Personalisasi
Halo,
Anda,

Segera Upgrade paket berlangganan Anda.
Dapatkan fitur lebih lengkap
Profil
Ada pertanyaan? Hubungi Kami
Bahasa
id-flag
en-flag

Bisakah DPR dan Presiden Dihukum karena Membuat UU yang Merugikan Rakyat?

Share
copy-paste Share Icon
Kenegaraan

Bisakah DPR dan Presiden Dihukum karena Membuat UU yang Merugikan Rakyat?

Bisakah DPR dan Presiden Dihukum karena Membuat UU yang Merugikan Rakyat?
Erizka Permatasari, S.H.Si Pokrol
Si Pokrol
Bacaan 10 Menit
Bisakah DPR dan Presiden Dihukum karena Membuat UU yang Merugikan Rakyat?

PERTANYAAN

Yang berhak membuat UU hanya DPR dan Presiden. Tapi, bagaimana bila DPR dan Presiden semena-mena dalam membuat UU yang justru merugikan rakyat? Langkah hukum apa yang bisa dilakukan untuk menghukum Presiden dan DPR yang semena-mena membuat peraturan? Terima kasih.

DAFTAR ISI

    INTISARI JAWABAN

    Atas pengesahan dan pengundangan undang-undang (“UU”) yang dilakukan Presiden dan Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”), tidak terdapat pertanggungjawaban personal dikarenakan Presiden dan DPR bertindak sesuai dengan wewenang yang diberikan UU.
     
    Meski demikian, apabila dalam proses pengesahan serta pengundangan UU terdapat pelanggaran hukum, hal ini dapat menjadi alasan dilakukannya permohonan putusan kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR atas dugaan bahwa Presiden telah melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.

    ULASAN LENGKAP

    Ulasan:
     
    Terima kasih atas pertanyaan Anda.
     
    Wewenang Dewan Perwakilan Rakyat (“DPR”) dan Presiden dalam Pembentukan Undang-Undang (“UU”)
    Pertama-tama perlu Anda ketahui terlebih dahulu bagaimana bentuk kewenangan DPR dan presiden dalam pembentuk UU. Berdasarkan Undang-Undang Nomor 12 Tahun 2011 tentang Pembentukan Peraturan Perundang-Undangan (“UU 12/2011”) rancangan undang-undang (“RUU”) dapat berasal dari DPR atau Presiden.[1] RUU tersebut kemudian dibahas oleh DPR dan presiden untuk mendapat persetujuan bersama.[2] Setelah mendapat bersetujuan bersama DPR dan presiden, RUU diserahkan kepada presiden untuk disahkan menjadi UU dengan dibubuhkan tanda tangan.[3]
     
    Penjelasan lebih lanjut perihal proses pembentukan UU dapat Anda simak dalam artikel Proses Pembentukan Undang-Undang.
     
    Pertanggungjawaban DPR dan Presiden
    Charles Simabura, Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas menjelaskan bahwa terhadap pengesahan dan pengundangan UU yang dilakukan Presiden dan DPR, tidak terdapat pertanggungjawaban personal dikarenakan presiden dan DPR bertindak sesuai dengan wewenang yang diberikan oleh UU.
     
    Meski demikian, lanjut Charles, apabila terdapat pelanggaran hukum dalam pengesahan serta pengundangan UU, hal tersebut dapat menjadi alasan dilakukannya permohonan putusan kepada Mahkamah Konstitusi terhadap pendapat DPR atas dugaan bahwa presiden telah melakukan pelanggaran hukum yang menyebabkan Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya.
     
    Pelanggaran hukum yang dimaksud tersebut dapat berupa pengkhianatan terhadap negara, korupsi, penyuapan, tindak pidana berat lainnya, atau perbuatan tercela, sebagaimana dimaksud dalam UUD 1945.
     
    Kemudian, hal tersebut dapat menjadi dasar bagi MPR untuk memberhentikan Presiden setelah diusulkan oleh DPR dan mendapatkan putusan hukum dari Mahkamah Konstitusi.
     
    Mekanisme tersebut merujuk kepada ketentuan dalam Pasal 7A dan 7B UUD 1945.
     
    Misalnya, apabila diketahui dan terbukti bahwa Presiden menerima suap untuk mengesahkan suatu UU yang dianggap merugikan masyarakat, maka Presiden dapat diberhentikan dari jabatannya berdasarkan prosedur yang telah ditentukan dalam UUD 1945.
     
    Selain itu, apabila terbukti bahwa anggota DPR maupun Presiden mengesahkan atau mengundangkan UU dikarenakan adanya suap, maka baik anggota DPR maupun presiden dapat dijerat dengan ketentuan Pasal 5 Undang – Undang Nomor 20 Tahun 2001 tentang Perubahan Atas Undang-Undang Nomor 31 Tahun 1999 tentang Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (“UU 20/2001”) yang berbunyi:
     
    1. Dipidana dengan pidana penjara paling singkat 1 (satu) tahun dan paling lama 5 (lima) tahun dan atau pidana denda paling sedikit Rp 50.000.000,00 (lima puluh juta rupiah) dan paling banyak Rp 250.000.000,00 (dua ratus lima puluh juta rupiah) setiap orang yang:
    1. memberi atau menjanjikan sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara dengan maksud supaya pegawai negeri atau penyelenggara negara tersebut berbuat atau tidak berbuat sesuatu dalam jabatannya, yang bertentangan dengan kewajibannya; atau
    2. memberi sesuatu kepada pegawai negeri atau penyelenggara negara karena atau berhubungan dengan sesuatu yang bertentangan dengan kewajiban, dilakukan atau tidak dilakukan dalam jabatannya.
    1. Bagi pegawai negeri atau penyelenggara negara yang menerima pemberian atau janji sebagaimana dimaksud dalam ayat (1) huruf a atau huruf b, dipidana dengan pidana yang sama sebagaimana dimaksud dalam ayat (1).
     
    Selain dari hal-hal yang telah kami jelaskan di atas, dalam hal pembentukan UU yang dianggap ‘semena-mena’ dan merugikan masyarakat, sepanjang penelusuran kami, belum terdapat suatu upaya hukum yang dapat dilakukan untuk memberikan sanksi baik secara pidana maupun perdata kepada Presiden dan DPR apabila tidak dapat dibuktikan adanya unsur penyuapan atau tindak pidana lainnya berkaitan dengan pembuatan UU.
     
    Langkah Hukum yang Dapat Dilakukan Masyarakat
    Dalam hal adanya UU yang merugikan masyarakat, maka pihak yang menganggap hak dan/atau kewenangan konstitusionalnya dirugikan oleh berlakunya UU dapat mengajukan permohonan pengujian undang-undang terhadap UUD 1945, yaitu:[4]
    1. perorangan warga negara Indonesia;
    2. kesatuan masyarakat hukum adat sepanjang masih hidup dan sesuai dengan perkembangan masyarakat dan prinsip Negara Kesatuan Republik Indonesia yang diatur dalam undang-undang;
    3. badan hukum publik atau privat; atau
    4. lembaga negara.
     
    Penjelasan lebih lanjut dapat Anda simak Dapatkah Menguji Kembali Materi Muatan Pasal yang Sama ke MK?
     
    Seluruh informasi hukum yang ada di Klinik hukumonline.com disiapkan semata – mata untuk tujuan pendidikan dan bersifat umum (lihat Pernyataan Penyangkalan selengkapnya). Untuk mendapatkan nasihat hukum spesifik terhadap kasus Anda, konsultasikan langsung dengan Konsultan Mitra Justika.
     
    Demikian jawaban dari kami, semoga bermanfaat.
     
    Dasar Hukum:
    1. Undang-Undang Dasar 1945;
     
    Catatan:
    Kami telah melakukan wawancara dengan Peneliti dari Pusat Studi Konstitusi Fakultas Hukum Universitas Andalas Charles Simabura via telepon pada 11 Oktober 2020, pukul 16.00 WIB.
     

    [1] Pasal 43 ayat (1) UU 12/2011
    [2] Pasal 20 ayat (2) Undang-Undang Dasar 1945 (“UUD 1945”)
    [3] Pasal 72 ayat (1) dan Pasal 73 ayat (1) UU 12/2011
    [4] Pasal 51 ayat (1) Undang-Undang Nomor 24 Tahun 2003 tentang Mahkamah Konstitusi

    Tags

    tata negara

    Punya Masalah Hukum yang sedang dihadapi?

    atauMulai dari Rp 30.000
    Baca DisclaimerPowered byempty result

    KLINIK TERBARU

    Lihat Selengkapnya

    TIPS HUKUM

    Baca Tips Ini Sebelum Menggunakan Karya Cipta Milik Umum

    28 Feb 2023
    logo channelbox

    Dapatkan info berbagai lowongan kerja hukum terbaru di Indonesia!

    Kunjungi

    Butuh lebih banyak artikel?

    Pantau Kewajiban Hukum
    Perusahaan Anda Di Sini!