KlinikBeritaData PribadiJurnal
Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hak Istri yang Belum Punya Anak untuk Menuntut Nafkah Lebih Besar

Share
copy-paste Share Icon
Keluarga

Hak Istri yang Belum Punya Anak untuk Menuntut Nafkah Lebih Besar

Hak Istri yang Belum Punya Anak untuk Menuntut Nafkah Lebih Besar
Erizka Permatasari, S.H.Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Lembaga Kajian Islam dan Hukum Islam Fakultas Hukum Universitas Indonesia (LKIHI FHUI)
Bacaan 10 Menit
Hak Istri yang Belum Punya Anak untuk Menuntut Nafkah Lebih Besar

PERTANYAAN

Bisakah seorang istri menuntut ke pengadilan atas hak atas nafkah kepada suami jika istri belum memiliki anak dari suami? Hal ini karena seorang suami memiliki pendapatan besar tetapi selalu memberi nafkah seenaknya (tidak layak) bahkan untuk makan satu hari juga tidak cukup.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Salah satu kewajiban suami di dalam hukum Islam yang juga tertuang dalam Pasal 80 ayat (4) Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam adalah menanggung nafkah, kiswah, dan tempat kediaman bagi istri serta biaya rumah tangga, biaya perawatan, dan biaya pengobatan bagi istri dan anak sesuai dengan penghasilannya.
     
    Dengan demikian, meskipun seorang istri tidak memiliki anak, namun ia telah memberikan tamkin yang sempurna, istri tetap berhak atas nafkah yang layak dari suaminya. Apabila suami melalaikan kewajibannya, maka istri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Kewajiban Suami Memberi Nafkah
    Perkawinan adalah ikatan lahir batin antara seorang pria dengan seorang wanita sebagai suami istri dengan tujuan membentuk keluarga (rumah tangga) yang bahagia dan kekal berdasarkan Ketuhanan Yang Maha Esa[1].
     
    Sebagai suatu ikatan, terdapat hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh suami dan istri. Bagi seorang Muslim, kewajiban suami dan istri diatur dalam Bab VI UU Perkawinan dan Bab XII Lampiran Instruksi Presiden Nomor 1 Tahun 1991 tentang Penyebarluasan Kompilasi Hukum Islam (“KHI”).
     
    Salah satu kewajiban seorang suami terhadap istrinya adalah memberikan nafkah, sebagaimana diatur Pasal 34 ayat (1) UU Perkawinan:
     
    Suami wajib melindungi istrinya dan memberikan segala sesuatu keperluan hidup berumah tangga sesuai dengan kemampuannya.
     
    Kewajiban suami untuk memenuhi kebutuhan istri dijelaskan secara lebih rinci dalam Pasal 80 ayat (4) KHI:
     
    sesuai dengan penghasilannya suami menanggung:
    1. nafkah, kiswah dan tempat kediaman bagi isteri;
    2. biaya rumah tangga, biaya perawatan dan biaya pengobatan bagi isteri dan anak;
    3. biaya pendididkan bagi anak.
     
    Kewajiban di atas, berdasarkan ketentuan Pasal 80 ayat (5) KHI, mulai berlaku bagi suami sesudah ada tamkin yang sempurna dari istri.
     
    Tamkin yang sempurna berarti istri telah merelakan dirinya untuk melayani suaminya, dalam konteks ini, yaitu berhubungan badan (dukhul).
     
    Berdasarkan pasal di atas, apabila istri telah memberikan tamkin yang sempurna bagi suami, maka suami tidak hanya menanggung biaya bagi anak, namun juga memiliki kewajiban untuk menanggung biaya keperluan istri, sehingga ada tidaknya seorang anak di dalam perkawinan tidak menghilangkan kewajiban suami untuk memberikan nafkah yang layak bagi istrinya sesuai dengan kesanggupannya.
     
    Meskipun demikian, perlu dicatat pula bahwa kewajiban suami untuk menanggung biaya di atas gugur, apabila istri nusyuz kepada suami.[2]
     
    Nusyuz diatur dalam Al Qur’an, Surah An-Nisa (4:34). Menurut Sayuti Thalib dalam buku Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam (hal. 93), arti nusyuz yang dimaksud dalam ayat tersebut adalah perbuatan istri untuk tidak melakukan kewajiban atau tidak taat kepada suaminya.
     
    Suami Tidak Memberi Nafkah Sesuai Kemampuannya
    Apabila istri telah memberikan tamkin yang sempurna bagi suami dan tidak berlaku nusyuz kepada suami, namun suami lalai dalam melaksanakan kewajibannya, yaitu memberikan nafkah yang cukup sesuai dengan kesanggupannya, maka istri dapat mengajukan gugatan ke Pengadilan Agama.
     
    Hal ini sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 34 ayat (3) UU Perkawinan:
     
    Jika suami atau isteri melalaikan kewajibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan
     
    Bagi pasangan yang beragama Islam, maka istri dapat mengajukan gugatan tersebut kepada Pengadilan Agama, sesuai dengan ketentuan dalam Pasal 77 ayat (5) KHI:
     
    jika suami atau isteri melalaikan kewjibannya masing-masing dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama.
     
    Perlu diketahui, bahwa perkawinan menimbulkan hubungan keperdataan antara suami dengan istri yang kemudian melahirkan hak dan kewajiban yang harus dipenuhi oleh kedua pihak.
     
    Dengan tidak dipenuhinya kewajiban salah satu pihak atau suatu kewajiban dilaksanakan, namun tidak sesuai dengan yang semestinya, dapat dikatakan bahwa pihak tersebut telah melakukan wanprestasi.
     
    Dengan demikian, apabila seorang suami telah memberikan nafkah, namun jumlah yang diberikan tidak mencukupi kebutuhan rumah tangga istri yang seharusnya menjadi tanggungan suami sebagaimana yang diatur dalam Pasal 80 ayat (4) KHI, padahal suami tersebut mampu secara ekonomi, maka dapat dikatakan bahwa suami tersebut telah melalaikan kewajibannya, sehingga istri dapat mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama sebagaimana yang diatur di atas.
     
    Dalam hal mengajukan gugatan kepada Pengadilan Agama, istri harus menyerahkan bukti-bukti yang kuat untuk membuktikan bahwa suami tersebut telah lalai dalam memberikan nafkah yang cukup bagi istri sesuai dengan kemampuannya, seperti menunjukkan buku nikah, slip gaji suami, dan bukti biaya pengeluaran rumah tangga.
     
    Demikian jawaban kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan sebagaimana yang telah diubah dengan Undang-Undang Nomor 16 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan;
     
    Referensi:
    Sayuti Thalib. Hukum Kekeluargaan Indonesia: Berlaku bagi Umat Islam. Jakarta: Penerbit Universitas Indonesia, 2014.
     

    [1] Pasal 1 Undang-Undang Nomor 1 Tahun 1974 tentang Perkawinan (“UU Perkawinan”)
    [2] Pasal 80 ayat (7) KHI

    Tags

    keluarga dan perkawinan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Somasi: Pengertian, Dasar Hukum, dan Cara Membuatnya

    7 Jun 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!