Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Kewajiban Suami Memberi Nafkah
Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa
[1].
Salah satu kewajiban seorang suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah, sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:
Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
Kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dijelaskan secara lebih rinci dalam Pasal 80 ayat (4) KHI:
sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
biaya pendididkan bagi anak.
Kewajiban di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (5) KHI, mulai berlaku bagi suami sesudah ada tamkin yang sempurna dari istri.
Tamkin yang sempurna berarti istri telah merelakan dirinya untuk melayani suaminya, dalam konteks ini, yaitu berhubungan badan (dukhul).
Berdasarkan pasal di atas, apabila istri telah memberikan tamkin yang sempurna bagi suami, maka suami tidak hanya menanggung biaya bagi anak, namun juga memiliki kewajiban untuk menanggung biaya keperluan istri, sehingga ada tidaknya seorang anak di dalam perkawinan tidak menghilangkan kewajiban suami untuk memberikan nafkah yang layak bagi istrinya sesuai dengan kesanggupannya.
Meskipun demikian, perlu dicatat pula bahwa kewajiban suami untuk menanggung biaya di atas gugur, apabila istri
nusyuz kepada suami.
[2]
Nusyuz diatur dalam Al Qur’an, Surah An-Nisa (4:34). Menurut Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 93), arti nusyuz yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perbuatan istri untuk tidak melakukan kewajiban atau tidak taat kepada suaminya.
Suami Tidak Memberi Nafkah Sesuai Kemampuannya
Apabila istri telah memberikan tamkin yang sempurna bagi suami dan tidak berlaku nusyuz kepada suami, namun suami lalai dalam melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan nafkah yang cukup sesuai dengan kesanggupannya, maka istri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan:
Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
Bagi pasangan yang beragama Islam, maka istri dapat mengajukan gugatan tersebut kepada Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 77 ayat (5) KHI:
jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
Perlu diketahui, bahwa perkawinan menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak.
Dengan tidak dipenuhinya kewajiban salah satu pihak atau suatu kewajiban dilaksanakan, namun tidak sesuai dengan yang semestinya, dapat dikatakan bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi.
Dengan demikian, apabila seorang suami telah memberikan nafkah, namun jumlah yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga istri yang seharusnya menjadi tanggungan suami sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80 ayat (4) KHI, padahal suami tersebut mampu secara ekonomi, maka dapat dikatakan bahwa suami tersebut telah melalaikan kewajibannya, sehingga istri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur di atas.
Dalam hal mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, istri harus menyerahkan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa suami tersebut telah lalai dalam memberikan nafkah yang cukup bagi istri sesuai dengan kemampuannya, seperti menunjukkan buku nikah, slip gaji suami, dan bukti biaya pengeluaran rumah tangga.
Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2014.
[2] Pasal 80 ayat (7) KHI