Pelajaran dari Kasus Pertama Korporasi Terjerat Pidana Pencucian Uang

Pelajaran dari Kasus Pertama Korporasi Terjerat Pidana Pencucian Uang

Perusahaan yang menampung hasil korupsi dan menyembunyikan hasil korupsi itu ke dalam keuangan perusahaan dapat dimintai tanggung jawab pidana pencucian uang.
Pelajaran dari Kasus Pertama Korporasi Terjerat Pidana Pencucian Uang

Rezim pencucian uang (money laundering) semakin sering dipergunakan aparat penegak hukum untuk mengejar para pelaku kejahatan. Meskipun belum menempati peringkat pertama dari segi jumlah perkara yang masuk ke Mahkamah Agung, jumlah tindak pidana pencucian uang lebih tinggi dibandingkan tindak pidana pidana perbankan, keimigrasian dan terorisme. Laporan Tahunan Mahkamah Agung Tahun 2018 memperlihatkan ada 31 perkara tindak pidana pencucian uang pada tingkat kasasi, sedangkan tindak pidana perbankan hanya 22 perkara. 

Perbandingan itu menunjukkan kenaikan. Sekadar perbandingan, pada tahun 2015, Mahkamah Agung baru menerima 20 perkara tindak pidana pencucian uang, setara dengan 0,67 persen dari seluruh tindak pidana khusus (3.004) yang masuk ke tingkat kasasi pada tahun berjalan. Dengan kata lain, tindak pidana pencucian uang kian sering dipergunakan aparat penegak hukum. Sebagai contoh adalah penggunaan tindak pidana pencucian uang (TPPU) dalam kasus narkoba. Badan Narkotika Nasional (BNN) telah menangani 53 kasus TPPU pada tahun 2018 dengan jumlah tersangka 70 orang. Pada tahun 2019 jumlah kasusnya naik menjadi 55 dengan jumlah tersangka mencapai 59 orang. 

Namun, selama ini aparat penegak hukum lebih fokus memproses orang perseorangan (natuurlik person) sebagai pelaku kejahatan. Padahal, menurut Undang-Undang Nomor 8 Tahun 2010 tentang Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang, korporasi dapat dimintai pertanggungjawaban pidana. Pidana bukan hanya dapat dijatuhkan terhadap korporasinya, tetapi juga personil pengendali korporasi. 

Perhatian pada pertanggungjawaban korporasi sudah mulai tampak, antara lain dengan terbitnya Peraturan Presiden Nomor 13 Tahun 2018 tentang Penerapan Prinsip Mengenai Pemilik Manfaat dari Korporasi Dalam Rangka Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang dan Tindak Pidana Pendanaan Terorisme. Profesi yang selama ini jasanya banyak digunakan untuk membantu korporasi dan pemilik korporasi pun sudah dibebani kewajiban melaporkan transaksi keuangan mencurigakan. Advokat, notaris, perencana keuangan dan akuntan publik dibebani kewajiban pelaporan transaksi keuangan mencurigakan ke Pusat Pelaporan dan Analisis Transaksi Keuangan (PPATK). Kewajiban ini diatur dalam Peraturan Pemerintah Nomor 43 Tahun 2015 tentang Pihak pelapor dalam Pencegahan dan Pemberantasan Tindak Pidana Pencucian Uang.

Masuk ke akun Anda atau berlangganan untuk mengakses Premium Stories
Premium Stories Professional

Segera masuk ke akun Anda atau berlangganan sekarang untuk Dapatkan Akses Tak Terbatas Premium Stories Hukumonline! Referensi Praktis Profesional Hukum

Premium Stories Professional