Kekuatan dan Kelemahan Pengakuan Sebagai Alat Bukti dalam Sengketa Perdata

Kekuatan dan Kelemahan Pengakuan Sebagai Alat Bukti dalam Sengketa Perdata

Pengakuan adalah salah satu alat bukti (bewijsmiddel) yang dikenal dalam hukum acara perdata. Alat bukti diajukan oleh para pihak yang bersengketa untuk memperkuat dalil gugatan masing-masing.
Kekuatan dan Kelemahan Pengakuan Sebagai Alat Bukti dalam Sengketa Perdata

Sistem pembuktian dalam hukum perdata di Indonesia masih berpegang pada alat bukti yang telah ditentukan. Di luar yang sudah ditentukan dan diakui, alat bukti yang diajukan biasanya dinyatakan sebagai ‘alat bukti yang tidak sah’, sehingga tidak mempunyai nilai kekuatan pembuktian untuk menguatkan argumentasi yang dibangun. Meskipun demikian, alat-alat bukti telah mengalami perkembangan dalam praktik, semisal alat bukti elektronik. Bagaimana dengan alat bukti dalam Hukum Acara Perdata?

Pasal 1866 BW (KUH Perdata) dan Pasal 164 HIR menetapkan alat bukti meliputi bukti tulisan, bukti dengan saksi, persangkaan, pengakuan dan sumpah. Dari kelima alat bukti itu, ada yang masuk kategori alat bukti langsung (direct evidence) yakni alat bukti surat dan alat bukti keterangan saksi; dan ada pula yang masuk kategori alat bukti tidak langsung, misalnya persangkaan (vermoeden), dan pengakuan.  

Apa yang dimaksud dengan pengakuan (bekentenis, confession)? Pasal 1923 BW dan Pasal 174 HIR telah mengatur pengakuan yang bernilai sebagai alat bukti. Pertama, pernyataan atau keterangan yang dikemukakan salah satu pihak kepada pihak lain dalam pemeriksaan perkara. Kedua, pernyataan atau keterangan yang dikemukakan di muka hakim atau dalam sidang pengadilan. Ketiga, keterangan itu merupakan suatu pengakuan bahwa apa yang didalilkan atau dikemukakan pihak lawan adalah benar, baik sebagian atau seluruhnya. 

Pasal 1925 BW menyebutkan: “Pengakuan yang dilakukan di muka hakim memberikan suatu bukti yang sempurna terhadap siapa yang telah melakukannya, baik sendiri maupun dengan perantaraan seseorang yang khusus dikuasakan untuk itu”. Betapa sempurnanya kekuatan pengakuan di muka hakim sehingga oleh KUH Perdata pengakuan semacam itu tak dapat ditarik kembali kecuali dapat dibuktikan bahwa pengakuan itu akibat dari suatu kekhilafan yang terjadi. 

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional