Apa saja syarat-syarat yang harus dipenuhi untuk menjadi hakim di pengadilan pajak?
DAFTAR ISI
INTISARI JAWABAN
Untuk dapat diangkat menjadi Hakim Pengadilan Pajak, setiap calon harus memenuhi persyaratan tertentu dan tidak boleh merangkap jabatan tertentu. Di sisi lain, dikenal juga Hakim Ad Hoc yang ditunjuk untuk memeriksa dan memutus sengketa pajak tertentu, yang merupakan ahli yang memiliki disiplin ilmu yang cukup dan berpengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 10 tahun.
Penjelasan lebih lanjut dapat Anda klik ulasan di bawah ini.
setia kepada Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945;
tidak pernah terlibat dalam kegiatan yang mengkhianati Negara Kesatuan Republik Indonesia yang berdasarkan Pancasila dan Undang-Undang Dasar 1945 atau terlibat organisasi terlarang;
mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain;
berwibawa, jujur, adil, dan berkelakuan tidak tercela;
tidak pernah dipidana karena melakukan tindak pidana kejahatan; dan
Belajar Hukum Secara Online dari Pengajar Berkompeten Dengan Biaya TerjangkauMulai DariRp. 149.000
Hakim Ad Hoc adalah ahli yang ditunjuk oleh Ketua Pengadilan Pajak sebagai anggota majelis dalam memeriksa dan memutus sengketa pajak tertentu.[2] Dalamhal ini yang dimaksud sebagai ahli adalah seseorang yang memiliki disiplin ilmu yang cukup dan berpengalaman di bidangnya sekurang-kurangnya 10 tahun.[3]
Syarat-syarat menjadi Hakim Ad Hoc sama dengan persyaratan yang telah disebutkan di atas. Namun, persyaratan batas usia minimal 45 tahun dan mempunyai keahlian di bidang perpajakan dan berijazah sarjana hukum atau sarjana lain pada huruf b dan f dikesampingkan.[4]
Dalam hal Ketua Pengadilan Pajak menunjuk Hakim Ad Hoc pada saat pemeriksaan sengketa pajak sedang dilaksanakan, Hakim Ad Hoc menggantikan Hakim anggota yang paling muda usianya.[5]
Untuk menunjuk Hakim Ad Hoc, Ketua Pengadilan Pajak wajib memperhatikan:[6]
sifat kompleksitas sengketa yang dihadapi;
aspek internasional dan penerapan hukumnya; dan/atau
wawasan, keahlian, dan ilmu pengetahuan yang diperlukan dalam penyelesaian kasus yang bersangkutan.
Larangan Rangkap Jabatan
Adapun menurut Pasal 12 ayat (1) UU 14/2002, Hakim tidak boleh merangkap untuk beberapa jabatan, antara lain:
pelaksana putusan Pengadilan Pajak;
wali, pengampu, atau pejabat yang berkaitan dengan suatu sengketa pajak yang akan atau sedang diperiksa olehnya;
Kemudian terdapat 11 jabatan lainnya yang tidak boleh dirangkap oleh Hakim Agung dan Hakim yaitu:[8]
Pejabat Negara lainnya;
Jabatan struktural atau jabatan fungsional pada instansi Pemerintah Pusat dan Pemerintah Daerah;
Arbiter dalam suatu sengketa perdata;
Anggota Panitia Urusan Piutang dan Lelang Negara;
Jabatan pada lembaga keuangan bank dan lembaga keuangan nonbank;
Jabatan sebagai pimpinan dan/atau anggota pada lembaga nonstruktural;
Komisaris, dewan pengawas, direksi pada badan usaha milik negara dan/atau badan usaha milik daerah;
Notaris, Pejabat Sementara Notaris, Notaris Pengganti, dan Notaris Pengganti Khusus;
Pejabat Pembuat Akta Tanah;
Jabatan lainnya yang berdasarkan peraturan perundang-undangan dinyatakan tidak boleh dirangkap oleh Hakim;
Anggota Musyawarah Pimpinan Daerah.
Pejabat Negara lainnya yang dimaksud antara lain Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Dewan Perwakilan Rakyat (DPR), Ketua, Wakil Ketua, dan Anggota Badan Pemeriksa Keuangan (BPK), menteri/setingkat menteri, gubernur, dan bupati/walikota.[9]
Sedangkan mengenai jabatan fungsional di sini berstatus Pegawai Negeri Sipil, contohnya peneliti, dosen tetap.[10] Selanjutnya yang dimaksud pimpinan dan/atau anggota lembaga nonstruktural antara lain pimpinan dan/atau anggota pada Komisi Negara, Komisi, Komite, Dewan, Badan, dan Lembaga, antara lain pimpinan dan/atau anggota Komisi Pemilihan Umum (KPU), Komisi Pemberantasan Tindak Pidana Korupsi (KPK), Komite Nasional Keselamatan Transportasi (KNKT), Komite Akreditasi Nasional (KAN), Dewan Ketahanan Pangan (DKP), Dewan Pertimbangan Otonomi Daerah (DPOD), Badan Nasional Sertifikasi Profesi (BNSP), Badan Pengatur Jalan Tol (BPJT), Lembaga Sensor Film (LSF), Lembaga Koordinasi dan Pengendalian Peningkatan Kesejahteraan Sosial Penyandang Cacat.[11]
Patut diperhatikan, larangan rangkap jabatan ini penting untuk memastikan bahwa Hakim Pengadilan Pajak tetap netral dan tidak memihak. Selain itu, Hakim seyogianya tidak memiliki ikatan pribadi yang dapat mengganggu independensinya untuk menyelesaikan suatu perkara dan guna menegakkan hukum dan keadilan. Perlu dicatat pula, khusus untuk larangan Hakim Ad Hoc merangkap menjadi pengusaha tidak berlaku.[12]
Selain itu, pengangkatan Hakim dilakukan oleh Presiden dari daftar nama calon yang diusulkan oleh Menteri Keuangan setelah mendapat persetujuan Ketua Mahkamah Agung.[13] Sebagai informasi, Anda dapat menilik pengumuman rekrutmen calon Hakim Pengadilan Pajak pada laman Pengumuman Kementerian Keuangan.