Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Hubungan Hukum antara Distributor, Subdistributor, dan Grosir

Share
copy-paste Share Icon
Bisnis

Hubungan Hukum antara Distributor, Subdistributor, dan Grosir

Hubungan Hukum antara Distributor, Subdistributor, dan Grosir
Bernadetha Aurelia Oktavira, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Hubungan Hukum antara Distributor, Subdistributor, dan Grosir

PERTANYAAN

Apakah di antara distributor rokok dengan toko grosir (yang telah terdaftar di perusahaan distributor) saat melakukan pembelian rokok hanya memiliki perikatan saja atau sudah termasuk dalam perjanjian? Apabila hanya perikatan saja, bagaimana jika kedua pihak tersebut mengadakan jaminan melalui bank garansi, apakah tetap disebut perikatan atau perjanjian?

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Antara pihak distributor, subdistributor, dan grosir terdapat hubungan hukum yang bisa dilandasi oleh perjanjian, penunjukan dan/atau bukti transaksi secara tertulis.
     
    Sedangkan garansi bank merupakan jaminan, yaitu perjanjian tambahan dari perjanjian pokok yang telah dibuat oleh para pihak sebelumnya. Garansi bank diklasifikasikan sebagai jaminan khusus berdasarkan perjanjian.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Distributor dan Grosir
    Pelaku usaha distribusi tidak langsung menggunakan rantai distribusi yang bersifat umum, yang kami asumsikan Anda menggunakan distributor dan jaringannya, yang terdiri dari:[1]
    1. Distributor;
    2. Subdistributor;
    3. Perkulakan;
    4. Grosir; dan
    5. Pengecer
     
    Distributor hanya dapat mendistribusikan barang kepada produsen, subdistributor, grosir, perkulakan dan/atau pengecer.[2]
     
    Perlu Anda ketahui, distributor adalah pelaku usaha distribusi yang bertindak atas namanya sendiri dan atas penunjukan dari produsen atau supplier atau importir berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran barang.[3]
     
    Patut Anda garis bawahi, subdistributor dan grosir adalah kedua istilah yang berbeda.
     
    Subdistributor adalah pelaku usaha distribusi yang bertindak atas penunjukkan dari distributor berdasarkan perjanjian untuk melakukan kegiatan pemasaran barang.[4]
     
    Grosir adalah pelaku usaha distribusi yang menjual berbagai macam barang dalam partai besar dan tidak secara eceran.[5]
     
    Subdistributor wajib memenuhi ketentuan:[6]
    1. badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah indonesia;
    2. memiliki perizinan di bidang perdagangan sebagai subdistributor dari instansi dan/atau lembaga yang berwenang;
    3. memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap dan jelas;
    4. memiliki atau menguasai gudang yang sudah terdaftar dengan alamat yang benar, tetap dan jelas; dan
    5. memiliki perjanjian dengan distributor.
     
    Grosir wajib memenuhi ketentuan:[7]
    1. badan usaha yang berbentuk badan hukum atau bukan badan hukum yang didirikan dan berkedudukan di wilayah indonesia;
    2. memiliki perizinan di bidang perdagangan sebagai grosir dari instansi dan atau lembaga yang berwenang; dan
    3. memiliki atau menguasai tempat usaha dengan alamat yang benar, tetap dan jelas.
     
    Pada dasarnya, distribusi barang secara tidak langsung dilakukan oleh pelaku usaha distribusi berdasarkan perjanjian, penunjukan dan/atau bukti transaksi secara tertulis.[8]
     
    Menurut hemat kami, hubungan hukum antara distributor rokok, subdistributor, dan grosir bisa dilandasi dengan perjanjian sebagaimana Anda sebutkan.
     
    Dalam hal tidak ada perjanjian dengan pihak grosir, maka hubungan hukum bisa didasari oleh penunjukan atau bukti transaksi secara tertulis.
     
    Hubungan Perjanjian dan Perikatan
    Menyambung pertanyaan Anda, mengenai perikatan dan perjanjian telah dijelaskan dalam artikel Perbedaan dan Persamaan dari Persetujuan, Perikatan, Perjanjian, dan Kontrak.
     
    Dikutip dari artikel tersebut, Subekti dalam buku Hukum Perjanjian membedakan pengertian antara perikatan dengan perjanjian. Subekti menyatakan bahwa perjanjian itu menerbitkan perikatan (hal. 1).
     
    Subekti menjelaskan bahwa (hal. 1):
     
    Suatu perikatan adalah suatu perhubungan hukum antara dua orang atau dua pihak, berdasarkan mana pihak yang satu berhak menuntut sesuatu hal dari pihak yang lain, dan pihak yang lain berkewajiban untuk memenuhi tuntutan itu.”
     
    Sementara, perjanjian didefinisikan sebagai suatu peristiwa di mana seorang berjanji kepada seorang lain atau di mana dua orang itu saling berjanji untuk melaksanakan sesuatu hal (hal. 1).
     
    Dalam Pasal 1233 KUH Perdata diterangkan bahwa perikatan lahir, karena suatu persetujuan (perjanjian) atau karena undang-undang.
     
    Dalam artikel Apakah Surat Keputusan Bisa Disamakan dengan Perjanjian? disebutkan bahwa perikatan dapat timbul karena undang-undang, yaitu kekuasaan orang tua, perbuatan sukarela untuk mewakili urusan orang lain (zaakwarneming), dan perbuatan melawan hukum.[9]
     
    Kami berpendapat, hubungan hukum antara distributor rokok, subdistributor, dan grosir tidak hanya berdasarkan perjanjian, namun juga lahir karena perikatan akibat ketentuan peraturan perundang-undangan sebagaimana diatur dalam Pasal 6 ayat (2) Permendag 66/2019.
     
    Perjanjian Pengikatan Jaminan Garansi Bank
    Aturan mengenai garansi bank dapat Anda lihat pada Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 11/110/KEP/DIR/UPPB Tahun 1979 tentang Pemberian Jaminan oleh Bank dan Pemberian Jaminan oleh Lembaga Keuangan Bukan Bank (“SK Direksi BI 11/1979”).
     
    Garansi bank adalah jaminan dalam bentuk warkat yang diterbitkan oleh bank yang mengakibatkan kewajiban membayar kepada pihak yang menerima jaminan apabila pihak yang dijamin cidera janji (wanprestasi).[10]
     
    Surat Keputusan Direksi Bank Indonesia Nomor 23/88/KEP/DIR Tahun 1991 tentang Pemberian Garansi oleh Bank (“SK Direksi BI 23/1991”) mengatur lebih lanjut mengenai garansi bank.
     
    Garansi yang kami terangkan di atas diterbitkan dengan bentuk garansi bank atau standby letter of credit.[11]
     
    Garansi bank diterbitkan dengan memuat syarat-syarat sekurang-kurangnya:[12]
    1. judul "garansi bank" atau "bank garansi";
    2. nama dan alamat bank pemberi garansi;
    3. tanggal penerbitan garansi bank;
    4. transaksi antara pihak yang dijamin dengan penerima jaminan;
    5. jumlah uang yang dijamin oleh bank;
    6. tanggal mulai berlaku dan berakhirnya garansi bank;
    7. penegasan batas waktu pengajuan claim;
    8. pernyataan bahwa penjamin (bank) akan memenuhi pembayaran dengan terlebih dahulu menyita dan menjual benda-benda si berutang untuk melunasi hutangnya sesuai dengan Pasal 1831 KUH Perdata, atau pernyataan bahwa penjamin (bank) melepaskan hak istimewanya untuk menuntut supaya benda-benda si berutang lebih dahulu disita dan dijual untuk melunasi hutang-hutangnya sesuai dengan Pasal 1832 KUH Perdata.
     
    Riky Rustam dalam buku Hukum Jaminan mengatakan garansi bank dapat diklasifikasikan sebagai jaminan khusus berdasarkan perjanjian, yaitu jaminan yang lahir dengan diperjanjikan terlebih dahulu oleh para pihak (hal. 51).
     
    Masih dari buku yang sama, perjanjian jaminan merupakan perjanjian tambahan atau accessoir, yaitu perjanjian yang muncul akibat adanya perjanjian pokok (hal. 58).
     
    Sehingga harus ada terlebih dahulu perjanjian pokok baru kemudian dibuat perjanjian tambahan berupa pengikatan jaminan.
     
    Dapat disimpulkan bahwa garansi bank merupakan perjanjian tambahan berupa jaminan dari landasan perjanjian pokok yang sebelumnya telah dibuat oleh para pihak.
     
    Maka, untuk mengadakan garansi bank, terlebih dahulu antar para pihak yang bersangkutan diadakan perjanjian.
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata-mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Kitab Undang-Undang Hukum Perdata;
     
    Referensi:
    1. Riky Rustam. Hukum Jaminan. Yogyakarta: UII Press, 2017;
    2. Subekti. Hukum Perjanjian. Jakarta: Intermasa, 2005.
     

    [1] Pasal 3 ayat (1) dan (2) Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/3/2016 Tahun 2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang (“Permendag 22/2016”)
    [2] Pasal 6 ayat (1) huruf a Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 66 Tahun 2019 tentang Perubahan atas Peraturan Menteri Perdagangan Nomor 22/M-DAG/PER/3/2016 tentang Ketentuan Umum Distribusi Barang (“Permendag 66/2019”)
    [3] Pasal 1 angka 8 Permendag 22/2016
    [4] Pasal 1 angka 9 Permendag 22/2016
    [5] Pasal 1 angka 12 Permendag 22/2016
    [6] Pasal 10 ayat (2) Permendag 22/2016
    [7] Pasal 12 ayat (2) Permendag 22/2016
    [8] Pasal 6 ayat (2) Permendag 66/2019
    [9] Pasal 1354, Alinea Kedua Pasal 1367, dan Pasal 1365 Kitab Undang-Undang Hukum Perdata (“KUH Perdata”)
    [10] Pasal 1 angka 1 jo. Pasal 2 ayat (1) SK Direksi BI 11/1979
    [11] Pasal 1 angka 3 huruf a jo. Pasal 2 ayat (1) SK Direksi BI 23/1991
    [12] Pasal 2 ayat (2) SK Direksi BI 11/1979

    Tags

    perdagangan
    hukumonline

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Akun Pay Later Anda Di-Hack? Lakukan Langkah Ini

    19 Jul 2022
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!