menjalar dan menjangkiti, peristiwa outbreak dan lockdown tidak dapat dijadikan sebagai alasan sebagai force majeur.
     
    1. Keadaan force majeur jika sifatnya sementara, hanyalah menunda kewajiban debitur, tidak mengakhiri perjanjian kecuali ditegaskan dalam perjanjian atau adanya kesepakatan para pihak.
     
    Dengan demikian, jika  wabah virus corona berakhir atau pemerintah mencabut lockdown, pihak kreditur dapat menuntut kembali pemenuhan prestasi debitur atau dapat juga memilih mengakhiri perjanjian dengan ganti rugi. Hal ini sesuai dengan  ketentuan Pasal 1267 KUH Perdata yang berbunyi:
     
    Pihak yang terhadapnya perikatan tidak dipenuhi, dapat memilih; memaksa pihak yang lain untuk memenuhi persetujuan, jika hal itu masih dapat dilakukan, atau menuntut pembatalan persetujuan, dengan penggantian biaya, kerugian dan bunga.
     
    Misalnya, dalam hal perjanjian konstruksi, akibat wabah virus corona ini, para pihak (penyedia dan pengguna jasa konstruksi) dengan kesepakatan bersama dapat melakukan penjadwalan ulang penyediaan jasa konstuksinya.
     
    Sebagai informasi tambahan, Keputusan Direktur Jenderal Pajak Nomor KEP-156/PJ/2020 tentang Kebijakan Perpajakan Sehubungan Dengan Penyebaran Wabah Virus Corona 2019 menetapkan penyebaran virus corona di Indonesia sebagai sebuah force majeur, setidaknya di bidang perpajakan.
     
    Baca juga: Masalah Hukum Penundaan Kontrak Akibat Penyebaran Covid-19
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Referensi:
    1. Asser. Pengajian Hukum Perdata Belanda. Jakarta: Dian Rakyat, 1991;
    2. Mariam Darus Badrulzaman, KUH Perdata Buku III: Hukum Perikatan dengan Penjelasan. Bandung: Alumni, 1996;
    3. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: PT. Intermasa, 2008;
    4. Subekti. Pokok-pokok Hukum Perdata. Jakarta: PT. Intermasa, 2002.

    Tags

    perdagangan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Syarat dan Prosedur Hibah Saham

    11 Okt 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!