Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pemutusan Hubungan Kerja (PHK)
Pertama-tama, kami turut prihatin atas masalah yang Anda hadapi. Semoga masalah tersebut dapat segera menemukan jalan keluarnya.
Pada dasarnya, pengusaha, pekerja/buruh, serikat pekerja/serikat buruh, dan pemerintah, dengan segala upaya harus mengusahakan agar jangan terjadi PHK.
[1]
PHK adalah pengakhiran hubungan kerja karena suatu hal tertentu yang mengakibatkan berakhirnya hak dan kewajiban antara pekerja/buruh dan pengusaha.
[2]
Apabila segala upaya telah dilakukan, tetapi PHK tidak dapat dihindari, maka maksud PHK wajib dirundingkan oleh pengusaha dan serikat pekerja/serikat buruh atau dengan pekerja/buruh apabila pekerja/buruh yang bersangkutan tidak menjadi anggota serikat pekerja/serikat buruh.
[3]
Jika perundingan benar-benar tidak menghasilkan persetujuan, pengusaha hanya dapat memutuskan hubungan kerja dengan pekerja/buruh setelah memperoleh penetapan dari lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial.
[4]
Namun penetapan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial tidak diperlukan dalam hal:
[5]pekerja/buruh masih dalam masa percobaan kerja, bilamana telah dipersyaratkan secara tertulis sebelumnya;
pekerja/buruh mengajukan permintaan pengunduran diri, secara tertulis atas kemauan sendiri tanpa ada indikasi adanya tekanan/intimidasi dari pengusaha, berakhirnya hubungan kerja sesuai dengan perjanjian kerja waktu tertentu untuk pertama kali;
pekerja/buruh mencapai usia pensiun sesuai dengan ketetapan dalam perjanjian kerja, peraturan perusahaan, perjanjian kerja bersama, atau peraturan perundang-undangan; atau
pekerja/buruh meninggal dunia.
PHK tanpa penetapan yang diterangkan di atas batal demi hukum. Selama putusan lembaga penyelesaian perselisihan hubungan industrial belum ditetapkan (belum berkekuatan hukum tetap), baik pengusaha maupun pekerja/buruh harus tetap melaksanakan segala kewajibannya.
[6]
Oleh karena Anda tidak menerangkan jenis perjanjian kerja Anda, maka kami mengambil contoh, apabila terjadi PHK,
pada pekerja/buruh dengan perjanjian kerja waktu tidak tertentu, pengusaha diwajibkan membayar uang pesangon dan/atau uang penghargaan masa kerja dan uang penggantian hak yang seharusnya diterima.
[7]
PHK Karena Efisiensi
Salah satu alasan PHK, sebagaimana yang telah Anda uraikan, adalah adanya efisiensi. Namun, hal ini tidak dapat dilakukan secara sembarangan.
Pengusaha dapat melakukan PHK terhadap pekerja/buruh karena perusahaan tutup bukan karena mengalami kerugian dua tahun berturut-turut atau bukan karena keadaan memaksa (
force majeur) tetapi
perusahaan melakukan efisiensi.
[8]
Atas alasan ini, pekerja/buruh berhak atas uang pesangon sebesar
dua kali ketentuan Pasal 156 ayat (2) UU Ketenagakerjaan, uang penghargaan masa kerja sebesar
satu kali ketentuan Pasal 156 ayat (3) UU Ketenagakerjaan dan uang penggantian hak sesuai ketentuan Pasal 156 ayat (4) UU Ketenagakerjaan.
[9]
Pengertian efisiensi itu harus diartikan secara benar. Tujuan efisiensi adalah penghematan, yakni penyelamatan keuangan perusahaan, salah satu contohnya adalah karena adanya restrukturisasi di perusahaan tersebut.
Selain itu, Mahkamah Konstitusi juga telah berpendapat bahwa perusahaan tidak dapat melakukan PHK sebelum menempuh upaya-upaya sebagai berikut (hal. 57):
mengurangi upah dan fasilitas pekerja tingkat atas, misalnya tingkat manajer dan direktur;
mengurangi shift;
membatasi/menghapuskan kerja lembur;
mengurangi jam kerja;
mengurangi hari kerja;
meliburkan atau merumahkan pekerja/buruh secara bergilir untuk sementara waktu;
tidak atau memperpanjang kontrak bagi pekerja yang sudah habis masa kontraknya;
memberikan pensiun bagi yang sudah memenuhi syarat.
Penyelesaian Perselisihan PHK Karena Efisiensi
Apabila Anda keberatan dengan keputusan perusahaan yang melakukan PHK atas alasan efisiensi tersebut, hal tersebut dapat dipandang sebagai perselisihan hubungan industrial, khususnya perselisihan PHK.
Perselisihan PHK terjadi ketika tidak adanya kesesuaian pendapat mengenai pengakhiran hubungan kerja yang dilakukan oleh salah satu pihak.
[10]
Perselisihan PHK wajib diupayakan penyelesaiannya terlebih dahulu melalui perundingan bipartit secara musyawarah untuk mencapai mufakat yang harus diselesaikan paling lama 30 hari kerja sejak tanggal dimulainya perundingan.
[11]
Perundingan bipartit dapat dilakukan oleh pengusaha atau gabungan pengusaha dan pekerja atau serikat pekerja/serikat buruh.
[12]
Apabila perundingan itu gagal, salah satu atau kedua belah pihak mencatatkan perselisihannya kepada instansi yang bertanggung jawab di bidang ketenagakerjaan setempat dengan melampirkan bukti bahwa upaya-upaya penyelesaian melalui perundingan telah dilakukan.
[13]
Dalam konteks perselisihan PHK, para pihak dapat memilih langkah mediasi atau konsiliasi untuk menyelesaikan perselisihannya setelah dicatatkan pada instansi yang dimaksud.
[14]
Apabila penyelesaian tersebut gagal mencapai kesepakatan, maka salah satu pihak dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Hubungan Industrial.
[15]
Menurut hemat kami, pendapat Mahkamah Konstitusi dalam Putusan MK 19/2011 mengenai langkah-langkah yang seharusnya ditempuh perusahaan sebelum melakukan PHK karena alasan efisiensi dapat menjadi bagian dari argumentasi Anda. Terutama jika perusahaan dinilai belum mengambil langkah maksimal untuk menghindari PHK.
Pertimbangan/pendapat tersebut dapat dianggap sebagai tafsiran dan interpretasi hakim terhadap suatu perkara berdasarkan UUD 1945.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Putusan:
[2] Pasal 1 angka 25 UU Ketenagakerjaan
[3] Pasal 151 ayat (2) UU Ketenagakerjaan
[4] Pasal 151 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[5] Pasal 154 UU Ketenagakerjaan
[7] Pasal 156 ayat (1) UU Ketenagakerjaan
[8] Pasal 164 ayat (3) UU Ketenagakerjaan
[11] Pasal 3 ayat (1) dan (2) UU 2/2004
[12] Penjelasan Pasal 3 ayat (1) UU 2/2004
[13] Pasal 4 ayat (1) UU 2/2004
[14] Pasal 1 angka 11 dan Pasal 4 ayat (5) UU 2/2004