Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hukum Perkawinan Orang Tua dengan Anak Angkat dan Dampak Warisnya

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hukum Perkawinan Orang Tua dengan Anak Angkat dan Dampak Warisnya

Hukum Perkawinan Orang Tua dengan Anak Angkat dan Dampak Warisnya
Arasy Pradana A. Azis, S.H., M.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hukum Perkawinan Orang Tua dengan Anak Angkat dan Dampak Warisnya

PERTANYAAN

Sering ada berita seorang lansia, baik kakek-kakek atau nenek-nenek menikahi anak angkatnya yang jauh lebih muda . Apakah ini boleh menurut hukum? Saya juga curiga ini ada kaitannya dengan waris mewaris. Apakah dugaan saya benar?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Hukum Indonesia tidak mengenal batasan usia maksimal untuk boleh menikah. Jadi, seorang lanjut usia (“lansia”) sekalipun masih boleh menikah.
     
    Selain itu, perkawinan terlarang bagi yang berhubungan darah, kekerabatan tertentu, atau susuan. Contohnya, sepanjang si anak angkat tidak menjadi anak susuan atau ternyata merupakan keponakan dari lansia tersebut, maka keduanya boleh menikah.
     
    Di sisi lain, memang terdapat perbedaan hubungan kewarisan antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dan antara seorang suami dengan istri. Penjelasan selengkapnya dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Perkawinan Lansia dengan Anak Muda
    Pada dasarnya, perkawinan sah apabila dilakukan menurut hukum masing-masing agama dan kepercayaannya itu. Tiap-tiap perkawinan dicatat menurut peraturan perundang-undangan yang berlaku.[1]
     
    Perkawinan harus didasarkan atas persetujuan kedua calon mempelai. Bagi calon mempelai yang belum mencapai umur 21 tahun harus mendapat izin kedua orang tua.[2]
     
    Hukum Indonesia sendiri tidak mengenal batasan usia maksimal kedua calon mempelai. Jadi, seorang lanjut usia (“lansia”) sekalipun masih boleh kawin atau menikah.
     
    Yang diatur hanyalah batasan minimum usia perkawinan. Perkawinan hanya diizinkan apabila pria dan wanita sudah mencapai umur 19 tahun.[3]
     
    Apabila terjadi penyimpangan terhadap ketentuan umur, orang tua pihak pria dan/atau orang tua pihak wanita dapat meminta dispensasi kepada Pengadilan Agama bagi yang beragama Islam dan Pengadilan Negeri bagi non-Muslim, dengan alasan sangat mendesak disertai bukti-bukti pendukung yang cukup.[4]
     
    Alasan mendesak yang dimaksud adalah keadaan tidak ada pilihan lain dan sangat terpaksa harus dilangsungkan perkawinan. Sedangkan bukti yang cukup meliputi surat keterangan yang membuktikan bahwa usia mempelai masih di bawah ketentuan undang-undang dan surat keterangan dari tenaga kesehatan yang mendukung pernyataan orang tua bahwa perkawinan tersebut sangat mendesak untuk dilaksanakan. [5]
     
    Untuk memastikan terlaksananya ketentuan ini, pemerintah melakukan sosialisasi dan pembinaan kepada masyarakat mengenai pencegahan perkawinan usia dini, bahaya seks bebas dan perkawinan tidak tercatat demi terwujudnya generasi bangsa yang lebih unggul.[6]
     
    Pemberian dispensasi oleh pengadilan wajib mendengarkan pendapat kedua belah calon mempelai yang akan melangsungkan perkawinan. Pemberian dispensasi ini berdasarkan pada semangat pencegahan perkawinan anak, pertimbangan moral, agama, adat dan budaya, aspek psikologis, aspek kesehatan, dan dampak yang ditimbulkan.[7]
     
    Maka, jika kedua calon mempelai sudah cukup usia, maka dapat melangsungkan perkawinan. Sementara, jika salah satu calonnya masih di bawah umur, maka memerlukan dispensasi dari pengadilan.
     
    Perkawinan dengan Anak Angkat
    Pada dasarnya, perkawinan dilarang dilaksanakan di antara dua orang yang:[8]
    1. berhubungan darah dalam garis keturunan lurus ke bawah ataupun ke atas;
    2. berhubungan darah dalam garis keturunan menyamping yaitu antara saudara, antara seorang dengan saudara orang tua dan antara seorang dengan saudara neneknya;
    3. berhubungan semenda, yaitu mertua, anak tiri menantu dan ibu/bapak tiri;
    4. berhubungan susuan, yaitu orang tua susuan, anak susuan, saudara susuan dan bibi/paman susuan;
    5. berhubungan saudara dengan istri atau sebagai bibi atau kemenakan dari istri, dalam hal seorang suami beristri lebih dari seorang;
    6. mempunyai hubungan yang oleh agamanya atau peraturan lain yang berlaku, dilarang kawin.
     
    Berdasarkan uraian di atas, menurut hemat kami, selama antara anak angkat dan lansia tersebut tidak ada hubungan yang membuat perkawinan dilarang, maka perkawinan di antara keduanya diperbolehkan.
     
    Contoh, jika ternyata ada hubungan susuan atau ternyata anak angkat tersebut masih keponakan dari lansia tersebut, maka di antara keduanya tidak dapat dilangsungkan perkawinan.
     
    Syarat lain yang harus diperhatikan adalah perkawinan dilakukan sesuai hukum agama. Mengingat Anda tidak menguraikan agama dari pasangan tersebut, kami asumsikan mereka beragama Islam.
     
    Terkait kesesuaian dengan hukum Islam, untuk melaksanakan perkawinan harus ada calon suami, calon istri, wali nikah, dua orang saksi, serta ijab dan kabul.[9]
     
    Motif Perkawinan untuk Mendapat Waris
    Terkait pertanyaan kedua Anda, pada dasarnya kami tidak berkompeten untuk menilai motif di balik perkawinan antara seorang lansia dan anak angkatnya yang jauh lebih muda.
     
    Namun demikian, memang terdapat hubungan kewarisan yang berbeda antara anak angkat dengan orang tua angkatnya dan antara seorang suami dengan istri.
    Sebagaimana pernah dijelaskan Irma Devita dalam artikel Hak Waris Anak Adopsi Menurut Hukum Barat dan Hukum Islam, dalam hukum Islam, pengangkatan anak tidak membawa akibat hukum dalam hal hubungan darah, hubungan wali-mewali dan hubungan waris-mewaris dengan orang tua angkat.
     
    Irma mengutip Budiarto dan menyatakan, anak angkat tetap menjadi ahli waris dari orang tua kandungnya dan anak tersebut tetap memakai nama dari ayah kandungnya.
     
    Dengan demikian, anak angkat tidak mewarisi harta peninggalan orang tua angkatnya. Untuk melindungi hak anak angkat tersebut, maka orang tua angkat dapat memberikan wasiat asalkan tidak melebihi sepertiga dari harta peninggalannya.
     
    Hal ini berbeda apabila si anak angkat tersebut berstatus sebagai suami atau istri dari lansia yang dimaksud dan kemudian cerai mati sehingga menjadi berstatus duda/janda.
     
    Kelompok-kelompok ahli waris terdiri dari:[10]
    1. Menurut hubungan darah:
      1. golongan laki-laki terdiri dari ayah, anak laki-laki, saudara laki-laki, paman dan kakek.
      2. golongan perempuan terdiri dari ibu, anak perempuan, saudara perempuan dari nenek.
    2. Menurut hubungan perkawinan terdiri dari duda atau janda.
     
    Apabila semua ahli waris ada, maka yang berhak mendapat warisan hanya anak, ayah, ibu, janda atau duda.[11]
     
    Seorang duda mendapat separuh bagian warisan, bila pewaris tidak meninggalkan anak. Namun bila pewaris meninggalkan anak, maka duda mendapat seperempat bagian.[12]
     
    Sedangkan janda mendapat seperempat bagian bila pewaris tidak meninggalkan anak. Bila pewaris meninggalkan anak maka janda mendapat seperdelapan bagian.[13]
     
    Sebagai informasi tambahan, menurut Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah dalam bukunya Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam (hal. 385), suami istri tidak dapat menghalangi ahli waris lainnya, baik hajb hirman maupun hajb nuqshan.
     
    Di sisi lain, suami istri tidak dapat dihalangi oleh ahli waris lain secara hajb hirman. Namun keduanya dapat terhalang oleh hajb nuqshan.
     
    Hajb hirman adalah hajb atau penghalang yang dapat menggugurkan hak waris orang lain, sementara hajb nuqshan adalah hajb yang dapat mengurangi hak waris orang lain (hal. 384).
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Referensi:
    Muhammad Thaha Abul Ela Khalifah. Hukum Waris: Pembagian Warisan Berdasarkan Syariat Islam. Solo: Tiga Serangkai, 2007.
     

    [1] Pasal 2 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
    [2] Pasal 6 ayat (1) dan (2) UU Perkawinan
    [3] Pasal 7 ayat (1) Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU 16/2019”)
    [4] Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019 dan penjelasannya
    [5] Penjelasan Pasal 7 ayat (2) UU 16/2019
    [6] Idem
    [7] Pasal 7 ayat (3) UU 16/2019 dan penjelasannya
    [8] Pasal 8 UU Perkawinan
    [9] Pasal 14 Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”)
    [10] Pasal 174 ayat (1) KHI
    [11] Pasal 174 ayat (2) KHI
    [12] Pasal 179 KHI
    [13] Pasal 180 KHI

    Tags

    keluarga dan perkawinan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    24 Mar, 2023 Bacaan 10 Menit
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!