Terima kasih atas pertanyaan Anda.
Distributor dan Grosir
Pelaku usaha distribusi tidak langsung menggunakan rantai distribusi yang bersifat umum, yang kami asumsikan Anda menggunakan distributor dan jaringannya, yang terdiri dari:
[1]Distributor;
Subdistributor;
Perkulakan;
Grosir; dan
Pengecer
Distributor hanya dapat mendistribusikan barang kepada produsen, subdistributor, grosir, perkulakan dan/atau pengecer.
[2]
Perlu Anda ketahui, distributor adalah pelaku usaha distribusi yang bertindak atas namanya sendiri dan atas penunjukan dari produsen atau
supplier atau importir berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran barang.
[3]
Patut Anda garis bawahi, subdistributor dan grosir adalah kedua istilah yang berbeda.
Subdistributor adalah pelaku usaha distribusi yang bertindak atas penunjukkan dari distributor berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran barang.
[4]
Grosir adalah pelaku usaha distribusi yang menjual berbagai macam barang dalam partai besar dan tidak secara eceran.
[5]
Subdistributor wajib memenuhi ketentuan:
[6]badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah indonesia;
memiliki perizinan di bidang perdagangan sebagai subdistributor dari instansi dan/atau lembaga yang berwenang;
memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap dan jelas;
memiliki atau menguasai gudang yang sudah terdaftar dengan alamat yang benar, tetap dan jelas; dan
memiliki perjanjian dengan distributor.
Grosir wajib memenuhi ketentuan:
[7]badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah indonesia;
memiliki perizinan di bidang perdagangan sebagai grosir dari instansi dan atau lembaga yang berwenang; dan
memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap dan jelas.
Pada dasarnya, distribusi barang secara tidak langsung dilakukan oleh pelaku usaha distribusi berdasarkan perjanjian, penunjukan dan/atau bukti transaksi secara tertulis.
[8]
Menurut hemat kami, hubungan hukum antara distributor rokok, subdistributor, dan grosir bisa dilandasi dengan perjanjian sebagaimana Anda sebutkan.
Dalam hal tidak ada perjanjian dengan pihak grosir, maka hubungan hukum bisa didasari oleh penunjukan atau bukti transaksi secara tertulis.
Hubungan Perjanjian dan Perikatan
Dikutip dari artikel tersebut, Subekti dalam buku Hukum Perjanjian membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan (hal. 1).
Subekti menjelaskan bahwa (hal. 1):
Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
Sementara, perjanjian didefinisikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (hal. 1).
Dalam Pasal 1233 KUH Perdata diterangkan bahwa perikatan lahir, karena suatu persetujuan (perjanjian) atau karena undang-undang.
Kami berpendapat, hubungan hukum antara distributor rokok, subdistributor, dan grosir tidak hanya berdasarkan perjanjian, namun juga lahir karena perikatan akibat ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Permendag 66/2019.
Perjanjian Pengikatan Jaminan Garansi Bank
Garansi bank adalah jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar kepada pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).
[10]
Garansi yang kami terangkan di atas diterbitkan dengan bentuk garansi bank atau
standby letter of credit.
[11]
Garansi bank diterbitkan dengan memuat syarat-syarat sekurang-kurangnya:
[12]judul "garansi bank" atau "bank garansi";
nama dan alamat bank pemberi garansi;
tanggal penerbitan garansi bank;
transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan;
jumlah uang yang dijamin oleh bank;
tanggal mulai berlaku dan berakhirnya garansi bank;
penegasan batas waktu pengajuan claim;
pernyataan bahwa penjamin (bank) akan memenuhi pembayaran dengan terlebih dahulu menyita dan menjual benda-benda si berutang untuk melunasi hutangnya sesuai dengan Pasal 1831 KUH Perdata, atau pernyataan bahwa penjamin (bank) melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan Pasal 1832 KUH Perdata.
Riky Rustam dalam buku Hukum Jaminan mengatakan garansi bank dapat diklasifikasikan sebagai jaminan khusus berdasarkan perjanjian, yaitu jaminan yang lahir dengan diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak (hal. 51).
Masih dari buku yang sama, perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan atau accessoir, yaitu perjanjian yang muncul akibat adanya perjanjian pokok (hal. 58).
Sehingga harus ada terlebih dahulu perjanjian pokok baru kemudian dibuat perjanjian tambahan berupa pengikatan jaminan.
Dapat disimpulkan bahwa garansi bank merupakan perjanjian tambahan berupa jaminan dari landasan perjanjian pokok yang sebelumnya telah dibuat oleh para pihak.
Maka, untuk mengadakan garansi bank, terlebih dahulu antar para pihak yang bersangkutan diadakan perjanjian.
Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat
Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan
Konsultan Mitra Justika.
Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
Dasar Hukum:
Referensi:
Riky Rustam. Hukum Jaminan. Yogyakarta: UII Press, 2017;
Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.
[3] Pasal 1 angka 8 Permendag 22/2016
[4] Pasal 1 angka 9 Permendag 22/2016
[5] Pasal 1 angka 12 Permendag 22/2016
[6] Pasal 10 ayat (2) Permendag 22/2016
[7] Pasal 12 ayat (2) Permendag 22/2016
[8] Pasal 6 ayat (2) Permendag 66/2019
[10] Pasal 1 angka 1
jo. Pasal 2 ayat (1) SK Direksi BI 11/1979
[11] Pasal 1 angka 3 huruf a
jo. Pasal 2 ayat (1) SK Direksi BI 23/1991
[12] Pasal 2 ayat (2) SK Direksi BI 11/1979