Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Pemasangan Papan Nama Advokat
Sepanjang penelusuran kami, aturan mengenai pemasangan papan nama advokat terdapat pada Pasal 8 huruf b
Kode Etik Advokat Indonesia (“KEAI”), yang berbunyi:
Pemasangan iklan semata-mata untuk menarik perhatian orang adalah dilarang termasuk pemasangan papan nama dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan.
Kemudian disebutkan lagi dalam Pasal 8 huruf d KEAI, yaitu:
Advokat tidak dibenarkan mengizinkan orang yang bukan Advokat mencantumkan namanya sebagai Advokat di papan nama kantor Advokat atau mengizinkan orang yang bukan Advokat tersebut untuk memperkenalkan dirinya sebagai Advokat.
Selain itu, Pasal 8 huruf f KEAI juga mengatur:
Advokat tidak dibenarkan melalui media massa mencari publisitas bagi dirinya dan/atau untuk menarik perhatian masyarakat mengenai tindakan-tindakannya sebagai Advokat mengenai perkara yang sedang atau telah ditanganinya, kecuali apabila keterangan-keterangan yang ia berikan itu bertujuan untuk menegakkan prinsip-prinsip hukum yang wajib diperjuangkan oleh setiap Advokat.
Setiap advokat wajib tunduk dan mematuhi KEAI. Pengawasan atas pelaksanaan KEAI ini dilakukan oleh Dewan Kehormatan.
[1]
Sehingga menurut hemat kami, advokat diperbolehkan memasang papan nama dengan tujuan bukan untuk semata-mata menarik perhatian orang, namun memberi informasi dan petunjuk bahwa di tempat tersebut ada sebuah kantor hukum atau advokat yang berpraktik sepanjang tidak dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan.
Pemasangan Papan Nama Lembaga Bantuan Hukum (LBH)
Pelaksanaan bantuan hukum dilakukan oleh pemberi bantuan hukum dengan syarat:
[2]berbadan hukum;
terakreditasi berdasarkan UU 16/2011;
memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
memiliki pengurus; dan
memiliki program bantuan hukum.
Dikutip dari artikel
Perbedaan Advokat dengan Lembaga Bantuan Hukum, LBH dapat merekrut dan mendidik serta melatih advokat dalam melaksanakan bantuan hukum. Namun yang harus digarisbawahi, tidak semua advokat merupakan pekerja LBH.
LBH atau organisasi yang mengajukan permohonan verifikasi dan akreditasi sebagai pemberi bantuan hukum harus memenuhi syarat:
[4]berbadan hukum;
memiliki kantor atau sekretariat yang tetap;
memiliki pengurus;
memiliki program bantuan hukum;
memiliki advokat yang terdaftar pada LBH atau organisasi; dan
telah menangani paling sedikit 10 kasus.
LBH atau organisasi yang telah terverifikasi dan terakreditasi sebagai pemberi bantuan hukum dituangkan dalam sertifikat yang ditandatangani Menteri Hukum dan Hak Asasi Manusia yang berlaku untuk jangka waktu 3 tahun dan dapat diperpanjang.
[5]
Menurut Rusti Margareth Sibuea, Kepala Divisi Non Litigasi
Lembaga Bantuan Hukum Mawar Saron, ketentuan mengenai pemasangan papan nama LBH juga tetap tunduk pada KEAI, sehingga tetap tidak boleh dengan ukuran dan/atau bentuk yang berlebih-lebihan atau semata-mata untuk menarik perhatian orang.
Perihal Perizinan
Sebagai contoh, dalam artikel
Izin Penyelenggaraan Reklame yang kami akses dari laman Kementerian Pendayagunaan Aparatur Negara dan Reformasi Birokrasi, diterangkan syarat izin penyelenggaraan reklame di Kota Tasikmalaya, mencakup, antara lain, fotokopi KTP pemohon, fotokopi akta pendirian perusahaan bagi yang berbadan hukum, gambar/visual reklame, dan membayar pajak.
Jadi untuk memenuhi syarat izin penyelenggaraan reklame yang melekat pada bangunan tempat usaha atau profesi, tidak perlu dengan membayar pajak.
Contoh Kasus
Kami mencontohkan kasus yang diberitakan dalam artikel
Advokat Tak Boleh Sembarangan Pasang Iklan, pada pokoknya menyebutkan advokat (Teradu) dilaporkan ke Dewan Kehormatan Daerah Peradi DKI Jakarta atas pelanggaran Pasal 8 huruf b dan f KEAI, akibat membuat pengumuman di koran dalam rangka pemanggilan kepada pihak perusahaan untuk menyelesaikan masalah ketenagakerjaan.
Majelis Dewan Kehormatan DKI Jakarta lalu mengabulkan permohonan Pengadu dan Teradu dinilai melanggar Pasal 8 huruf f KEAI, sehingga mendapat sanksi teguran keras dan biaya perkara sebesar Rp3,5 juta dialamatkan kepada Teradu (hal. 1).
Masih dari artikel yang sama, Teradu kemudian mengajukan banding ke Dewan Kehormatan Pusat Peradi, yang mana Teradu berkeyakinan tindakan itu bukan pelanggaran kode etik, melainkan bertujuan untuk memperjuangkan hak dan kepentingan klien.
Namun majelis Dewan Kehormatan Pusat Peradi tetap memutuskan bahwa Teradu bersalah, sehingga keputusan ini bersifat final dan mengikat yang tidak dapat diganggu gugat dalam forum manapun, termasuk MUNAS.
[7]
Majelis menilai, tindakan ini berlebihan karena pemanggilan melalui media massa justru tidak mencerminkan sikap advokat yang profesional, sebab apabila perundingan bipartit menemui jalan buntu, Teradu bisa menempuh perundingan tripartit dan iklan koran itu tidak diperlukan.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Catatan:
Kami telah melakukan wawancara dengan Rusti Margareth Sibuea via WhatsApp pada 19 Juni 2020, pukul 15.49 WIB.
[3] Pasal 2 Permenkumham 3/2013
[4] Pasal 12 Permenkumham 3/2013
[5] Pasal 1 angka 8, Pasal 32, Pasal 35 ayat (1) Permenkumham 3/2013
[6] Pasal 16 huruf a angka 1 Pergub DKI Jakarta 148/2017
[7] Pasal 19 ayat (3) KEAI